Mohon tunggu...
Unggul Sagena
Unggul Sagena Mohon Tunggu... Konsultan - blogger | educator | traveler | reviewer |

Asia Pacific Region Internet Governance Forum Fellow 2021. Pengulas Produk Berdasarkan Pengalaman. Pegiat Literasi Digital dan Penyuka Jalan-Jalan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Persekusi, Efek Ahok dan Darurat "Sweeping" Baru di Dunia Maya

28 Mei 2017   06:01 Diperbarui: 29 Mei 2017   14:31 2009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, ketika sudah jelas ada unsur penistaan agama dengan kata-kata yang kasar (bukan yang dapat diperdebatkan seperti kasus Ahok) bukan berarti pula si pemilik kalimat menjadi layak “buru”. Khilafnya seseorang dalam menulis status, dalam arti tidak paham konsekuensinya, sebenarnya memang didasari oleh preferensi sosial politik dirinya di satu sisi ekstrim. Dia menulis karena uneg-uneg, dan atau karena stimulasi berita yang dibaca dan dilihat kemudian diungkapkan opininya melalui akun pribadi.

Di satu sisi ekstrim lainnya, benar-benar tidak tahu apa yang dia tulis dan ikut-ikutan. Biasanya ini saya temukan di status dan post gambar anak abege yang melecehkan pihak tertentu. Menganggap sosial media yang terpatri tulisan di dalamnya seperti mengobrol angin lalu sesama anak muda nongkrong se-geng di pinggir jalan sambil memarkir motor matic.

Langkah yang tepat memang perlu dilakukan, bukan juga kita diamkan. Dalam hal ini, andil aparat penegak hukum sangat diperlukan. Pun jika beredar aparat “lamban bertindak”, maka yang dipublikasikan adalah aparat tersebut, bagaimana kelompok yang mengadukan dihambat dan seterusnya dengan bukti dan foto. Bukan foto penggerudukan dan foto “pelaku” yang dipermalukan di ranah publik melalui share di media sosial ketika digelandang.

Disatu sisi, seperti yang saya gundahkan diatas, penggunaan media sosial dari sisi pengguna memang harus “cakap” dalam arti, bijak ketika online dan berpikir berkali-kali sebelum posting sesuatu sebagai “uneg-uneg”. Namun, uneg-uneg ini adalah salah satu karakter kebebasan ekspresi yang dilindungi. Dilindungi, dengan filosofi luhur, “saya mungkin tidak sependapat dengan Anda, tapi saya membela hak Anda untuk mengemukakan pendapat Anda”. Untuk itu, perlu kedewasaan sosial dalam menyikapi setiap informasi (atau hoax, hasut, fitnah, abu-abu) yang muncul di ranah internet khususnya media sosial.

Kasus ini banyak terjadi, namun bukan spesial setelah Ahok dipenjara. Namun menjadi efek karena adanya kondisi sedang merasa “diatas angin” oleh ormas-ormas yang bahkan tidak jelas memilih siapa pada setiap perhelatan demokrasi. Bahkan ada ormas yang menolak berdemokrasi namun memilih mahluk lain yang katanya demokrasi versi mereka.

Dalam waktu kurang dari 24 Jam, beberapa media memuat soal maklumat dari SAFENET ini dan dengan demikian, tinggal menunggu respons pemerintah dalam kasus “persekusi” ini. Kira-kira seperti apa tindakan yang dapat dilakukan. Misalnya CNN Indonesia, Liputan 6, Metro TV, Tribunnews, Satuharapan, dan Rappler ini. 

Bagi saya, hanya bisa menganjurkan dari sisi etika, karena media sosial dan internet secara umum adalah ranah publik. Disana belantara dimana apapun yang kita tulis akan berujung kepada konsekuensi yang kita bahkan tak bisa bayangkan. Sopan dan santun, sebagai karakter bangsa harus tak berbeda dengan di dunia sosmed.  

Pun demikian, jika ada yang terlanjur mengeluarkan hal yang tak pantas dibaca di media sosial dan menyinggung perasaan, ada koridor yang perlu dilalui ada proses yang harus kita jalankan sebagai masyarakat yang hidup di negara hukum. Hal yang nista jika meneror dan seseorang atas pendapat pribadi seseorang. Lebih baik bertabayyun, melakukan komunikasi dengan si empunya akun dan tanpa intimidasi, memberikan penjelasan dan memintai penjelasan apakah maksud dari empunya akun.

Pihak lain, walaupun begitu, tak dapat memaksakan kehendak mengubah pendapat si pemilik status. Jika tidak puas, langkah prosedural ke ranah hukum, silakan dilakukan dengan berpedoman kepada peraturan dan perundangan yang berlaku. Sweepingala ormas di dunia maya, hanya akan memperburuk citra kelompok-kelompok yang bersangkutan, dan embel-embel sesuatu atau seseorang yang “dibelanya”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun