Mohon tunggu...
Unggul Sagena
Unggul Sagena Mohon Tunggu... Konsultan - blogger | educator | traveler | reviewer |

Asia Pacific Region Internet Governance Forum Fellow 2021. Pengulas Produk Berdasarkan Pengalaman. Pegiat Literasi Digital dan Penyuka Jalan-Jalan.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Lemah Aturan, Beragam Trik Jerat Pengguna Baru Rokok Elektrik di Platform Digital

19 April 2022   14:08 Diperbarui: 20 April 2022   00:13 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Peluncuran hasil riset berjudul "Vape Tricks di Indonesia: Jerat Rokok Elektrik di Media Sosial pada Anak Muda" yang merupakan penelitian pemasaran rokok elektrik di Indonesia pada akhir Maret lalu (30 Maret 2022) cukup menarik perhatian, jika tidak dapat dikatakan mengagetkan. Sebab, selain istilah "vape" yang belakangan ini trend di anak muda, juga istilah "trik" yang bernuansa negatif.

Vape yang digadang-gadang lebih "sehat" dan menjadi pengalih untuk berhenti merokok, justru lebih berbahaya dari rokok konvensional karena adanya bahan kimia berbahaya dan alih-alih menyebabkan berhenti merokok, justru membuat seseorang merokok "ganda". Ya rokok konvensional, ya Vape juga. Riset dari Vital Strategies ini juga memberikan informasi bahwa saat ini, peredaran rokok elektrik melalui promosi di media sosial masih sangat gencar. 

Sehingga, dampak dari promosi ini adalah Indonesia tetap menjadi peringkat pucuk sebagai salah satu negara dengan konsumsi rokok tertinggi di dunia, di mana lebih dari dua pertiga pria dewasa dan 19% anak muda dengan rentang usia 13-15 tahun mengkonsumsi rokok.

Dilarang?

Lalu jika demikian, apakah vape telah dilarang diperjualbelikan sebagai iklan dalam pemasaran online? Jawabannya, Ya dan Tidak. Ada dua regulasi yang dapat membatasi penyebaran iklan rokok elektrik. Pertama dari pemerintah Indonesia. Kedua, dari platform tempat media sosial dimana orang dapat beriklan.  

Dari pemerintah, saat ini belum ada aturan pemerintah yang melarang khusus iklan rokok elektrik di Internet, khususnya di media sosial. Alih-alih melarang konsumsi Vape itu sendiri. Negara-negara lain sudah mulai melarang (ban) impor dan konsumsi produk Vape karena hasil riset sudah menunjukkan tingkat bahaya produk ini.

Tak hanya soal kandungan zat kimianya, namun juga kelistrikannya yang dapat mencederai pengguna. Dobel masalah. India dan China telah melarang, Kamboja dan Thailan sudah melarang impor rokok eletrik.  Masih jauh soal rokok eletrik, bahkan Indonesia satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi konvensi kerangka kerja pengendalian tembakau (FCTC), dan bergabung dengan hanya tinggal sembilan negara di dunia yang masih "keukeuh" tidak mau meratifikasi konvensi yang membatasi dan mengurangi produksi dan peredaran tembakau. Di negara-negara OKI (Organisasi Konferensi Islam), hanya Indonesia dan Somalia yang tidak meneken ratifikasi.

Sedangkan, dalam beberapa aturan standar komunitas maupun pedoman komunitas sudah banyak platform yang melarang. Nyatanya, menurut penelitian dari Vital Strategies tersebut, justru pada platform populer seperti Instagram dan Facebook (keduanya milik META) merupakan tempat favorit untuk pemasaran rokok elektrik di Indonesia. 

Demikian dijelaskan Enrico Aditjondro, Associate Director Vital Strategies untuk wilayah Asia Tenggara, saat peluncuran hasil pantauan Vital Strategies terhadap pemasaran online Tobacco Enforcement and Reporting Movement (TERM) yang telah mengidentifikasi peningkatan tren pemasaran tembakau secara daring di Indonesia, India dan Meksiko.

Apa yang salah?

Aturan komunitas memang bersifat dinamis. Namun juga memiliki celah. Ada dua asumsi mengenai celah ini. Pertama, memang dibuat "terbuka", dengan tujuan sebagai entitas bisnis, tetap saja media sosial itu adalah tempat yang pas untuk berjual-beli. Sehingga, jika ada aturan berjualan, maka aturan tersebut akan bersifat "karet". 

Kedua, sebagai platform user generated content (UGC) dimana konten yang diisi adalah dari pengguna, maka pengguna dapat melakukan berbagai cara dalam melakukan manipulasi, mengakali aturan komunitas atau aturan pengguna pada platform.

Lalu, dalam kasus Facebook dan Instagram, dimana dilaporkan oleh hasil penelitian bahwa pada platform ini-lah ruang penting pemasaran rokok elektrik dimanfaatkan. Dari sisi aturan, sebenarnya Facebook telah menyatakan pada Standar Komunitas Facebook, pada Barang dan Jasa yang Dibatasi, bahwa "Alkohol/tembakau, Konten yang:

  • Berupaya untuk membeli, menjual, atau memperdagangkan alkohol atau tembakau kecuali jika: Diposting oleh Halaman, Grup, atau profil Instagram yang mewakili entitas lokasi fisik yang sah, termasuk bisnis ritel, situs web, merek, maupun individu pribadi yang membagikan konten atas nama entitas lokasi fisik yang sah.
  • Konten mengacu pada alkohol/tembakau yang akan dipertukarkan atau dikonsumsi di lokasi pada suatu acara, restoran, bar, pesta, dan sebagainya.
  • Berupaya untuk menyumbang atau memberi hadiah alkohol atau tembakau kecuali jika diposting oleh Halaman, Grup, atau profil Instagram yang mewakili entitas lokasi fisik yang sah, termasuk bisnis ritel, situs web, merek, maupun individu pribadi yang membagikan konten atas nama entitas lokasi fisik yang sah.
  • Meminta alkohol atau tembakau

Sedangkan Instagram lebih banyak mengacu kepada etika dan aturan Facebook. Dalam aturan standar komunitas facebook tersebut, tidak secara tegas menyatakan pelarangan. Pengecualian yang seharusnya untuk sedikit pihak, dalam standar tersebut, justru page, group, atau profil instagram yang seharusnya dibatasi malah bebas apabila "resmi". 

Hanya pengguna individual yang dibatasi. Padahal, yang namanya promosi produk, pastinya dilakukan oleh brand resmi, atau toko yang memiliki intensi bisnis dalam bersosial media. Sedangkan masyarakat biasa hanya pengguna yang seharusnya menjadi korban dalam hal keterpaparan produk yang dilarang, anggap saja misalnya rokok elektrik.

Memang, ada aturan soal visibilitas. Standar komunitas Facebook juga menyatakan "Untuk konten berikut, kami membatasi visibilitas untuk orang dewasa yang berusia 18 tahun ke atas: Alkohol/tembakau. Konten yang diposting oleh atau mempromosikan toko fisik yang sah, entitas, termasuk situs web bisnis ritel atau merek, yang berupaya untuk membeli, menjual, memperdagangkan, menyumbangkan, atau memberi hadiah produk alkohol atau tembakau."

Jika dilihat sekilas, keterpaparan usia muda, dibawah 18 tahun akan terbatas, namun disisi lain menyatakan bahwa memang "halal" bagi toko fisik mempromosikan alkohol atau tembakau, walaupun dengan "syarat ketentuan". Selain itu, celah juga didapat pada aturan Meta mengenai "kebijakan lain" pada Facebook dan atau "ketentuan kebijakan" lainnya pada Instagram.

Kedua, mengenai upaya dari penjual itu sendiri. Vital Strategies dalam laporannya yang bekerjasama dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan bahwa faktanya, terdapat banyak iklan dan promosi rokok elektrik di facebook dan instagram yang "penuh tipuan dan trik" untuk menghindari regulasi. 

Trik ini menurut pengamatan penulis, biasanya dilakukan dengan menyamarkan produk jualan rokok elektrik dengan infografis informasi kesehatan, serta beberapa kata kunci yang tidak merujuk langsung produk. Misalnya "paket ngebul" dan seterusnya. 

Selain itu, grup dan halaman yang "resmi" menjual vape atau sebagai tempat "berdiskusi" komunitas vaping dapat leluasa membagi feed dari konten grup dan halaman tersebut. Pada beberapa teknik marketing, banyak juga tips trik bagaimana dapat "beriklan" di facebook tanpa iklan misalnya trik ini,  ini dan ini.

Disini kita masih berbicara mengenai iklan dari entitas bisnis. Belum lagi jika kita mencoba melihat promosi rokok elektrik dari influencers misalnya. Mereka bekerjasama dengan brand tertentu, dimana seharusnya pun, terdapat standar dalam kebijakan konten bermerk. Misalnya disebutkan bahwa konten yang dilarang yaitu: "Barang, layanan, atau merek tertentu tidak boleh dipromosikan dengan konten bermerek. Kami melarang promosi berikut ini:

  • Pelanggaran Standar Komunitas Facebook atau Panduan Komunitas Instagram
  • Produk atau layanan ilegal
  • Produk tembakau, vape, rokok elektronik, atau semua produk lain yang menyimulasikan merokok
  • Obat-obatan dan produk terkait obat, termasuk obat ilegal, atau narkotika

Dengan demikian, kerjasama influencer dengan konten bermerk juga dilarang apabila terkait empat hal tersebut diatas. Menyimulasikan merokok pun harusnya dilarang.  Namun faktanya, kadang dalam sisi ini, kalau tidak ada aduan, maka akan terjadi pembiaran. Celakanya, tidak banyak pihak yang membaca standar kebijakan ini dan pada akhirnya tidak mengadu. Selain itu, karena paparan konten dianggap sudah "cukup umur" maka kadang masyarakat tidak mengadukannya (komplain melalui aduan).

Apa yang terjadi sebenarnya?

Dalam hal ini, emahnya regulasi, membuat Indonesia menjadi pasar empuk bagi industri rokok elektrik, yang pangsanya naik secara pasti sejak tahun 2015. Absennya regulasi baik dari pemerintah Indonesia yang dapat secara tegas mengenyahkan periklanan rokok elektrik, membuat para "content creator" mempromosikan rokok elektrik dengan mudah. Aturan standar komunitas yang lemah dan banyak celah, dimanfaatkan dengan sedemikian rupa.

Beragam upaya seperti "informasi" yang menggambarkan produk mereka sebagai alat penunjang gaya hidup dengan pesan-pesan yang berpotensi menipu, dimana menurut laporan riset, termasuk; mencitrakan produk sebagai alat canggih yang harus dimiliki (60%), mencitrakan produk sebagai alat hiburan (13% unggahan); mencitrakan produk sebagai produk glamor/mewah (8%), dan mengunggah video yang berisi instruksi pemakaian produk (8%).

Upaya apa yang bisa dilakukan?

Tentunya pertama, dari sisi advokasi kebijakan, mencoba mendorong pemerintah meregulasi dengan jelas. Di beberapa negara, pemerintah melalui kementerian kesehatan masing-masing langsung "gerak cepat" melakukan riset mandiri dan mengumumkan hasilnya apakah rokok elektrik berbahaya atau tidak. Kemudian melakukan langkah pelarangan impor, penggunaan, atau hanya pada taraf imbauan dan edukasi publik untuk kesehatan. Walau demikian, apapun yang diambil, akan menjadi acuan masyarakat sebagai bentuk "keberpihakan" terhadap "hak masyarakat untuk hidup sehat". 

Di Korea misalnya, walaupun "hanya" himbauan dari Menteri Kesehatan, nyatanya peredaran Vape berkurang drastis, impor dihentikan sehingga pengguna vape yang rusak, sulit mengganti "batere" baru. Cairan sulit didapat, dan peredaran di minimarket hilang. Bahkan militer sudah melakukan pelarangan resmi untuk rokok elektrik.

Memang jelas, kalau hasil riset berjudul "Vape Tricks di Indonesia: Jerat Rokok Elektrik di Media Sosial pada Anak Muda" ini perlu ditindaklanjuti agar dapat mendorong pemerintah untuk membuat regulasi yang komprehensif untuk melindungi rakyat Indonesia, terutama generasi muda. Tidak hanya peraturan terkait kesehatan, namun juga terkait penyebarluasan informasi atau penyiaran, pemasaran khususnya di internet, termasuk juga perlindungan konsumen, agar masyarakat dapat dilindungi secara maksimal dari hulu ke hilir.  

Dalam hal kesehatan misalnya, jika terdapat vonis zat berbahaya pada rokok elektrik, maka dapat terkategori dilarang pada plaform karena masuk pada kategori zat berbahaya yang tidak dapat dipromosikan. Ini akan memperkuat status turunan tembakau yang sebenarnya sudah dilarang. Kedua, soal informasi. Jika dibenarkan bahwa, penyebarluasan informasi rokok elektrik dan segala "kelebihannya" merupakan disinformasi atau hoaks, maka dapat dihapus seketika dari platform. 

Pengecek fakta yang bekerjasama dengan platform pun dapat melakukan "tugasnya" secara optimal, membantu mesin platform dan juga laporan pengguna lainnya. Ide-ide tersebut hanya dapat terjadi jika ada aturan dari pemerintah dalam membatasi penggunaan rokok elektrik di sosial media. JIka ada aturan larangan, akan lebih mudah diimplementasikan, ketimbang masyarakat sipil saja yang berupaya.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun