Pasalnya, Dandy dituding mencemarkan nama ketua umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, hanya karena tulisannya yang penuh data membandingkan dengan Aung San Suu Kyi, pimpinan National League for Democracy (NLD) Myanmar yang sekarang sedang disorot soal pengungsi Rohingya yang terusir dan bahkan disinyalir adanya praktik genosida.
Dandhy sendiri bergeming. Membaca Jakarta Post, Dandhy dengan tegas menyatakan, "'If it is a hoax, I am really open if [the PDI-P] can show me the wrong parts and explain their perspective,' Dandhy said, adding that the party could easily counter his argument with an other statement instead of filing a report to the police."
Ya, sepakat. Mengapa di alam demokrasi ini, argumen tak dibalas dengan argumen, jika ada yang salah, berikan fakta lain. Itu alam demokrasi yang saya pahami. Bukan ke Polisi dan mengadu menggunakan UU ITE. Ah. Sudahlah. Saya, #IStandWithDandhy dalam hal ini. Walau saya tak kenal beliau. Hanya tau dari berita saja.
UU ITE, dengan demikian berpotensi membungkam kritik, yang mestinya menjadi bagian dari berdemokrasi yang kita dulu perjuangkan dengan darah dan keringat. Oleh karenanya, melalui tulisan remahan yang singkat, Saya dengan haqul yakin menulis tentang ini, menggaungkan persoalan ini. Bukan sekedar membela Dandhy, tapi memperbaiki iklim kebebasan ekspresi di negeri ini. Â
Meminjam kalimat Koordinator South East Asia Freedom of Expression Network (), Damar Juniarto yang dikutip The Jakarta Post, edisi 11 Sept 2017 bahwa Dandhy adalah aktivis ke 35 yang dijerat UU ITE sejak diberlakukan pada tahun 2008, dan aktivis ke 28 pada era Presiden Joko Widodo saat ini. Artinya, lebih banyak aktivis yang dijerat UU ITE sejak Joko Widodo naik ke tampuk pimpinan nomer satu negeri ini. Â Secara umum, dengan beragam kasus, UU ITE sudah menjerat 255 orang.
Okelah, kalau SAFENET terlalu "keras", kami Relawan TIK berusaha melakukan edukasi dan literasi digital untuk "beretika di internet" namun faktanya, banyak kritik konstruktif, pelaporan indikasi KKN dan seterusnya yang menjadi ajang bagi "pejabat" dan "penguasa" untuk memidanakan pengkritik. Bukan hanya soal "saring sebelum sharing" dan "think before posting" yang berputar di soal hoax yang banyak menjerat anak muda netizen yang "belum mengerti".Â
Jadi dalam hal pembungkaman ini, Relawan TIK sepakat dengan kebebasan berekspresi yang diperjuangkan SAFENET dengan penekanan kritik "yang santun". Kasus Dandhy, saya melihat fakta-fakta, tak ada ungkapan bahasa kasar, slank dan sejenisnya. Ihwal Papua dan Myanmar, itu dalam bingkai "riset" pribadi beliau sebagai aktivis AJI yang bahkan menjadi the best journalist tahun 2008.
"There are more cases reported under Jokowi's administration, which show a trend that opinions [of activists] are no longer considered as constructive input for the government, and the [ITE] law is instead used as a repression tool," Sebagaimana The Jakarta Post beritakan dari wawancara dengan Damar, Sabtu lalu.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Walaupun saya bagian dari Relawan TIK Indonesia yang kata orang-orang berafiliasi dengan Kementerian Kominfo cum pemerintah, kami jelas, menentang UU ITE ini jika masih ada pasal-pasal karet. Walaupun sudah direvisi, tidak mengubah banyak, karena UU ITE ini pada dasarnya, pada niatnya, adalah mengatur soal "informasi dan transaksi elektronik" yang dalam pandangan umum adalah soal "berbisnis online". Ya kan? Â Jadi, apa perlu begitu "lebay" ?
Mari hidup di alam demokrasi, bukan menumpang, tapi menjadi aktor-aktornya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H