Tebakan saya salah.
Biasanya, kalau seorang pedagang, pengamen atau kategori “wong cilik” lainnya saya tanya perihal hari esok, jawabannya klasik. Yang penting bisa makan. Masih pusing bagaimana makan buat besok. Ya, itulah ciri negara miskin, dimana sebagian besar masyarakat masih bingung makan apa besok. Kalau masih seperti itu, kata banyak ahli, artinya kita masih miskin. Masih soal perut dan besok pagi. Bukan lusa nanti, bukan pula kelak.
Beda, ternyata, dengan pak Edi.
Ketika saya bertanya apa Arti Hari ini dan Hari Esok, beliau memandang kedepan. Seakan menerawang.
Anak saya sudah mau masuk SMP katanya. "Minimal, saya bisa sekolahkan hingga SMK. Setelah itu, baru saya berpikir hari esok untuk saya mas. Hari esok, untuk dua anak ini dulu."
Saya terperangah.
Saya ulik lebih dalam, mengapa tidak soal memenuhi kebutuhan perut, makan untuk keluarga.
Dia terkekeh.
"Pertama, bagi yang beriman, hari esok mah harus lebih baik. Dan kalau mempertanyakan besok makan apa, berarti mempertanyakan rejeki Allah."
Makin makjleb.
Saya ingat, Sang Seniman-Dalang eksentrik, Sujiwo Tedjo dalam akun twitternya pernah menulis, bahwa “Mempertanyakan besok bakal makan apa sama saja mempertanyakan kuasa Tuhan.” Namun saya yakin, Pak Edi ngga twitter-an. Ngga kenal dengan Sujiwo tedjo.