Siapa yang tak kenal dengan Kabupaten Gunungkidul? Kini kerap muncul di berbagai media. Terkenal karena obyek wisata alamnya yang menawan, membuat hati tertawan bahkan tertahan hingga enggan pulang.
Berbagai wisata goa hingga pantai yang begitu memikat. Hati siapa yang tak tertambat. Untuk singgah barang sesaat. Keindahan alami belum tersentuh teknologi. Kiranya aku pun ikut terbuai dengan pesona nyanyian alam Gunungkidul yang begitu melambai.
Dahulu tak begini keadaannya. Gunungkidul masih terpencil. Keberadaannya di pinggir seolah tersingkir dari pandangan mata wisata. Gunungkidul dulu hanya terkenal sebagai wilayah yang rawan kekeringan. Beberapa daerah disana begitu sulit mendapatkan air bersih. Masih banyak tanah berkapur, juga pemandangan ranting kering pun tersebar di sepanjang jalan menuju tengah kota, Wonosari.
Kebetulan bapakku lahir dan besar di Gunungkidul. Beliau pernah bercerita padaku tentang kampung halamannya yang begitu sedikit mendapat curah hujan. Sehingga beberapa daerah di Gunungkidul kerap mengalami kekeringan. Banyak lahan pertanian yang terbengkalai sebab air sulit dicapai.
Tanah yang berbalut batu kapur membuat masyarakat disana tak mudah mendapatkan air bersih. Butuh perjuangan mendapatkannya sebab mata air tak banyak ditemukan. Sehingga beberapa desa mengalami kekeringan yang berkepanjangan.
Beruntung desa kelahiran bapakku, Gelaran, mempunyai sistem irigasi yang cukup bagus. Sehingga untuk pengairan lahan pertanian, para petani tak begitu kesulitan mendapat air sesuai harapan. Namun tetap saja curah hujan yang tak begitu banyak membuat beberapa ladang yang tak terjangkau irigasi kerap mengalami kekeringan.
Hingga penghujung tahun 2017, tepatnya pada 28 November, rupanya alam menuai cerita yang berbeda. Curah hujan di Gunungkidul kerap meningkat jumlahnya. Hingga berita tentang musibah banjir di Kabupaten Gunungkidul sontak membuatku terhenyak. Bagai terjaga dari lamunan yang begitu panjang. Aku tak percaya. Daerah yang terkenal minim air, bisa juga terjadi banjir. Masya Allah.
Akibat curah hujan yang cukup tinggi, debit air Kali Oya meningkat hingga meluap. Ya, kali (sungai) yang terkenal cukup tenang itu ternyata bisa menghanyutkan segala macam kehidupan yang berada di sekitarnya.
Saat itu juga aku langsung menghubungi keluargaku yang masih tinggal dibantaran Kali Oya. Benar adanya, bahkan jembatan Bonjing yang menghubungkan dua wilayah di desa Gelaran hancur tak berkeping. Lahan persawahan dan sekitarnya tenggelam ditelan deru air yang begitu deras.
Kali Oya yang selama ini terlihat diam dan begitu tenang tak ada tanda pun akan menghanyutkan. Jarak antara bantaran hingga bibir sungai yang begitu dalam tak terbayang akan hebat menerjang. Bagai datang raksasa yang memuntahkan air bah. Menggelegar hingga sekitar pun terkapar tak berdaya melihat derasnya air yang mengalir begitu hebatnya.
Tenang namun menghanyutkan. Begitulah Kali Oya yang sekarang. Akibat dari terjangan banjir kala itu, jembatan yang menghubungkan dua wilayah terputus. Hingga pada Desember tahun 2017 dibuatlah jembatan baru atas instruksi Presiden Jokowi. Jembatan Bailey, begitulah masyarakat sekitar menyebutnya. Jembatan ini dibuat begitu kuat, dengan baja ringan berkualitas yang seolah bersiap jikalau terjangan datang terulang.
![Jembatan Bailey Gelaran yang dibangun pada Desember 2017. Foto : dokumen pribadi pada tahun 2018.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/07/fotor-155195410171922-5c81179a12ae94650f3ac403.jpg?t=o&v=770)
![Kali Oya meluap Rabu 6 Maret 2019. Foto : dokumen grup WhatsApp.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/08/fotor-155196322466265-5c816f3dc112fe1dfd6b6857.jpg?t=o&v=770)
![Beberapa bangunan menjadi korban di Kecamatan Nglipar, 6 Maret 2019. Foto : dokumen grup WhatsApp](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/08/fotor-155196315497546-5c81718aaeebe15cf11a2628.jpg?t=o&v=770)
Rupanya kita tak bisa menerka. Alam yang digenggam-Nya begitu menggoda namun sekaligus bisa menghadirkan duka mendalam. Larut kesedihan belum kunjung padam, seketika dihentak dengan duka baru yang tak mampu terpendam.
Beberapa bulan lalu aku terpana dengan keindahan alam Kali Oya. Yang sempat aku nikmati dari Jembatan Bailey dan aku tulis dalam sebuah artikel Jembatan Bailey Gelaran Gunung Kidul, Keindahan Alami Belum Tersentuh Teknologi.Â
Kini aku mendapat informasi dari keluarga lewat layar gawai, jembatan itu hampir tenggelam Rabu malam. Beruntung tak dihanyutkan oleh derasnya air yang begitu hebat dan dasyat. Merupakan pemandangan yang begitu berbeda dengan beberapa bulan silam.
![Jembatan Bailey Gelaran hampir tenggelam Rabu malam, 6 Maret 2019. Foto : dokumen grup WhatsApp.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/08/fotor-155195470093226-5c81716243322f024c22d474.jpg?t=o&v=770)
Barangkali kita hanya perlu memiliki stok sabar dan syukur yang lebih banyak. Untuk menghadapi alam jikalau sedang tak bersahabat. Menjadikan duka sebagai bagian dari syukur sungguh merupakan hal yang dimuliakan.
Jika dahulu Gunungkidul kerap kekurangan air, Alhamdulillah sekarang sudah kelebihan air. Berlebih bahkan rawan banjir. Namun kiranya kita tetap harus mensyukuri keindahan alam Gunungkidul yang teramat istimewa tuk diingkari keberadaannya. Sembari memikirkan langkah antisipasi agar semakin siap dalam menghadapi alam jikalau sedang tak bersahabat.
Untuk keluarga dan sahabat di Gunungkidul, semoga duka segera menuai suka. La tahzan, innallaha ma'ana. Jangan bersedih, sesungguhnya Dia bersama kita. Karena alam yang digenggam-Nya sejatinya adalah sahabat setia. Yakinlah kita pasti senantiasa dalam lindungan-Nya. Aamiin Yaa Rabbal Alamiin.
Niek~
Jogjakarta, 7 Maret 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI