Qadarullah, tiba-tiba travel tempat saya mendaftar umroh tersebut bermasalah. Namun sang pengelola bertanggung jawab. Keberangkatan yang direncanakan akhir 2018 dimajukan ke bulan Oktober di tahun yang sama.
Tak ayal lagi, hal ini membuat saya menangis sejadi-jadinya. Keinginan untuk bercengkrama dengan Sang Khalik di tanah suci sangatlah kuat. Namun kekuatan kantong tak mendukung.Â
Untuk keberangkatan bulan Desember saja, belum tentu saya dapat melakukan pelunasan biaya keberangkatan. Apalagi jika keberangkatan dimajukan ke bulan Oktober.
Hingga dua pekan jelang hari keberangkatan, pengelola travel menanyakan keseriusan saya untuk menjalani ibadah umroh.
"Munkin tahun ini belum takdirku menginjakkan kaki di sana kak." Tanggapan sendu disampaikan.
Dalam keseharian saya tetap ceria seperti biasa. Namun dalam kesendirian tangisan menderas. Curhat di dalam dan di luar solat pada Sang Pencipta.
Paspor telah diurus, namun biaya perjalanan belum juga diselesaikan.
Selang beberapa hari kemudian, ada some one special yang menghampiri.
Ia menanyakan, seberapa besar keinginan saya untuk ke tanah suci. Tak satu kalimat jawabanpun yang dapat saya berikan.
Saya yang biasanya piawai menyembunyikan tangis dihadapan orang lain, mendapat pertanyaan demikian membuat air mata tumpah ruah tak terkendali.
Saya memohon pada yang bersangkutan untuk tidak melontarkan pertanyaan itu lagi. Karena berefek menorehkan luka menganga di hati.
Namun dia membandel.
"Jawab saja, apa susahnya. Ingin atau tidak?" Tanyanya dengan nada yang agak tinggi.
Sebuah anggukan lemah dengan wajah tetap tertunduk isarat jawaban dari pertanyaan yang menghujam nurani itu. Detik berikutnya, ia menyodorkan sejumlah uang yang terikat rapi.
"Segera lunasi biaya keberangkatanmu. Semoga mabrur. Selamat pulang pergi." Ucapnya singkat dan berlalu pergi tanpa memberi saya kesempatan untuk sekadar menyampaikan terima kasih. Tak ingin membuang waktu, pelunasan biaya keberangkatan segera diselesaikan.