Mohon tunggu...
Halim Malik
Halim Malik Mohon Tunggu... Administrasi - Pendidik

HUMBLE

Selanjutnya

Tutup

Puisi

"FFK" Diandra...

18 Maret 2011   13:39 Diperbarui: 30 Mei 2022   02:13 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali ini aku berdiri lagi mencari sosokmu di balik jenjang malam. Mengapa begitu sulitnya melihat kesungguhan dari setiap perjumpaan itu?

Tuhan…!, aku menyukai  senyuman manis yang nongol di balik peta wajahnya yang teduh. Mengapa makhluk Mu yang satu ini sangat indah?

 

Hasrat ini memang masih tersirat lembut dalam anganku, tapi aku telah terbuai karena senyumnya. Senyum yang selalu terkulum menghias pada mungilnya kembang bibir. Pesona kemilau yang telah berhasil meluluhkan dan mampu menggetarkan semua titik nadir di sekujur tubuh. Percikkan rinai gelora, menetes hingga ke relung paling dalam di jiwaku. Sensasi seperti ini tak pernah hinggap dalam hidupku. Rasa yang meretas sejuk, berpendar ke seluruh pori-poriku. Sungguh…! Kaulah yang telah menyalurkan resah, merambat dan meninggalkan jejak-jejak asmaragung . Kau telah memberikan pijar yang memendar, hingga menyinari naluri sepanjang lorong hati.

Kini yang harus kulakukan adalah berjuang agar mendapat tempat di sekeping hatinya, dan akan kubumbui dengan sedikit perhatian. Bukan sekedar perangkap hasrat, tapi mewakili rasa terdalam yang sekarang melanda. Jiwa ini melayang, menggampai angan, pada kokohnya dinding-dinding tebing di hatinya.

Tapi aku memang bodoh, dan aku menikmati kebodohan yang acap memilukan itu. Barisan putih gigi dan senyummu itu memang melenakan. Itulah canduku. Aku ingat bagaimana aku mencuri pandang di rerimbun ilalang kesedihan yang kau tanam. Walau mataku terpejam, tapi telingaku terjaga. Sekalipun terlelap, aku mengais-ngais harap darimu. Bodoh sekali bukan?

Apa yang kurasakan itu tak pernah engkau pahami. Tafsirmu yang bias dan bermajas, justru membuatku seakan digantung tak bertali. Sakit, semoga kelak engkau tahu.

Maka, ketika kau kirimi aku setangkai mawar yang sedikit layu, tak sungguh-sungguh aku menerimanya. Meski itu pemberian pertamamu, tapi engkau terlambat.

Bukan aku tak senang dengan kiriman mawarmu, atau telah mendapat penggantimu. Ingin kutenangkan dulu walau sejenak, resah di jiwaku yang telah kau buat lelah, sebelum membaca pesan di secarik kertas merah jambu, yang kau selipkan di setangkai mawar itu. Kuhirup udara sedalam dada, agar energi di alam bebas membuyarkan capekku seminggu yang lalu.

 

Kutengok mawar kirimanmu, kutarik kertas yang terselip di sana. Perlahan…! kubuka pesanmu. Jantungku berdegup, tak ada tulisan, selain kata “DIANDRA”. Tulisan yang hanya terdiri dari tujuh karakter, tujuh digit, tak lebih. Itulah yang kau kirim padaku. Surat tanpa alamat pengirim. Lalu ke mana harus kubalas kiriman kembangmu?. Haruskah aku selalu menunggu di tempat pertama kali kita bertemu?.

Tujuh huruf yang kau kirim menimbulkan tanda tanya tersendiri. Aku diam tak bersuara. Diandra…,tak terhitung lagi nama itu kusebut dalam hati. Ada rasa nyaman dipeluk ketenangan, namun belum sampai pada titik kepuasan. Tapi aku mensyukurinya, karena setidaknya aku sudah mendapatkan sebuah nama. Nama yang selama ini telah mempermainkan hati. Aku suka caramu, yang membuatku makin penasaran, dan aku akan tetap penasaran sebelum kita saling bejabat, saling bertatap, dan saling sapa. Aku telah persiapkan sejumlah kata yang tersusun indah dalam satu kalimat yang pasti, “Aku Sayang Kamu”. Tak ada kata “CINTA”, karena bagiku cinta memiliki seribu definisi dan seribu makna. Aku berangan-angan dan berandai-andai dalam khayalku. Kelopak mata mulai turun mengatup, lalu aku tertidur dalam angan-anganku.

 

Kulihat Diandra berlari kecil menghampiri, menatapku, menggenggam tanganku, lalu memelukku. Begitu ceria dan bahagianya dia, dan akupun merasakan kebahagiaan yang sama. Lama kami berpelukan dan saling menyelami isi hati masing-masing. Di sini pertama kita bertemu, dan di tempat ini kita akan mengakhiri semua hubungan kita. Aku mengangguk menyetujui permintaannya. Berarti Diandra akan menjadi pasangan hati yang selama ini kudamba. Dia ingin memelukku lebih erat lagi, dan aku pun ingin mendekapnya.

Rasa yang selama ini terpendam, akhirnya terlampiaskan. Seketika di bening matanya ada titik-titik mutiara berjatuhan tanpa sebab. Aku bingung bercampur heran, mengapa dia menangis dalam senyum. Kulihat Diandra makin mempesona dalam tangisnya. Aku dibuatnya kagum dan ingin mendekapnya lagi. Mas Jaka…! Mas Jaka…! Sayup terdengar seseorang memanggil namaku. Aku dan Diandra masih saling menatap dan terus bertatap. Lamat-lamat pesona Diandra buyar, hilang dari pelupuk mata. Aku terkaget dengan panggilan Mas Jaka yang lebih keras lagi.

Astagfirullahaladzim…..! Aku terjaga dari lelapku. Rupanya lamunan semalam membawaku ke alam mimpi bertemu dengan Diandra. Aku menemui suara yang memanggil-manggil. Kulihat seorang Ibu, tetangga di sebelah rumahku mengantar kembang yang sama, seperti yang kuterima kemarin.

 

Hmm...! Aku bergumam riang dalam hati. Mungkinkah ini pertanda aku bisa menemukanmu Diandra? Lamanya waktu berlalu, tidak membuatku berhenti mencarimu. Tahukah kamu? rindu ini tak mampu kubendung lagi. Aku harus bisa menemukanmu…, “harus”. Jiwa ini serasa mati, hanya karena dimensi ruang dan waktu. Aku tidak punya cukup waktu lagi, karena kamu harus menjelaskan semuanya padaku. Sendiri tanpamu tak pernah kubayangkan sebelumnya. Kau seakan oase dalam keringnya jiwa.

Keesokan harinya,dengan langkah pasti aku mencari tumpangan menuju “Diana Florist”, toko kembang yang menyediakan bunga segar. Udara panas menyengat. Aku bermandi peluh berjalan di kota yang terkenal dengan Kota Khatulistiwa ini. Kulewati “Tugu Khatulistiwa”. Tugu yang dibangun sebagai penanda batas “0’” (nol derajat) garis lintang yang membelah bumi menjadi dua bagian. Lintang Utara dan Lintang Selatan. Indahnya “Taman Alun Kapuas”, tak luput dari pandanganku. Ke dermaga kecil itulah aku akan kembali dengan mawar di tangan. Alamat yang tak asing bagiku, seperti yang tertulis di kembang mawarmu yang kedua.

Tiga puluh menit telah berlalu, dan tak terasa aku telah berada di dermaga ini. Dermaga Kasih...! Pemandangan sungai Kapuas yang bertaburan lampu jalanan menambah indahnya malam. Kupercepat langkahku menuju lokasi, dimana aku akan menemui Diandra. Kulihat Diandra duduk sendiri, memandang lurus menyaksikan motor-motor air yang melintasi Sungai Kapuas.

Rasa senang bercampur detak jantung yang melebihi 60-100 detik/menit, pertanda genderang pertemuan pertama dimulai. Hai…! aku menyapanya. Diandra menoleh dengan santai, dengan tatapan yang penuh arti. Kembang mawar di tangan kuserahkan, sambil menunjuk ke secarik kertas kecil yang tersisip, tertulis namaku “Jaka”. Jadi aku tak perlu lagi memperkenalkan nama. Ucapan terima kasih, adalah persembahan pertamanya padaku, di riak ombak sungai kapuas yang bercampur angin sejuk. Diandra hanya bergeser tiga jengkal dari duduknya, pertanda aku dipersilakannya duduk berdempet dengannya.

Mulailah kami berbicara ngalor ngidul. Apa saja yang terlintas di kepala kami, dengan sedikit retorika, yang terkesan sebagai sebuah rayuan. Langsung akrab, seolah-olah Aku dan Diandra sudah saling mengenal sebelumnya. Tak ada rasa canggung. Semua kata-kata meluncur ringan bagai syair para pujangga dari timur tengah. Tutur lisannya santun, berirama, dan aku menangkap isyarat bahwa dia cerdas. Setiap kata dan kalimatnya, tersusun dengan gaya dan intonasi yang jelas. Hanya mereka yang menguasai diksi yang mampu mengungkapkan kata-kata dan sintaks dengan tepat.

Diandra meminta maaf atas sikapnya yang terkesan angkuh waktu itu, karena suatu alasan. Malam semakin larut. Udara dingin Sungai Kapuas menembus pori-pori kulit. Tawarannya untuk bertemu kembali minggu depan di dermaga ini, tak bisa kutolak.

Kisahnya panjang mas Jaka. Saya butuh waktu dan menghimpun kekuatan untuk menceritakan semuanya. Bertahun kisah ini terpendam di lubuk jiwa. Hanya dermaga ini yang mampu membuyarkan kesedihan. Suasana seperti inilah yang mampu mengusir apa yang berkecamuk dalam kalbu. Maafkan saya yang terkesan angkuh di mata Mas Jaka. Itu hanyalah bawaan emosi jiwa. Bukankah ekspresi adalah cermin hati?, sedangkan mata adalah jendela jiwa?. Saya selalu berusaha untuk tersenyum menikmati indahnya dunia, sebelum lenyap di muka bumi. Mungkin hanya senyum keterpaksaan itu yang masih tertinggal di raga ini. Minggu depan kita ketemu lagi di dermaga ini. Tinggalkan saya sendiri…! tidak apa-apa.

Empat puluh delapan bulan telah saya lalui di tempat ini. Dalam kesendirian yang berteman kesunyian, dengan angan berbingkai pengharapan. Waktu yang cukup lama mas..! dan pada akhirnya Mas Jaka akan mengetahui semua kisah ini. Kisah yang telah tumbuh menjadi taman kesedihan. Terrekan rapi dalam sel saraf memori. Ingin saya pendam hingga ke dasar bumi. Mungkin ujian Tuhan belum sesuai dengan takaran pada hambanya yang sedang diuji.

Sebulan yang lalu…! kita pernah bertatap di dermaga ini. Saya tak meminta sebulan lagi kita akan bertemu. Cukup seminggu. Dia meminta dalam tangis terisak. Aku bisa memahami, betapa beratnya beban yang mendera hatinya. Aku hanya mengangguk dan melepaskan tanganku, yang dari tadi menggengam erat tangannya.

Bibir ini seperti dihipnotis terkunci, meskipun itu baru pengantar kisahnya. Ingin kupeluk Diandra semampu aku memeluknya. Ingin kusalin separuh beban jiwanya agar menguap ke angkasa. Dalam hati aku berdoa penuh harap, agar Allah memberikan karuniaNya, memberikan siraman cintaNya. Mengharap agar Taman Alun Kapuas bisa dinikmatinya dengan indah dan sempurna.

Hampir lima menit kami saling menatap. Di bening matanya yang indah, tenyata menyimpan sesuatu yang terpendam. Aku kembali teringat kalimatnya “mata adalah jendela jiwa”. Aku sayang kamu Diandra. Hanya itu kalimat terakhir yang kuucapkan. Lalu aku pulang dengan langkah gontai.


Aku masih belum habis pikir mengenai pertemuan kita semalam. Sesuatu yang kuharap sekaligus aku takutkan. Perasaan ini sungguh sudah kau aduk tak karuan. Kau angkat aku dengan tangkai mawarmu, tapi durinya kau lesakkan ke rapuh hatiku. Onak yang tertinggal itu, sungguh susah untuk ku keluarkan. Sama susahnya bagi diriku untuk abaikan dirimu.

Deg, deg, deg..! detak jantung saling bertabuh di rongga dada. Menanti perjumpaan dalam minggu ini, membuat jiwaku semakin gelisah, gundah gulana menghimpit dada. Inginku semuanya cepat terselesaikan.

Masih ada asa yang membuncah pada pertemuan kami nanti. Diandra telah memastikan itu. Benarkah yang terlah terucap mewakili hati nuraninya yang paling dalam?. Batinku kembali bertanya.

Hari dimana pertemuan akan membawa hati dan perasaan ini pun tiba. Perlahan…, aku mendekati sosok ringkih yang manis bak pualam. Diandra...! Begitu indahnya dirimu diciptaNYA, hingga harapku menjadi tuntutan yang wajib terpenuhi.

Mas…! Akhirnya engkau mau memenuhi janji bertemu lagi minggu ini,"sapa Diandra memecah sunyi”. Eh hem...! Tak sanggup jiwaku terpisah darimu Dinda!. Namun, janji bagi seorang lelaki adalah kewajiban dan tanggungjawab. Tuntaskan semua kisahmu malam ini, dinda Diandra..., agar lara segera meninggalkan kita..."

Mas Jaka…! telah empat puluh delapan bulan aku menunggu di tepian sungai Kapuas. Bukan tanpa alasan dan sebab. Dunia kurasa tak adil. Dulu, ada seseorang yang teramat sempurna menyayangiku, melimpahiku dengan harapan dan cinta kasih. Kami merangkai mimpi, tuk hidup dalam mahligai suci rumah tangga. Empat tahun yang lalu, pagi menjemput sang mentari. Sepertinya baru sehari yang lalu dia melambaikan tangan padaku. Menyapa dengan penuh cinta. Dia berjanji hanya kan pergi beberapa jam untuk bekerja, mengais rupiah untuk kehidupan kami. Namun, perahu tumpangannya terhempas. Dia lenyap tak berjejak. Entah masih hidup atau.....! Aku tak tahu mas Jaka. Hingga hari ini aku terus menanti dan akan terus menantinya kembali. Dengan kabar terburuk sekalipun aku telah siap. Mata ini, bibir ini, hati dan jiwa ini telah begitu hampa sejak saat itu. Maafkan aku mas Jaka…!

Diandra…! Aku akan menghiburmu. Dengan segala cara yang mampu kubisa, meskipun aku sendiri butuh seseorang untuk menghiburku. Akan kuelus kau dengan lembutnya kasihku, walau tak bisa mengganti lembut kasihnya.

Mas jaka…! Engkau belum bisa hentikan kodrat dan naluri seorang perempuan. Aku akan tetap setia menantinya di dermaga ini. Kita tak bisa menebak ke arah mana jalan yang harus kita jalani. Serahkan semua menurut amanah dan janjiNya. Kita harus berhenti di simpang jalan dermaga ini. Kehendakku dan kehendakmu adalah kehendakNya. Harapan masa depan masih terpampang di depan mata. Semoga Allah masih mencurahkan kasih sayangnya kepada kita. Dia akan mencari jalan kebahagiaan yang lain.

Dan entah berapa lama waktu berlalu seusai pelampiasan perasaan kita di dermaga itu. Dalam waktu itu pula kita tak pernah lagi bertemu, sekalipun hanya dalam mimpi. Waktu sedikit menggerus kenanganku atasmu, walau tak mudah. Hingga akhirnya aku menemukan jawaban atas kisah kita, setelah sekian lama. Apa yang aku alami, benar-benar sulit aku percaya. Frans. Ya, namanya hanya satu kata, Frans. Ia lah lelaki kedua itu. Ah, biar saja ia kusebut lelaki kedua walau bagimu Franslah satu-satunya pria idamanmu Dian. Ini adalah kebodohanku untuk ke sekian kalinya. Mungkin engkau tak tahu Dian, sebagaimana kau tak mau tahu, ada duri mawar yang masih kau tinggalkan di hati ini. Dan inilah kebodohanku itu.

Frans adalah seorang temanku. Memang kami tidak terlalu akrab, tapi kami sangat mengenal satu sama lain. Apalagi wanita-wanita yang kerap disebut dan diperkenalkan Frans padaku. Ia memang pandai bermanis wajah dan kata. Bukan hanya padaku, tapi lebih-lebih pada sejumlah wanita yang ia kenalkan padaku sebagai pacarnya. Entah sudah berapa banyak wanita yang dibuatnya takluk. Tapi, dari banyak wanita yang ia sebut, tak ada namamu Diandra. Tak ada sama sekali. Dan tentu, aku tak berpikir bahwa engkau dan Frans saling mengenal. Dan ketika kabar itu menyapaku, aku sungguh-sungguh tercekat. Dalam diamku ternyata ada ratap pilu yang tak terungkap. Ada air mata yang tak tumpah. Ada luka yang dalam. Semakin sakit karena pedih itu kau tanam di jiwaku yang kerap lugu.

Inilah drama satir dalam hidupku Dian. Frans, melengkapi perih itu dan engkau telah menyuburkannya. Rangkaian kisah yang terjalin kelabu itu terjawab. Lagi-lagi oleh secarik kertas. Secarik kertas persegi bersampul itulah yang membuat aku terhenyak. Ia jawaban atas batinku, yang acap menyurutkan diriku. Cukuplah aku melihat gambar kalian dalam gaun pengantin di sampul undangan berwarna biru itu. Aku lebur tak kuat membaca nama itu, Menikah Diandra Puspa dan Frans. Lalu aku seperti tak rela bila dirimu jatuh ke lelaki seperti Frans. Aku mati bersama kesedihan itu Dian. Tamatlah riwayatku.

----the end----

Kolaborasi: "KWARTED SAH" (NO. 74)  Halim Malik + Deddy Rachmawan + Lisa Meri T + Tonny Mondong

HALIM MALIK  http://www.kompasiana.com/Unik

DEDDY RACHMAWAN  http://www.kompasiana.com/rachmawan

LISA MERY T    http://www.kompasiana.com/li5ha

TONNY MONDONG http://www.kompasiana.com/tonny_mondong

CATATAN TAMBAHAN sebagai berikut: UNTUK MEMBACA TULISAN PARA PESERTA FFK YANG LAIN MAKA DIPERSILAKAN MENGUNJUNGI BLOG KF sbb: KampungFiksi@Kompasiana



 


Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun