Kusandarkan kendaraanku di tepi jalan nan sempit. Agak menepi sedikit agar yang lain tak saling berhimpit. Tak perlu kukunci stang. Sebab kupikir hanya sebentar bertandang.
"Ibu ada?" tanyaku pada seorang anak laki-laki belasan tahun yang berdiri tak jauh dari pintu. Yusuf namanya.
"Ada, sedang di belakang, tunggu sebentar, silahkan duduk," jawabnya tersenyum sembari menawarkan bangku kecil di sudut ruang itu.
Aku mengangguk, lalu duduk. Sambil menunggu, kuperhatikan beberapa meja di depanku. Ada yang aneh. Tak seperti biasa. Belum ada aktivitas menyapa. Tumben. Biasanya benang dan kain sudah bercengkerama di atas mesin. Ada apa dengan Srikandi pagi ini?
Mbak Kas. Begitulah aku memanggil. Sosok Srikandi yang tangguh. Memikul beban keluarga tanpa kata keluh. Aku mengenalnya sudah sejak lama. Kami tinggal berdampingan desa.
Keseharian Mba Kas disibukkan dengan beragam jahitan. Dari ukuran anak-anak hingga dewasa tak henti dikerjakan. Begitu cekatan dilakukan demi dua buah cinta dalam pelukan.
Suami Mba Kas adalah seorang pengrajin kayu. Jika ada pesanan maka beliau akan mendapat upah. Namun jika tidak, beliau pun harus rela meski tak menerima rupiah.
Oleh karenanya Mba Kas tak bisa berpangku tangan. Membantu suami pun membiayai kedua putra putri menempuh pendidikan. Seakan tlah menjadi kewajiban.
"Ada apa Mba? Pagi-pagi sendiri saja kemari," suara lirih terdengar dari arah belakang. Sejenak menyadarkanku dari lamunan.
"Eh, Mba sehat?" sapaku pada wanita paruh baya yang kemudian berdiri agak lesu di depanku.
"Kenapa belum mulai? Biasanya sudah bergelut dengan aneka benang pun kain yang terajut," pertanyaanku mulai tak bisa kupertahankan. Segera saja kuhadirkan.
"Alhamdulillah sehat. Cuma lagi sepi Mba. Kemarin terakhir kerjakan seragam, selesai. Belum lanjut lagi. Padahal Yusuf sudah mulai bayaran kuliah, ini awal bulan kan? SPP Siti juga harus segera dikirimkan," raut wajah yang mulai mendung. Membuat air mataku tak bisa dibendung.
"Sabar ya Mba," hanya kalimat itu yang terlontar dari bibirku. Rasanya aku tak sanggup menatap bola mata yang mulai berkaca.
"Oya, kebetulan saya mau jahit baju, gamis dan kemeja. Ukuran seperti biasa ya. Bentuknya manut njenengan saja," aku mulai membuka maksud kedatanganku.
"Alhamdulillah, makasih ya Mba rejeki memang datang tak diduga, ya kan?" senyumnya mulai merekah. Aku bahagia.
"Iya sama-sama Mba. Lihat njenengan senyum kembali saya jadi lega. Saya pamit dulu ya mau ke pasar keburu siang. Anak-anak sendiri di rumah," aku segera berlalu menuju kendaraan yang kusandarkan.
***
"Mbaa bajunya sudah jadi," satu pesan singkat kuterima lewat WA siang itu. Dari Mba Kas. Aku gembira. Mba Kas begitu lihai mengerjakan tugasnya.
Sangat cepat. Hanya lima hari menunggu. Tak sampai satu minggu, dua baju selesai diramu. Hebat. Srikandi satu ini memang gesit dan cermat. Kebetulan baju akan kukenakan pada acara keluarga pekan depan.
"Baik, saya ambil sekarang ya Mba," aku bergegas menuju rumah Mba Kas.
***
Mba Kas menyambutku di depan pintu. Kulihat urai senyum yang begitu memikat. Sudah dipastikan Mba Kas sedang bahagia sangat.
"Hebat Mba kerja yang cepat," ucapku bangga.
"Harus itu, kalau mau jadi Srikandi wajib melesat," jawaban Mba Kas begitu bersemangat.
"Betul Mba salut saya sama panjenengan. Kuat dan hebat," aku tak bisa menyembunyikan kekagumanku pada Mba Kas. Sesosok Srikandi yang begitu tangkas.
Tetiba pandanganku tertuju pada setumpuk kain hijau yang diletak tak jauh dari warna warni benang yang agak sedikit kacau. Suasana ruang kerja Mba Kas tak seperti waktu lalu. Riuh penuh dengan kain bakal baju.
"Wah banyak pesanan Mba?" tanyaku kemudian.
"Alhamdulillah tadi Bu Wiwi kemari saya disuruh menyelesaikan beberapa seragam sekolah," ucap Mba Kas dengan wajah sumringah.
"Alhamdulillah, nderek bingah Mba. Semangat pokoke," rasa banggaku semakin menggebu.
"Wow apa ini Mba?" lanjut aku terkesima melihat beberapa makanan ringan yang berjajar rapi. Siap dieksekusi para pembeli.
"Itu titipan tetangga Mba, ntar saya dapat upah juga, Alhamdulillah. Bayaran kuliah Yusuf sudah saya lunasi. SPP Siti pun telah terkirim pagi tadi. Masya Allah leganya hati ini Mba," senyum bahagia jelas terurai dari wajah ibu yang penuh cinta.
Tangguh. Srikandi keluarga pantang mengeluh. Berbagai usaha dijalankan meski terurai peluh. Dan, siang itu perbincangan kami bertabur canda tawa. Sebagai rasa syukur terkabulnya doa.
***
Begitulah. Hari-hari Mba Kas tak pernah luput dari untaian tugas. Satu waktu, helai jahitan terkumpul dari para pelanggan. Terkadang kewalahan jikalau banyak yang datang.
Namun tak jarang pula sepi tanpa pesanan. Mba Kas tetap bersabar dan tegar, menanti hingga rejeki kembali menghampiri. Segala usaha pun doa tak putus dipanjatkan pada Sang Pencipta bumi.
Dua putra putri yang masih menempuh bangku sekolah. Harus menerima keadaan sang bunda pun mereka tak pernah menyerah. Meski tak henti berserah. Seakan mengerti, menjadikan mereka anak-anak yang cukup mandiri. Luar biasa.
Biaya hidup seolah menjadi tanggungan. Namun Mba Kas tetap berjuang dan bertahan. Tulus ikhlas menerima. Jalan hidup yang telah digariskan dianggapnya sebagai amanah yang harus dijaga.
Aku terhanyut menyaksikan sebentuk perjuangan. Sesosok ibu yang menaklukan tantangan kehidupan. Menopang tiang keluarga bukan hal yang mudah dilakukan.
Mba Kas telah membuktikan. Kesabaran tak henti disebarkan. Pun ketangguhan dalam menghadapi cobaan. Menjadi saksi bahwa beliau merupakan Srikandi keluarga yang gigih dalam berjuang.
Niek~
Jogjakarta, 31 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H