Mohon tunggu...
Ulfah Nur
Ulfah Nur Mohon Tunggu... -

Melancholic | Leaning to Introvert | Suspense Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Saksi Pertemuan Waktu

23 Desember 2013   15:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:34 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

No. Peserta : 424

Kutatap nanar putaran mesin itu

menjadikanku saksi atas pertemuan waktu

Tatkala bibir hanya mampu merintih pelan

Memohon Tuhan ‘tuk hentikan

beribu sesal maaf tak terucapkan

Saat bertambahnya usiaku, sering kulihat mata Ibu tersirat pilu, hmmm, hari demi hari mungkin hanya umurku saja yang bertambah, namun kedewasaanku malah semakin redup. Aku mulai melawanmu, menutup telinga dari nasihat-nasihatmu, parahnya lagi aku berbicara seakan-akan Ibu berada sepuluh meter dariku. Walaupun begitu, kau adalah wanita tangguh, selalu menguntai senyuman, dan itu selalu berhasil memecah kebekuan dalam keluarga ini, dengan tawa hangatmu tentu saja. Ibu, tolong jangan berbohong lagi, entah kapan dan dimana,aku yakin kau pasti pernah menangis gara-gara aku.

Sungguh meratap tiada guna

Melihatmu dulu penuh duka

Hati ini tiada pernah berdusta

Anak macam apa kau ini?

Kau terjaga saat semuanya tidur terlelap, tergopoh-gopoh menghampiriku yang tengah merengek, kau langsung tahu apa yang kualami, kau ganti popokku tanpa rasa jijik, anakmu yang tak tahu diri ini masih saja merengek, lalu kau pun mulai bernyanyi, suaramu masih terngiang sampai sekarang, lullaby itu mengantarku ke alam mimpi. Setelah tangis berhenti, kau kecup dahiku lembut sambil berbisik harapan-harapan baik disisiku.

Aku menggeleng putus asa

Anak macam apa kau ini?

Suara ini terus berputar di kepala

Mereka bersahut-sahutan di dalam

Namun aku tak bisa menjawabnya...

Tiap pagi kau sisir rambutku, aku tidak suka memandang pantulan wajah sendiri di cermin, tapi kau selalu berujar bahwa aku cantik, kupikir kau hanya mengucapkannya sesuai makruh seorang Ibu. Setelah kulihat lebih dalam, aku tahu Ibu mengucapkan dengan tulus, tanpa dibuat-buat. Kami berjalan bersama menuju Taman Kanak-Kanak, sepanjang jalan Ibu menambah perbendaharaan kosa kataku melalui ceritanya. Ibu menunggu dan memandangku bermain dan belajar, kadang bertepuk tangan bila Guru menyuruhku maju ke depan atau saat ada kuis. Momen ini...sekali lagi kau membesarkan hatiku,di saat pelajaran mewarnai, teman-teman asyik mencela gambar ayamku yang berwarna merah. Mereka mengejek ayamku gosong, aneh, dan sebagainya. Aku marah, hampir saja kertas gambar kurobek dan kulempar ke muka mereka, tapi Ibu mencegah, Ia memarahiku, aku tidak benar-benar mendengarkannya, karena kekesalanku masih ada. Akhirnya Ibu memelukku, aku baru bisa mencerna apa yang Ibu bicarakan, Ia tidak suka aku kasar dan mudah emosi, tindakan terbaik adalah jangan hiraukan mereka yang mengejek karyamu, beda itu memang sulit diterima, kemudian Ibu tersenyum dan menanggapi bahwa aku kreatif. Satu dari banyak hal yang baru kusadari, Ibu juga seorang seorang cheerleader buktinya kau selalu memompa saat motivasi dan semangatku mulai mengempis.

Berapa macam sakit hati yang kau ciptakan?

Seberapa dalam luka itu membuat Ibumu sedih?

Teganya kau mengulanginya lagi!

Pernah tidak sekali saja kau tengok di kamarnya?

Ia menangis dan mengungkapkan isi hatinya

Bagaimana bisa kau tidak mengetahui?

Sebagai anak kerjaku hanya menuntut, ingin ini, ingin itu, padahal aku tidak membutuhkannya, semua itu hanya ikut-ikutan tren, Ibu yang begitu ingin melihatku ceria, bekerja keras seharian, memikul beban berat sepanjang hari, bahkan pernah kulihat kantung mata tebal yang menggantung di matamu berhari-hari. Aku marah kepadamu karena tak kunjung membelikanku, mengumpat, “Mengapa mereka bisa dapatkan semuanya, segalanya mungkin, termasuk ayah yang mengantar mereka ke sekolah? Mengapa aku tidak?!!!”Aku terengah-engah karena berteriak, kubalas tatapanmu, kupikir Ibu akan marah dan menghukumku, aku salah besar, dalam hening Ia meninggalkanku sendirian. Tidak ada rasa bersalah. Hanya rasa puas karena berhasil membuat dirimu terpukul. Kami tidak berbicara satu sama lain, kau menyibukkan diri bersama mesin jahitmu, mengantar nasi kucing ke warung-warung, dan hal-hal lain yang seolah ingin menghindar dari anakmu. Baru kusadari, itulah cara agar aku merenung, tahu apa yang telah kuperbuat. Aku tidak berusaha meminta maaf. Di suatu sore, kau mengetuk pintu kamarku, Ibu sodorkan bingkisan di hadapanku, dengan malas aku membuka, sebuah baju baru, yang selama ini kuidam-idamkan, tapi dasar anak tak tahu diri kuhempaskan saja hadiah darimu, aku tak menginginkannya lagi, kubilang mode cepat berubah dan seharusnya dari dulu Ibu membelikannya. Raut muka Ibu terkejut dan menunjukkan kekecewaan yang amat dalam. Lagi-lagi aku tak acuh dan segera keluar kamar, main ke rumah teman.

Air mataku mulai terbit

putaran mesin itu semakin berlari

aku tak kuasa lagi

jangan yang satu ini

Memasuki masa SMA, hubungan aku dengan Ibu merenggang, menjadi orang tua tunggal mengharuskannya bekerja keras memeras keringat untuk memenuhi ekspetasi terhadap putrinya, menguliahkanku di perguruan tinggi, salah satunya, kau dengan cermat mencatat semua pemasukan dan pengeluaran, sering kau temukan defisit di dalamnya, tapi Ibu tak habis akal Ia terus bekerja membuat inovasi baru dalam masakannya yang dititipkan. Kau sering pulang malam selesai bekerja di rumah tetangga. Keadaan seperti itu menyebabkanku jarang pulang. Harusnya aku memahami dirimu. Semua tenaga yang kau kerahkan semuanya kembali kepadaku. Pikiranku benar-benar dangkal, aku mengira kau tak peduli lagi apa yang kulakukan. Semua petuah yang dulu kau sampaikan, menjadi asing di otakku. Sering pulang malam, nongkrong di jalanan, bolos sekolah, semua dapat kututupi dari penglihatanmu selama beberapa bulan. Entah siapa yang menjadi pengkhianat, kau memergokiku saat asyik merokok bareng-bareng, amarahmu keluar, kau menyeretku di depan mereka. “Puas sekarang? Ibu PUAS membuatku malu?!!!”. Mata Ibu berkaca-kaca, Ia coba meraih tanganku, aku menepisnya, “Nak, tahu tidak mengapa Ibu selalu melarangmu dalam mengucapkan sesuatu atau bergaul, pertama kata-kata dapat melukai perasaan orang lain, kedua pergaulan akan mempengaruhi bahkan melukaimu kelak bila kau salah memilihnya, Ibu telah mengalaminya nak...”. ”Sudahlah, Bu, lihat anakmu, Ia bukan bayi lagi yang harus patuh apapun! Dan jangan merasa bisa mengekangku dengan mengungkit masa lalumu!”. “Tunggu, Nak, Ibu tak bermaksud....”. Kututup pintu dengan keras, apa aku terlalu keras pada Ibu? gumamku dalam hati, ahhh kepalaku pusing, lebih baik aku tidur saja. Malam itu mimpiku sungguh aneh, aku terbangun karena gempa, aku beranjak dari tempat tidur dan memanggil Ibu, beberapa kali aku terjatuh saat akan meraih pintu. Goncangan begitu dahsyat, samar-samar kudengar langkah Ibu dan suaranya menuju kamarku. Ketika kenop pintu berhasil kuraih, tiba-tiba langit rumah runtuh, tidak cukup sampai di situ, lantai satu meter dari tempatku berpijak retak, perlahan. Ibu mengulurkan tangannya sambil berteriak panik, kugapai telapaknya, tidak! aku tidak bisa meloncat, keretakan semakin panjang dan lebar, pegangan kami terasa makin licin, bumi terbelah menjadi dua tepat di batas kamarku, “Ibu tak akan melepaskanmu, Nak..., pegang erat”. Aku ketakutan, lama-lama keringat di tanganku membuat renggang, kulihat jurang besar di bawah, aku tak kuat lagi, Bu. Aku hanya bisa memejamkan mata dan berteriak.Sebelum semuanya terlanjur gelap.

Keesokan harinya, aku bangun pagi sekali, Ibu sedang memasak air di dapur, Ia menengok ke arahku, “Wah, tumben anakku sudah bangun, mandi gih, hari ini ada jam ke nol kan? kalau dingin, pakai saja air hangat sudah Ibu siapkan, kok”. Aku hanya memantung, Ibu jadi tak enak, “Soal kemarin malam...”. Aku memotong, “Sebenarnya, mmm.. aku di DO, Bu...”. Ibu menggeleng tak percaya, “Tapi, kenapa???! Ibu akan bilang dengan Gurumu sekarang”. Aku menghalanginya, “Tidak usah, Bu, surat itu diberikan seminggu yang lalu, aku merobeknya”. Aku hanya menunduk saja saat berbicara, “Mulai sekarang, Ibu tak perlu menabung untuk biaya kuliah, atau bekerja seharian, lebih baik gunakan untuk yang lain...”.

“Tidak bisa, itu adalah janji Ibu kepadamu, menyekolahkanmu setinggi mungkin, melihatmu dengan kehidupan yang jauh lebih baik dari saat ini, dan...”

“Maaf.”

Aku pergi dari rumah itu. Selamanya. Maksud hati untuk menunjukan kepadamu bahwa aku bisa mewujudkan janjimu. Namun rasa bersalah ini jauh lebih besar. Menghantuiku kemanapun aku pergi. Benar kata orang-orang, jalan kesesatan itu mudah dilalui. Aku, lagi-lagi melanggar kedua nasihatmu, menyakiti perasaan orang lain dengan omonganku yang kasar, buruknya lagi aku terjun ke dalam lembah hitam yang memabukkan, aku tak bisa kembali lagi karena barang adiktif itu. Aku rindu rumah. Pada kehangatan yang kau ciptakan di dalamnya. Aku rindu suaramu. Saat bercerita dan menegurku. Semua tidak bisa diubah. Tapi dua kata yang harus kau tahu Ibu. Aku mencintaimu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun