Mohon tunggu...
Unggul Sagena
Unggul Sagena Mohon Tunggu... Konsultan - blogger | educator | traveler | reviewer |

Asia Pacific Region Internet Governance Forum Fellow 2021. Pengulas Produk Berdasarkan Pengalaman. Pegiat Literasi Digital dan Penyuka Jalan-Jalan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Integrasi Beasiswa Dikti dengan LPDP: Buntut Carut-marut?

12 September 2014   02:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:56 1845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption] Setelah banyak kompasianer menulis tentang keluhan penerima beasiswa Dikti yang terkatung-katung, ternyata Mendikbud sebenarnya sudah menghubungi LPDP bahwa dosen pun bisa apply beasiswa pendidikan Indonesia sebagai produk LPDP. Seperti diketahui, LPDP tahun kedua pembukaan beasiswa mengisyaratkan kepada publik bahwa sudah ada gentlement agreement kalau dosen yang punya NIDN tidak akan lolos, karena punya jatah Dikti via beasiswa BPPDN dan BPPLN. Aneh, konon restriksi yang kabarnya 'permintaan' Dikbud itu malah berbalik 180 derajat. Bahkan, Moh Nuh sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pun menulis atas nama dewan penyantun. Agar lebih kuat mungkin suratnya, untuk serta  merta disetujui oleh LPDP. Ada dua hal dari surat ini. Pertama, berarti dosen menjadi punya peluang ganda. Jika tidak diterima beasiswa BPI LPDP masih bisa berharap beasiswa Dikti. Mengapa tidak sebaliknya, masyarakat umum, terutama pekerja profesional (yang selama ini banyak menjadi awardee LPDP) juga mendapat kans yang sama, untuk mengejar cita-cita masa kecil, menjadi dosen? Tapi oke-lah, kita semua berbahagia kalau akses untuk memeroleh beasiswa LPDP dibuka lebih luas. Rejeki memang sudah diatur toh? Yang perlu dipertegas adalah syaratnya, karena bisa jadi, akan menjadi celah untuk S3 beasiswa dikti melamar S3 lagi menembak beasiswa LPDP. Jikalaupun layak, karena kualifikasi yang mumpuni si pelamar, perlu dipertimbangkan keadilan yang proporsional untuk yang belum berkesempatan. Lalu, perlu juga penambahan dana seiring penambahan kuota, apabila terjadi. Jika tidak, persaingan akan semakin ketat. Kedua, ada indikasi bahwa ketidakberesan manajemen beasiswa Dikti yang telah berlangsung bertahun-tahun menjadi titik kulminasi Mendikbud untuk "tutup warung" dan "lempar handuk". LPDP walaupun masih perlu peningkatan di sana-sini, namun dari sisi pencairan lebih responsif, karena status Badan Layanan Umum (BLU)-nya yang mengelola rekening sendiri. LPDP sendiri merupakan BLU yang dikomandoi Kemenkeu bersama dewan penyantun lain, yaitu Kemenag dan Kemdikbud. Tujuannya mendorong MP3EI dengan menelurkan S2 dan S3 yang sesuai dengan arah dan kebutuhan SDM MP3EI. Di agenda simposium PPI Duni di Tokyo pekan depan, masalah beasiswa Dikti ini juga akan dibahas. Mudah-mudahan menghasilkan petisi atau kesepakatan untuk disampaikan mengenai sikap PPI di seluruh dunia. PPI sendiri adalah Perhimpunan Pelajar Indonesia di dunia yang berasal dari perhimpunan mahasiswa Indonesia di berbagai negara di seluruh dunia. Inikah buntut kisruh beasiswa Dikti? Pengalihan, pengakuan ketidaksanggupan mengelola? Kalau bukan, apa menurut Anda akhir cerita drama Dikti yang bertahun-tahun dan dengan alasan klise yang sama (misalnya dana ditahan Kemenkeu) terus-menerus, bahkan bantahan bahwa masalah itu terjadi? Mungkinkah nanti akan terintegrasi layanan beasiswa "Nasional" melalui satu keran, yaitu LPDP. Jika begitu, tentu menambah keruwetan pengelolaan dan otomatis, LPDP memerlukan tambahan tenaga, waktu dan sumberdaya lain yang pantas untuk dapat mempertahankan layanannya.

Apapun jadinya, mari kita dukung sebanyak mungkin anakmuda Indonesia yang berkualifikasi S2 dan S3 agar menjadi aset berharga bangsa di masa depan. Dengan "bonus demografi" yang ada dan terus berkembang, tentu jangan sampai permasalahan kapasitas SDM menjadi hambatan. Walaupun peringkat daya saing Indonesia menurut World Economic Forum, di tahun 2014 ini naik menjadi no 34, namun dari pilar-pilar yang ada, ada penurunan cukup mengkhawatirkan dari indikator SDM.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun