Mohon tunggu...
Ummu el Hakim
Ummu el Hakim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang emak biasa

Penyuka alam dan rangkaian kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengarungi Kegelapan dengan Kelapangan Hati

11 Desember 2018   23:55 Diperbarui: 12 Desember 2018   00:05 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sobat, bagaimana kabar malam di tempat kalian? Baik-baik saja bukan? Ah tak seperti di tempatku, malam sedang tak baik. Mendung, mati lampu pula. Gelap. Anak-anak pun tak nyaman dibuatnya. Udara juga tak bersahabat. Sedikit gerah, sebab mendung namun hujan tak jua turun.

Meski begitu untunglah anak-anak tetap bisa tidur lelap. Sehingga emak pun berasa mendapat angin segar. Waktunya aku tuk bercengkrama sejenak. Dengan penaku dan balutan malam yang menyelimuti hati.

Kali ini aku ingin berbagi kisah. Tentang gelap yang sedang melanda sekelilingku. Selepas Isya tadi tiba-tiba mati lampu. Anak-anak sontak berteriak. Ah kalian, kenapa berlebihan begitu. Ini hanya mati lampu lo. Cuma sementara waktu. Tak usah risau. Apalagi takut.

Gelap itu tak menggigit. Tak juga membuat sakit. Untuk apa kalian menjerit. Uh santai saja. Mari kita duduk bersama di ujung sana. Lalu aku pun mengajak mereka ke sudut ruang tamu sambil menyalakan lilin. Ketika lilin menyala, terlihat wajah ketiga anakku membisu. Alis yang mengkerut, serta bibir agak manyun. Hei kenapa kalian?

Tak usah menggerutu pada gelap. Percuma saja. Taukah kalian, sejatinya bumi itu gelap jikalau malam tanpa bulan dan bintang. Namun tak ada satupun makhluk yang protes. Lalu bagaimana dengan lampu? Cahaya lampu itu hanya buatan manusia. Ketika teknologi ada maka malam terlihat terang dan cemerlang. Kalian patut bersyukur, tak mengalami masa tanpa lampu. Kini malam tak lagi gelap gulita seperti dulu.

Namun, apakah dengan begitu kalian lantas menggerutu? Hanya disebabkan oleh mati lampu? Ingatlah, dari sekian manusia yang ada, sebagian dari kita terlahir tanpa bisa melihat dunia. Mengertilah Nak! Mereka hidup dalam kegelapan untuk selama-lamanya. Hingga setitik cahaya pun tak dapat mereka nikmati. Hanya membayangkan dari cerita atau mimpi. 

Pada kenyataannya, mereka hanya mengenal satu warna, yaitu hitam. Bagi mereka hitam itu begitu indah, hitam adalah simbol ketenangan. Sebab hanya itu yang bisa mereka lakukan. Sebagai tanda syukur atas kegelapan hingga menemukan ketenangan.

Bersyukurlah kalian, yang sempat mengenal lebih dari satu warna dunia. Lalu menikmati keindahan seutuhnya. Lantas masihkah kalian berpikir bahwa gelap sesaat ini sungguh menyiksa? Ah kalian sungguh manja. Terlanjur dimanjakan keindahan fana, hingga terpuruk dalam kegelapan. Belajarlah pada malam, yang berselimut kelam. 

Sejujurnya malam selalu membuka hati yang ingin mengarungi samudera kegelapan. Lalu menemukan pintu ketenangan. Ketenangan yang ada pada masing-masing jiwa yang rindu suasana damai.

dokpri
dokpri
Anak-anakku pun terdiam. Entah mengantuk atau mengerti. Fifty fifty. Yang pasti menanamkan hal positif tak harus menunggu mereka mengerti. Namun melatih agar mereka mengerti itu adalah pasti, meski hanya dengan kata atau stimulasi. Tak mengapa.

Mengkondisikan mereka dalam kegelapan, adalah satu contoh saja. Bukan bermaksud menggurui namun lebih pada mengajak belajar bersama. Belajar mengarungi kehidupan bersama kegelapan yang ada, hingga menemukan kelapangan hati di sudut jiwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun