"Ibuuu.... Kata temenku umurku gak nambah, apa iya Bu?" Jalu berlari sembari memeluk Ibu saat pulang sekolah siang itu.
"Kok bisa, siapa bilang umur Jalu gak nambah," jawab Ibu sambil mengusap air mata yang sempat singgah di wajah anak laki-laki berusia hampir genap delapan tahun.
Jalu Wulung Janeswara. Begitulah nama yang tercipta. Terselip doa doa indah di antara helai kata. Ibu dan Bapak Jalu berharap Jalu tumbuh menjadi anak laki-laki yang pemberani pun bijaksana dalam menghadapi dunia.
Rupanya Jalu nampak sedikit gelisah. Saat mendapati teman yang sedang berultah. Pun gurauan teman lain yang membuat hatinya gundah.
"Tadi Ziyad ulang tahun to. Bawa kue ke kelas. Umurnya nambah satu jadi delapan. Terus temen-temen bilang kalau umurku nggak mungkin bisa nambah, lha wong tanggal lahirku saja enggak pernah ada di kalender," isak Jalu semakin hebat.
"Hahaha ya enggaklah, sudah sudah ndak usah nangis lagi ya Le," Ibu berusaha menenangkan. Memeluk Jalu dengan penuh kasih sayang.
"Jalu sayang dengar ya Nak, umur Jalu setiap tahun selalu bertambah kok. Tahun ini saja Jalu genap berusia delapan tahun, sama seperti Ziyad," Ibu berusaha merajuk Jalu.
"Lihat, badan Jalu sudah tambah tinggi to? Sudah bukan bayi lagi lo. Sudah tidak pernah minta gendong Ibu. Karena Jalu sudah pandai berjalan bahkan berlari kencang. Iya kan?" Ibu mulai berhasil mendamaikan suasana.
Meski Jalu masih nampak sedikit risau. Namun dengan seksama dia menyimak kata demi kata yang dikisahkan Ibu.
"Iya ya Bu. Jalu sudah bisa jalan juga lari. Dan sekarang Jalu jago naik sepeda lo."
"Nah kan, Jalu anak pintar."