Pemerintah mesti menyadari ini, dan memberikan alternatif solusi yang tepat, bukan pada titik ekstrim pelarangan yang malah menimbulkan celah kontra-produktif dan praktik kong-kalikong yang bisa saja terjadi antara para pejabat teras dan bisnis multinasional. Jangan sampai terjebak oleh keputusan sendiri yang implementasinya ber-standard ganda. Ketika keran ekspor dibuka untuk beberapa perusahaan pertambangan lain, dan bauksit masih tertutup, maka pertanyaan demi pertanyaan akan terus hadir, dan menggiring kita ke pikiran buruk.
Bauksit merupakan sumber daya alam kita, milik kita. Pembangunan smelter, seperti apapun hasilnya, juga harus untuk kepentingan kita. Larangan ini itu tak banyak manfaat bila tak muncul dengan solusi “lokal” dan minim kontroversi. Buah kebijakan akan dirasakan oleh semua komponen bangsa. Penghentian ekspor merugikan kita, menguntungkan “mereka”. Semua kalau untuk bangsa ini, maka harapannya pun jelas, peningkatan perekonomian kita sebagai bangsa yang maju.
Wallahu’alam, mari kita dukung produksi-industri bauksit dan smelter alumina berjalan beriringan, dengan demikian kita bisa menerima manfaat yang lebih luas, untuk kesejahteraan rakyat, bukan syahwat kekuasaan semata dari penguasa yang dengan mudahnya melakukan kebijakan yang kontroversial dan tak banyak manfaatnya secara umum untuk masyarakat kita. Dan saya yakin, pemerintah kita juga peka, terutama saat ini dimana keran aspirasi terbuka lebar, sehingga kita perlu positiv thinking, terutama ketika menulis ini, penulis pun dalam ibadah shaum ramadhan yang tentu insya allah lebih jernih pikiran dalam mengetik kritik dan saran.
Itulah harapan dan urun-solusi dari penulis, yang dalam kapasitas terbatas dan minim ilmu ini turut mencoba berbagi pandangan dalam kisruh larangan ekspor bauksit dan pembuatan smelter alumina di negeri tercinta ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H