Mohon tunggu...
Herlin Variani
Herlin Variani Mohon Tunggu... Guru - Penulis Parents Smart untuk Ananda Hebat, Guru, Motivator

Penulis Parents Smart untuk Ananda Hebat, Guru, Motivator

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Komplit (1)

9 November 2020   21:28 Diperbarui: 10 November 2020   07:26 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Duo siswa ganteng, abis berantem diajak bercanda. Gini jadinya. Tangis menjadi tawa


Kerap disebut berbeda oleh lingkungan, nampaknya itu membuat saya perlahan benar-benar menjelma menjadi sosok tak biasa. Bisa dibilang begitu. Namun saya lebih senang menyebutnya dengan istilah istimewa. Bukan berbeda.

Tentu saja reaksi yang diterima dari lingkungan begitu beragam dalam menghadapi seseorang yang dianggap memiliki kepribadian  unik dibanding orang-orang pada umumnya.

Bukan tak mungkin akan menuai komentar positif dan komentar miring. Nah, saya termasuk pribadi yang terus belajar dan berupaya agar tak dikendalikan oleh komentar orang lain. 

Ibarat sebuah pepatah yang mengatakan, the man behind the gun. Sebagai generasi muda, saya belajar menjadi pengendali dalam perjalanan hidup saya. Bukan dikendalikan. Atau bisakah dikatakan the girl behind the gun? Ah, entahlah. 

Intinya tak ingin dikendalikan dan menjadi boneka dalam perjalanan hidup ini. Karena semua manusia terlahir dengan status merdeka. Merdeka namun terikat dalam norma-norma yang bertujuan mengarahkan seseorang demi menjadi manusia seutuhnya.

Selagi langkah ini membawa manfaat, tak bertentangan dengan keyakinan dan norma-norma yang berlaku serta tak merugikan orang lain, Insya Allah saya akan tetap terus melangkah. 

Dokpri. Penulis Parents Smart untuk Ananda Hebat
Dokpri. Penulis Parents Smart untuk Ananda Hebat
Begitu juga terkait profesi hari ini yang saya jalani. Ini bukan pilihan akhir dalam hidup saya karena tidak ada pekerjaan lain. Juga bukan sekadar cita-cita di masa kecil.

Melainkan keinginan yang terus tumbuh dan berkembang dari nurani yang ingin menjadi seorang pendidik kala usia beranjak dewasa. 

Bukan tanpa alasan keinginan ini muncul. Ini dampak yang saya alami di masa silam. Kerap menjadi bahan bulian dan dipandang sebelah mata, hanya karena berasal dari keluarga biasa.

Bahkan, kerap teriakan pengaduan pada pihak yang dikira dapat melindungi diri, malahan menjadi bahan cemoohan. 

Mengalami hal tak nyaman seperti ini tak melahirkan rasa dendam. Malahan bertekat menjadi sosok yang dapat melindungi anak-anak dari bulian yang bersumber dari berbagai pihak.

Karena tekat itulah, saya memutuskan kuliah dikeguruan. Tepatnya jurusan pendidikan guru sekolah dasar. Karena saya menyukai anak-anak.

Bahkan saya tidak mengambil kesempatan kuliah di bidang kesehatan yang diidamkan oleh teman-teman kala itu. Walau saat itu saya lulus tes untuk bisa kuliah di bidang kesehatan di salah satu akademi kesehatan negeri. 

Hingga akhirnya, berkat izin Allah, setahun pasca wisuda saya lulus sebagai guru PNS . Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, perlahan saya mewujudkan mimpi saya untuk melindungi anak-anak dari segala macam bulian. Khususnya di area sekolah.

Teknik yang saya gunakan dalam mengajar  kadang memang rada unik. Saya lebih memprioritaskan memunculkan energi positif pada siswa-siswa saya. Ketimbang hanya mengejar target ketuntasan semata. 

Berikut ini beberapa hal unik yang acap kali saya lakukan dalam mendidik siswa saya:

Pertama, teknik penyelesaian pertengkaran antar siswa. Sangat lumrah kita menyaksikan siswa sekolah dasar bertengkar dan diakhiri dengan tangisan salah satu dari mereka. 

Menghadapi hal ini, saya sangat menghindari untuk marah atau pun menyidang mereka. Saya lebih senang memanggil mereka ke dalam ruangan yang hanya ada saya sebagai gurunya. Serta para siswa yang bertengkar.

Menurut pembaca apa yang saya lakukan? 

Jika mereka masih menangis, saya akan kasih tisu untuk menghapus air matanya dan minta mereka menghentikan tangisnya sejenak. Saya tak akan mengorek informasi, kenapa mereka berkelahi. 

Khawatir hal itu akan membuat emosinya kembali meledak. Saya kerap melakukan hal yang sedikit konyol. Misalnya, meminta mereka saling berpelukan penuh kehangatan sekejap saja. Tak boleh lama-lama.

Berpose dengan penuh keakraban sembari menebar senyuman. Tangis menjelma menjadi tawa
Berpose dengan penuh keakraban sembari menebar senyuman. Tangis menjelma menjadi tawa
Terkadang mereka saya minta berpose ala teman akrab dengan senyuman sumringah. Saya pun mulai mengambil gambar mereka ala fotografer profesional. 

Sesekali saya perbaiki senyum mereka. Biasanya hal ini akan mengundang tawa, emosi pun reda. Suasana cair. Cerita pun mengalir. Dua-duanya mengaku salah dan saling minta maaf.

Kali lain, pernah saya mengajak anak-anak yang sedang diamuk kemarahan menari ala Michel Jacson. Mereka diminta mengikuti tarian Michel Jacson ala guru isengnya. 

Biasanya mereka akan mengikuti instruksi. Awalnya gondok. Lama-lama ngakak karena mereka diarahkan dengan gaya kocak.

Jika saya melakukan atraksi seperti ini, biasanya pintu kelas ditutup. Agar tak memunculkan kekagetan teman-teman sejawat atau orang tua siswa yang melihat seorang guru berkerudung panjang menari ala Michel Jacson.

Setelah kemarahan siswa ini berganti dengan gelak tawa, di situlah momen saya masuk untuk mengurai masalah mereka. Tak lupa memberikan pesan-pesan moril untuk mereka. 

Harapannya, mereka lebih bisa menerima nasihat dengan kondisi pikiran tenang dan suasana hati kondusif.

Yach, ceritanya udah kepanjangan. Jadi ngga seru deh. Lanjut lain kali Insya Allah ya

Maaf jika agak garing

Bersambung

Ruang Mimpi, Senin, 9 November 2020

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun