Pendidikan tinggi dan berkualitas membuat rasa percaya diri terbangun dengan kukuh. Seolah dengan status pendidikan berkelas membuat nilai TOP melekat pada diri seseorang.
Dengannya membuat keyakinan tumbuh dan berkembang, bahwa pasti mampu meraih masa depan gemilang. Seolah kejayaan sudah dalam genggaman.
Benarkah demikian adanya? Dapatkah pendidikan yang tinggi menjamin masa depan seseorang pasti cemerlang? Realitanya tak selalu begitu.
Pendidikan tinggi memang membawa pengaruh kuat pada kualitas hidup seseorang. Namun bukan jaminan seseorang akan meraih mimpi hanya karena memiliki pendidikan tinggi.
Pendidikan tinggi yang tak diiringi dengan paradigma yang lurus malahan akan membuat seseorang terjerumus. Banyak oknum dengan status pendidikan yang membuat berdecak kagum malahan melakoni tokoh antagonis dalam hidupnya.
Tak hanya membuat dirinya yang terjerumus ke lembah kehinaan. Namun juga merugikan banyak orang dan memakan korban. Seperti, mengeruk sumber daya alam negeri dengan rakus untuk kepentingan pribadi dan memperkaya diri.
Menjual aset negeri untuk menyukseskan gaya hidup yang hedonis.
Bahkan negeri ini pernah digemparkan oleh kenyataan pahit. Salah satu putra bangsa yang menempuh pendidikan tinggi hingga menyeberangi benua. Namun memainkan peran sebagai predator beringas. Merenggut dan menodai kehormatan ratusan pemuda sejenis. Hingga mendekam di penjara paling mengerikan di salah satu negara Eropa sana.
Pendidikan tinggi yang tak diiringi dengan iman dan takwa pada Tuhan akan berakhir bencana. Pendidikan TOP yang tak diiringi dengan pikiran dan akhlak positif akan membuat seseorang hancur. Bahkan menghancurkan lingkungan sekitarnya.
Bagaimana dengan mereka yang harus menerima kenyataan memiliki pendidikan tak cetar? Entah karena kekhilafan di masa lalu hingga bermalas-malasan. Atau terperangkap dengan pengaruh lingkungan yang membuat lupa belajar dan asyik bermain. Hingga aktivitas pendidikan terabaikan dan putus sekolah.
Ada juga yang tak mampu menempuh pendidikan tinggi tanpa dikehendaki. Bahkan tak haya sekadar pendidikan tinggi yang tak dirasai. Pendidikan dasar pun tak tuntas. Tersebab status perekonomian orangtua di level prasejahtera.Â