Terlahir di tengah keluarga sederhana namun  melodi bahagia tak pernah sirna. Ayah Bunda sukses hadirkan tawa ceria pada kami anak-anaknya.
Keluarga kecil kami kerap dipandang sebelah mata. Caci dan cerca tak pernah reda. Namun menurut Ayah dan Ibu, kami patut bahagia dan berjaya. Bangun mimpi-mimpi, lalu wujudkan jadi prestasi.Â
Ejekan dan hinaan telah mulai dinikmati sebagai menu wajib. Bahkan sebelum kami mengenyam bangku pendidikan di sekolah formal.Â
Kadang mendapatkan perlakuan berbeda dari sosok-sosok yang diharapkan bakal menjadi pelindung. Namun harapan hancur berkeping-keping. Bukan dukungan yang diperoleh. Melainkan cibiran dan pengucilan.
Tiga bocah kecil anak petani ini terus mengulum pil pahit ejekan dari bebagai pihak. Air mata kegetiran tak dapat ditahan karena terus disisihkan. Pelukan hangat Ayah Bunda melerai tangis. Hingga duka yang hadir menjelma menjadi bahagia. Mata berbinar menerima sentuhan kasih sayang Ayah Bunda.
Memasuki bangku sekolah formal, dipikir perlakuan berbeda akan sirna. Ah, namun realita kembali meleset dari perkiraan.Â
Mungkin ini bentuk didikan langsung dari Tuhan. Agar belajar berhenti berharap pada manusia. Cukup pada Allah, Tuhan yang Maha Kuasa saja tiap harapan digantungkan.
Seiring berjalannya waktu, sekolah awalnya diharapkan akan menjadi tempat yang paling menyenangkan. Banyak yang mengatakan, masa-masa sekolah adalah masa yang paling indah.
Namun maaf, saya tak mereguk manisnya masa sekolah seutuhnya. Selama melangkah di sirkuit pendidikan, selalu saja ada oknum yang membuly. Baik dari rekan sejawat maupun dari oknum pendidik.
Menerima perlakuan pengucilan hanya karena tak bisa ikut serta dalam menjahit seragam kelas yang digagas teman-teman. Itu saya rasakan. Pengaduan diganggu sama teman ditolak dan tak digurbris. Ini juga saya kecap.