"Aku tak suka diminta mengarang. Aku benci. Aku tak bisa." Tiba-tiba tanpa komando seorang siswi datang sembari memperlihatkan sebuah buku tulis pada gurunya.Â
Mata siswi ini tampak berkaca-kaca. Kening penuh kerutan, alis nyaris bertaut. Tak ketinggalan bibir manyun menyempurnakan gambaran duka yang menyelimuti hatinya.
Bu Guru yang didatangi tersenyum manis dan mengambil buku tulis yang disodorkan siswi yang sedang nelangsa ini. Tampak buku mulai menipis. Terlihat jelas bekas sobekan pada bagian tengah buku.
"Bukunya aku sobek. Karena tulisannya jelek." Celetuk siswi pemilik buku melihat gurunya memperhatikan jejak sobekan lembaran buku tersebut.
Sejatinya siswi berkulit putih ini sangat cerdas. Apalagi pada pelajaran hitung-hitungan. Begitu pun saat materi-materi sain dipaparkan. Dialah yang paling cepat memahami apa yang diterangkan guru.
Namun tak begitu halnya dengan pelajaran yang berbau paragraf, ide pokok, puisi dan tata bahasa lainnya.
Bu guru yang didatanginya tertawa kecil. Melihat siswi imut ini begitu berduka terhadap pelajaran yang kerap dianggap remeh oleh sebagian besar siswa.
"Ini yang membuatmu berduka sobat? Ada lagi?" Tanya si guru dengan ringan.
Ia pun menggeleng sembari menunduk. Tak berani menatap mata sang guru. Walaupun sang guru merespon pengaduannya dengan sangat santai.
"Baik, kau dibebaskan dari segala tugas yang terkait pelajaran Bahasa Indonesia." Ucap si guru tiba-tiba.
Si murid terlihat tercengang mendengar statmen dari bu guru kocak itu.Â
"Tapi ada satu permintaan dari saya. Itupun jika kau berkenan." Sang guru melirik muridnya sejenak, lantas kembali melanjutkan kalimatnya yang menggantung.
"Tulis sepucuk surat cinta untukku setiap hari. Ekspresikan seluruh rasamu untukku melalui surat. Jika itu terasa berat, dua kali sepekan cukuplah. Jika masih tak sanggup, sekali sebulan bolehlah. Atau terserahmu saja. Yang terpenting ikhlas dan tak membebanimu."
Celoteh sang guru panjang lebar tanpa melepaskan senyum dari bibirnya.
"Ibu serius?" Tanya murid yang tiba-tiba diberi tugas yang tak ada kaitannya dengan materi pembelajaran tersebut. Ia memastikan kebenaran kalimat gurunya dengan mata berbinar.
Sang guru mengangguk dengan pasti. Siswi yang tadinya datang dengan wajah cemberut melompat kegirangan membawa buku tulisnya yang mulai menipis itu. Diluar dugaan, hari itu juga ia mulai menulis surat cinta yang diminta oleh bu guru.
Itu nyaris berlangsung setiap hari. Sepucuk surat yang ditulis pada potongan kertas itu kadang tak hanya berisi tulisan saja. Hiasan bunga-bunga serta gambar love menghiasi suratnya.
Terkadang ada terselip rupa-rupa permen dalam lipatan surat yang ditulis untuk bu guru. Ketika ditanya oleh gurunya, siswi ini menjawab dengan penuh keceriaan, bahwa itu kado cinta untuk bu guru.Â
Setiap hari surat cinta dari siswa mendarat di tangan sang guru. Bahkan itu diikuti oleh teman-temannya yang lain. Tulisan yang awalnya terlihat acak-acakan mulai rapi.
Lembaran kertas yang awalnya hanya berisi beberapa kalimat saja, kini mulai membentuk sebuah paragraf. Seiring berjalannya waktu, tak hanya surat cinta yang dikirimkan pada sang guru.
Terkadang cerita kesehariannya pun tertulis rapi dalam beberapa halaman kertas. Tanpa disadari, siswi yang awalnya tak suka menulis, kini telah lihai menulis.Â
Soal-soal ulangan Bahasa Indonesia yang kadang terlihat panjang karena banyak teks bacaan mulai disukainya. Bahkan ia terlihat antusias terhadap teks bacaan yang dulu dianggapnya tak menarik sama sekali.
***
Sejatinya, profesi sebagai seorang guru merupakan hal yang sangat menyenangkan. Berdamai dengan setiap keluhan siswa yang datang akan membuat kebahagiaan berpendar di relung hati.Â
Dengan begitu, sebagai guru kita bisa terbebas dari tekanan ketika capaian siswa tak sesuai harapan.
Apalagi jika kita menyadari, bahwa tujuan pendidikan yang sesungguhnya merupakan untuk pembentukan karakter seseorang. Seperti yang dipaparkan oleh Charllote Mason dalam buku "Cinta yang Berpikir."
Maka dari itu, hendaknya pendidikan akademis kita jadikan sebagai sarana melatih kebiasaan baik terhadap diri siswa. Bukan hanya mengejar ketuntasan nilai berupa angka-angka di atas kertas.
Ada nilai yang lebih prioritas dari pada itu semua. Yakni nilai-nilai kebaikan sebagai manusia seutuhnya yang dapat menyebar benih-benih kebermanfaatan untuk lingkungan di sekitarnya.
Ruang Mimpi, 28 November 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H