"Jika tak kuliah di kampus bonafid, itu bukan siswaku." Kalimat ini juga pernah singgah dan menghujam hati. Beliau yang berbicara tak melihat gurat kesedihan berkelebat di mata siswa.
Mungkin beliau lupa. Melabuhkan pilihan di kampus favorit akan melahirkan biaya. Apalagi universitas yang disasar berada di luar kota atau mesti menyeberang pulau. Masa itu beasiswa tak seperti sekarang yang begitu menjamur.Â
Bagaimana mau mengejar kampus favorit. Untuk memenuhi kebutuhan pokok saja Ayah Bunda mesti berpayah-payah. Sebagai anak, kami tak tega banyak menuntut.
Hal ini sempat membuat semangat belajar merosot tajam. Buku-buku di meja belajar diacuhkan begitu saja. Bahkan tugas rumah pun tak disentuh.Â
Menyadari ada yang janggal dengan sikap anak, Ibu kembali turun tangan. Menurut beliau, manusia bukan penentu takdir. Siapa pun dia. Kita punya hak yang sama untuk mewujudkan mimpi menjadi prestasi. Mengukir cita menjadi karya berharga.
Begitu petatah petitih beliau yang setia menemani langkah kami mengemudi menuju cita.
"Setinggi apa gizi singkong? Menu makanan kalian hanya singkong. Mulai dari daun hingga buah singkong kalian lahap. Bisa-bisanya menjadi juara kelas ya. Tanpa listrik lagi."Â
Satu kali celoteh seorang perempuan dewasa penuh cemooh menggenggam buku rapor sekolah kami. Â Tatapan sinis dengan bibir miring menyempurnakan peran antagonis yang sedang dilakoni wanita itu.
Otomatis ketiga bocah yang ditanya menatap beliau dengan penuh kebencian dan sakit hati. Namun ibu yang menjadi saksi perlakuan keji itu segera menengahi.Â
"Bukan gizi singkong yang membuat mereka berprestasi. Melainkan gen cerdas kakak yang turun pada mereka." Penjelasan ibu membuat pandangan kami menyipit ke arah beliau.
Bentuk penolakan atas sikap ibu yang memuji pengejek tiga jagoan beliau. Yang dipuji tersenyum manis sembari berusa mengusap kepala kami. Spontan kami mengelak dari tangganya. Keberatan tangannya menyentuh kepala kami.