Mohon tunggu...
Ummu el Hakim
Ummu el Hakim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang emak biasa

Penyuka alam dan rangkaian kata

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Gunungkidul, Dahulu Kekurangan Air Kini Rawan Banjir

7 Maret 2019   20:33 Diperbarui: 8 Maret 2019   07:09 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa yang tak kenal dengan Kabupaten Gunungkidul? Kini kerap muncul di berbagai media. Terkenal karena obyek wisata alamnya yang menawan, membuat hati tertawan bahkan tertahan hingga enggan pulang.

Berbagai wisata goa hingga pantai yang begitu memikat. Hati siapa yang tak tertambat. Untuk singgah barang sesaat. Keindahan alami belum tersentuh teknologi. Kiranya aku pun ikut terbuai dengan pesona nyanyian alam Gunungkidul yang begitu melambai.

Dahulu tak begini keadaannya. Gunungkidul masih terpencil. Keberadaannya di pinggir seolah tersingkir dari pandangan mata wisata. Gunungkidul dulu hanya terkenal sebagai wilayah yang rawan kekeringan. Beberapa daerah disana begitu sulit mendapatkan air bersih. Masih banyak tanah berkapur, juga pemandangan ranting kering pun tersebar di sepanjang jalan menuju tengah kota, Wonosari.

Kebetulan bapakku lahir dan besar di Gunungkidul. Beliau pernah bercerita padaku tentang kampung halamannya yang begitu sedikit mendapat curah hujan. Sehingga beberapa daerah di Gunungkidul kerap mengalami kekeringan. Banyak lahan pertanian yang terbengkalai sebab air sulit dicapai.

Tanah yang berbalut batu kapur membuat masyarakat disana tak mudah mendapatkan air bersih. Butuh perjuangan mendapatkannya sebab mata air tak banyak ditemukan. Sehingga beberapa desa mengalami kekeringan yang berkepanjangan.

Beruntung desa kelahiran bapakku, Gelaran, mempunyai sistem irigasi yang cukup bagus. Sehingga untuk pengairan lahan pertanian, para petani tak begitu kesulitan mendapat air sesuai harapan. Namun tetap saja curah hujan yang tak begitu banyak membuat beberapa ladang yang tak terjangkau irigasi kerap mengalami kekeringan.

Hingga penghujung tahun 2017, tepatnya pada 28 November, rupanya alam menuai cerita yang berbeda. Curah hujan di Gunungkidul kerap meningkat jumlahnya. Hingga berita tentang musibah banjir di Kabupaten Gunungkidul sontak membuatku terhenyak. Bagai terjaga dari lamunan yang begitu panjang. Aku tak percaya. Daerah yang terkenal minim air, bisa juga terjadi banjir. Masya Allah.

Akibat curah hujan yang cukup tinggi, debit air Kali Oya meningkat hingga meluap. Ya, kali (sungai) yang terkenal cukup tenang itu ternyata bisa menghanyutkan segala macam kehidupan yang berada di sekitarnya.

Saat itu juga aku langsung menghubungi keluargaku yang masih tinggal dibantaran Kali Oya. Benar adanya, bahkan jembatan Bonjing yang menghubungkan dua wilayah di desa Gelaran hancur tak berkeping. Lahan persawahan dan sekitarnya tenggelam ditelan deru air yang begitu deras.

Kali Oya yang selama ini terlihat diam dan begitu tenang tak ada tanda pun akan menghanyutkan. Jarak antara bantaran hingga bibir sungai yang begitu dalam tak terbayang akan hebat menerjang. Bagai datang raksasa yang memuntahkan air bah. Menggelegar hingga sekitar pun terkapar tak berdaya melihat derasnya air yang mengalir begitu hebatnya.

Tenang namun menghanyutkan. Begitulah Kali Oya yang sekarang. Akibat dari terjangan banjir kala itu, jembatan yang menghubungkan dua wilayah terputus. Hingga pada Desember tahun 2017 dibuatlah jembatan baru atas instruksi Presiden Jokowi. Jembatan Bailey, begitulah masyarakat sekitar menyebutnya. Jembatan ini dibuat begitu kuat, dengan baja ringan berkualitas yang seolah bersiap jikalau terjangan datang terulang.

Jembatan Bailey Gelaran yang dibangun pada Desember 2017. Foto : dokumen pribadi pada tahun 2018.
Jembatan Bailey Gelaran yang dibangun pada Desember 2017. Foto : dokumen pribadi pada tahun 2018.
Benar saja, awal tahun ini hal serupa terjadi lagi. Kemarin, Rabu 6 Maret 2019, banjir kembali menerjang. Hujan yang terjadi tak berjeda. Hingga Kali Oya meluap dan menenggelamkan beberapa rumah warga. Bahkan mengakibatkan tanah longsor di beberapa wilayah yang memiliki struktur tanah labil sehingga tak kuat menahan debit air yang begitu hebat.

Kali Oya meluap Rabu 6 Maret 2019. Foto : dokumen grup WhatsApp.
Kali Oya meluap Rabu 6 Maret 2019. Foto : dokumen grup WhatsApp.
Gedangsari dan beberapa desa di Kecamatan Nglipar yang mengalami dampak banjir dan tanah longsor yang cukup lumayan. Beberapa sekolah tergenang air, beberapa keluarga terpaksa harus mengungsi ke tempat yang aman. Aktivitas terhenti hingga dipastikan air surut kembali. Hingga saat ini belum ada korban jiwa. Hanya kerugian harta benda. Yang dialami beberapa keluarga. Gunungkidul kembali berduka.

Beberapa bangunan menjadi korban di Kecamatan Nglipar, 6 Maret 2019. Foto : dokumen grup WhatsApp
Beberapa bangunan menjadi korban di Kecamatan Nglipar, 6 Maret 2019. Foto : dokumen grup WhatsApp
Aku hanya bisa termangu. Memandang gawai dengan informasi pilu. Sungguh membuatku berpikir. Bahwa alam ternyata bisa berubah pikir. Semula kerap membuat gersang, kini menyapa dengan luapan air yang menghanyutkan.

Rupanya kita tak bisa menerka. Alam yang digenggam-Nya begitu menggoda namun sekaligus bisa menghadirkan duka mendalam. Larut kesedihan belum kunjung padam, seketika dihentak dengan duka baru yang tak mampu terpendam.

Beberapa bulan lalu aku terpana dengan keindahan alam Kali Oya. Yang sempat aku nikmati dari Jembatan Bailey dan aku tulis dalam sebuah artikel Jembatan Bailey Gelaran Gunung Kidul, Keindahan Alami Belum Tersentuh Teknologi. 

Kini aku mendapat informasi dari keluarga lewat layar gawai, jembatan itu hampir tenggelam Rabu malam. Beruntung tak dihanyutkan oleh derasnya air yang begitu hebat dan dasyat. Merupakan pemandangan yang begitu berbeda dengan beberapa bulan silam.

Jembatan Bailey Gelaran hampir tenggelam Rabu malam, 6 Maret 2019. Foto : dokumen grup WhatsApp.
Jembatan Bailey Gelaran hampir tenggelam Rabu malam, 6 Maret 2019. Foto : dokumen grup WhatsApp.
Meski alam tak selamanya bersahabat, namun kiranya alam kan segera kembali memikat. Keindahan alam Gunungkidul merupakan wajah yang begitu indah. Aku yakin alam kan kembali merekah ditengah damai hati yang ramah.

Barangkali kita hanya perlu memiliki stok sabar dan syukur yang lebih banyak. Untuk menghadapi alam jikalau sedang tak bersahabat. Menjadikan duka sebagai bagian dari syukur sungguh merupakan hal yang dimuliakan.

Jika dahulu Gunungkidul kerap kekurangan air, Alhamdulillah sekarang sudah kelebihan air. Berlebih bahkan rawan banjir. Namun kiranya kita tetap harus mensyukuri keindahan alam Gunungkidul yang teramat istimewa tuk diingkari keberadaannya. Sembari memikirkan langkah antisipasi agar semakin siap dalam menghadapi alam jikalau sedang tak bersahabat.

Untuk keluarga dan sahabat di Gunungkidul, semoga duka segera menuai suka. La tahzan, innallaha ma'ana. Jangan bersedih, sesungguhnya Dia bersama kita. Karena alam yang digenggam-Nya sejatinya adalah sahabat setia. Yakinlah kita pasti senantiasa dalam lindungan-Nya. Aamiin Yaa Rabbal Alamiin.

Niek~
Jogjakarta, 7 Maret 2019

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun