Keinginan untuk berangkat ke tanah suci semakin mendesak. Hati enggan diajak berkompromi untuk menunda mewujudkan mimpi yang satu ini.Â
Tak jarang gerimis menderas di dua pertiga malam. Memohon kepada Sang Khalik agar langkah kaki ini diizinkan dan diridhai untuk menjambangi rumah-NYA di tanah suci.Â
Ingin sekali mata penuh dosa ini menatap ka'bah secara langsung. Ingin mengecap dahsyatnya langkah-langkah kaki saat menjalankan tawaf. Ingin merasakan lapis-lapis keberkahan di taman Raudhah.Â
Hasrat yang tak dapat dibendung lagi memerintahkan otak untuk segera berpikir cepat. Otak memerintahkan diri untuk segera mengambil langkah tepat.Â
Dengan modal keberanian dan keyakinan, pada awal tahun 2018 dibangunlah komunikasi dengan salah seorang sahabat. Beliau memiliki usaha travel yang secara berkala memberangkatkan jamaah umrah ke tanah suci.
Dengan rasa percaya diri yang sudah tak dapat ditawar lagi, akhirnya nama terdaftar sebagai jamaah umroh yang akan diberangkatkan di akhir tahun 2018.
Jamaah lain menyerahkan DP umroh sebesar lima juta rupiah. Sedangkan diri ini hanya menyetorkan 1,5 juta rupiah. Karena hanya sejumlah itu yang dimiliki.
Itupun dengan cara menutup salah satu koperasi yang selama ini diikuti. Sehingga modal usaha yang dimiliki dikembalikan. Hanya itu cara yang terpikir saat itu demi mewujudkan asa. Karena sejatinya saya tak punya tabungan sama sekali.
Sedari kecil, ibu mengajari untuk tidak menumpuk uang. Dari pada uang ditumpuk, mending digunakan dan dimanfaatkan untuk membantu orang lain. Begitu yang selalu beliau paparkan pada kami anak-anak beliau.
Sebuah prinsip yang memang terlihat sedikit aneh. Namun realitanya, seperti yang ibu tekankan pada kami akan konsep rezeki memang terjadi. Ketika mendadak kami butuh biaya, selalu saja ada jalan dari arah yang tak terduga.
Berbekal keyakinan yang sudah tertanam sejak kecil inilah saya mencoba memberanikan diri untuk daftar umroh. Bismillah, perkuat doa dan usaha. Begitu saya menguatkan hati.
Qadarullah, tiba-tiba travel tempat saya mendaftar umroh tersebut bermasalah. Namun sang pengelola bertanggung jawab. Keberangkatan yang direncanakan akhir 2018 dimajukan ke bulan Oktober di tahun yang sama.
Tak ayal lagi, hal ini membuat saya menangis sejadi-jadinya. Keinginan untuk bercengkrama dengan Sang Khalik di tanah suci sangatlah kuat. Namun kekuatan kantong tak mendukung.Â
Untuk keberangkatan bulan Desember saja, belum tentu saya dapat melakukan pelunasan biaya keberangkatan. Apalagi jika keberangkatan dimajukan ke bulan Oktober.
Hingga dua pekan jelang hari keberangkatan, pengelola travel menanyakan keseriusan saya untuk menjalani ibadah umroh.
"Munkin tahun ini belum takdirku menginjakkan kaki di sana kak." Tanggapan sendu disampaikan.
Dalam keseharian saya tetap ceria seperti biasa. Namun dalam kesendirian tangisan menderas. Curhat di dalam dan di luar solat pada Sang Pencipta.
Paspor telah diurus, namun biaya perjalanan belum juga diselesaikan.
Selang beberapa hari kemudian, ada some one special yang menghampiri.
Ia menanyakan, seberapa besar keinginan saya untuk ke tanah suci. Tak satu kalimat jawabanpun yang dapat saya berikan.
Saya yang biasanya piawai menyembunyikan tangis dihadapan orang lain, mendapat pertanyaan demikian membuat air mata tumpah ruah tak terkendali.
Saya memohon pada yang bersangkutan untuk tidak melontarkan pertanyaan itu lagi. Karena berefek menorehkan luka menganga di hati.
Namun dia membandel.
"Jawab saja, apa susahnya. Ingin atau tidak?" Tanyanya dengan nada yang agak tinggi.
Sebuah anggukan lemah dengan wajah tetap tertunduk isarat jawaban dari pertanyaan yang menghujam nurani itu. Detik berikutnya, ia menyodorkan sejumlah uang yang terikat rapi.
"Segera lunasi biaya keberangkatanmu. Semoga mabrur. Selamat pulang pergi." Ucapnya singkat dan berlalu pergi tanpa memberi saya kesempatan untuk sekadar menyampaikan terima kasih. Tak ingin membuang waktu, pelunasan biaya keberangkatan segera diselesaikan.
Sungguh indah cara Allah dalam mempermudah niat baik hambaNYa. Keajaiban berikutnya terjadi. Ketika saya memutuskan menutup koperasi di tempat tugas lama.
Tujuannya punya uang pegangan dalam perjalanan ke tanah suci. Â Dalam asumsi saya, uang yang akan diperoleh hanya tiga jutaan.
Dengan derap langkah keyakinan dan ditemani oleh seorang sahabat, saya menuju ke ujung kabupaten Lansek Manih.
Sesampai di tempat tujuan, hal mengejutkan kembali terjadi. Urusan yang biasanya berbelit, kini tuntas secepat kilat. Uang 14 juta cair dalam sekejap. Tak pelak saya melongo seperti bocah polos.
Bertanya kenapa jumlahnya sebanyak ini? Saya tak pernah meminjam di koperasi ini.Jadi dipastikan saya tak memperoleh bagi hasil usaha dengan jumlah besar.
Catatan pembukuan pun disodorkan guna mengusir keraguan yang menyelimuti hati ini. Terlihat memang tak ada kekeliruan pada catatan tersebut.
Rasa syukur tiada tara memenuhi ruang hati.
Kala uang tersebut sampai di tangan, tak lupa berbagi dengan orangtua dan saudara.
Sisanya ditukar dengan ribuan real.
Tak percaya dengan apa yang terjadi, namun mulai mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh. Persiapan yang pertama dilakukan adalah shalat taubat.
Berharap di sana diterima dengan baik oleh Allah Swt.
Coretan menjelang tidur di Ruang Mimpi, 6 November 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H