Mohon tunggu...
Unggul Sagena
Unggul Sagena Mohon Tunggu... Konsultan - blogger | educator | traveler | reviewer |

Asia Pacific Region Internet Governance Forum Fellow 2021. Pengulas Produk Berdasarkan Pengalaman. Pegiat Literasi Digital dan Penyuka Jalan-Jalan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Merenung Tambang, Memahami Harga Kehidupan dan Nilai Penghidupan

11 Februari 2015   08:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:27 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prolog Ketika terpilih mengikuti Newmont Bootcamp, banyak hal yang terpikirkan, mulai dari catatan perjalanan hingga makna di balik peristiwa yang akan saya hadapi. Juga berbagai hal skeptis yang menurut saya sebagai awam membuat kontra terhadap usaha pertambangan asing di negeri ini. Tenang saja, saya jamin tulisan ini tidak dipenuhi istilah-istilah teknis yang mungkin tidak nyambung dengan masyarakat umum, hanya ring a bell untuk mahasiswa terkait sumber daya alam, metalurgi, dan sejenisnya.  Bagus sebenarnya. Tapi tergantung audiensnya. Kayaknya pembaca blog saya kurang paham, dan saya juga malas menjelaskan (karena takut salah hehe). Dari sekian catatan Day 1Day 1, Day 1, Day 1, Day 2, Day 3, Day 4, Day 5, Day 6, Day 7 dan Day 8 (updateable yach, more to write!) di lokasi tambang tembaga Batu Hijau dan Perkampungan masyarakat sekitar tambang, mungkin tulisan ini semacam summary yang saya dapatkan. Juga perenungan. Tentang apa yang saya pikir sebelum melihat sendiri tambang dan apa yang saya simpulkan setelah melihat tambang dan bergaul dengan karyawan PT Newmont Nusa Tenggara (selanjutnya disebut NNT) maupun masyararakat sekitar tambang. Ya, saya menginap di rumah warga di Maluk dan Sekongkang. Tulisan ini juga merupakan bagian yang saya dan teman-teman Group 2 masukkan ke dalam presentasi kami di hari terakhir di hadapan beberapa stakeholders tambang, dan juga berisi berbagai renungan dan rekomendasi untuk ke depan bagi kesejahteraan masyarakat Sumbawa pada khususnya maupun Provinsi NTB pada umumnya. Buat Aku Menjadi Berharga! Ya, kata kunci diatas merupakan satu kalimat yang saya dan teman-teman rumuskan sebagai representasi kehidupan tambang dan bagaimana tambang dapat menjadi sumber kesejahteraan masyarakat lokal, bukan hanya kerukan dan perusakan. Memang, tambang tembaga NNT Batu Hijau yang diresmikan pada tahun 2000 lalu oleh Gubernur NTB, Harun Al Rasyid seakan menjadi momok, namun sebuah koin mata-uang yang berpasangan. Di satu sisi, aktivitas ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi, namun disisi lain menjadi sumber perusakan alam serta terbangnya “duit” ke negeri orang. Seperti itu umumnya kita duga.

NTB adalah provinsi yang miskin di Indonesia. Bersandingan dengan dua provinsi ekstrim lainnya. Bali yang maju dengan pariwisatanya dan Nusa Tenggara Timur yang Nasibnya Tidak Tentu, Negara-pun Tidak Tahu (NTT). Setali tiga uang dengan NTT, Provinsi NTB juga kategori terbelakang. Keberadaan NNT di lokasi Batu Hijau sebenarnya diharapkan menambah amunisi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dampak tambang ini secara ekonomis harus dapat meningkatkan kesejahteraan lokal. Sepakat? Eksplorasi di NTB sebenarnya sudah lama, sejak 1984 namun skala produksi yang kemudian membesar mulai ditunjukkan pada medio 2000-an dimana lokasi ini kemudian seperti sekarang ini. Membaikkah perekonomian? Kita Lihat. Peran Siapa memangnya itu? Kita bahas ya. Kontur wilayah geografis di NTB, khususnya Sumbawa yang panas dan terik, dengan curah hujan yang rendah serta jauh dari pusat pemerintahan yang sentralistik membuat NTB memiliki keseksian tersendiri terutama bagi bule-bule yang merindukan kehangatan matahari. Juga ternyata menyimpan kekayaan alam yang luar biasa, baik yang terpendam di dalam tanah maupun yang bisa langsung disaksikan dengan mata telanjang.

NNT membuat bebatuan terjal menjadi serbuk berharga. Tembaga. Eksploitasi Sumberdaya alam Indonesia ini membuat skeptis masyarakat umum. Hal ini karena Newmont yang “amerika”. Itu saja. Nasionalisme sejumput ini kemudian berkembang menjadi sentimen yang menunjukkan kemarahan terhadap kerusakan alam. Rusak. Seakan-akan tidak bisa dipakai lagi. Jika produk elektronik rusak, dia akan terbuang kalau tidak dapat diperbaiki. Padahal, konsep keberlanjutan (Sustainability) ada. Dan ternyata, semua itu bisa berjalan paralel. Saya sudah pernah melihat reklamasi (reklamasi adalah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya) berjalan di Tambang emas kecil Cibaliung di Banten. Namun aktor daerah mempersempit sudut pandang menjadi pola scam terhadap perusahaan tambang. By default, bukan berarti perusahaan tambang “baik”. Tapi ada standard yang harus ditepati. Jika kesejahteraan masyarakat Banten buruk, sebagaimana kita ketahui, masalahnya kompleks. Melibatkan praktik KKN yang merajalela dan itu sangat erat dengan para aktor pemerintah dan –mohon maaf—partai penguasa. Hal yang sama –mungkin– terjadi di Batu Hijau. Di area tambang yang disebut batu hijau karena banyaknya batuan hijau akibat pengendapan unsur-unsur alam pada batu ini; permasalahan begitu kompleks. CSR (Corporate Social Responsibility alias tanggung jawab sosial perusahaan) berjalan walau sempat terhenti ketika aktivitas pertambangan berhenti. Ada pengelolaan bank sampah, koperasi masyarakat, perkebunan buah naga (dragon fruit), beasiswa pendidikan dan banyak hal dilakukan. Mungkin belum maksimal, silakan kita berikan masukan. Reklamasi juga berjalan. Celakanya, ketika kita memfoto pit tambang yang bolong karena dikeruk, kita tidak sadar disekitar itu terjadi pula proses reklamasi. Banyak pepohonan sudah tertanam kembali dan fungsi tanah sudah kembali. Inilah media. Keterbatasan menyebabkan Penilaian yang cenderung menghakimi. Saya rasa isu nya adalah mengawal, agar tetap berjalan dan itu tak ditunjukkan dengan sikap cibiran tapi seharusnya sikap yang benar itu kita malah ingin terlibat langsung dalam prosesnya. Untuk tahu.

Pit tambang, Kamera biasa. Tidak kelihatan reklamasi kanan kiri

Pit tambang versi wide dari heli. Kelihatan penghijauan yg sudah dilakukan

Sejauh yang saya ketahui, NNT terbuka untuk itu. Departemen Environment juga menjalin hubungan intens dengan lab-lab dan pusat kajian universitas di Mataram dan sekitar. Selain itu, pada satu kesempatan, saya sempat bertemu dengan rombongan “See What You Pay” yang merupakan masyarakat yang peduli “transparansi anggaran” serta datang ke lokasi-lokasi CSR NNT maupun ke kegiatan Pemerintah daerah untuk melihat apa sebenarnya yang dilakukan.dari pajak mereka. Jangan NATO intinya (No Action Talk Only) apalagi di Sosial Media. Sejauh mata memandang, unsur “barat” di NNT menurut saya hanya satu. Disiplin. Mulai dari seat-belt di semua tempat duduk, berjalan di pedestrian hingga klakson kode untuk kendaraan jika bergerak dan berhenti. Bukan seliweran bule di area tambang. Selama beberapa hari pun, saya melihat hanya satu bule di mess hall, tempat makan. Itupun berpakaian PBU. PBU adalah rekanan Newmont yang mengurusi perihal logistik, utamanya makanan para staff tambang. Perekonomian pekerja tambang juga baik. Bahkan sangat baik sehingga menjadi masalah sosial baru. Tujuh ribu (7000) karyawan yang mencari nafkah di tambang, 99,8 persen lokal. Spesialis memang kadang membutuhkan orang ekspat. Namun itu karena memang tidak ada SDM lokal yang mumpuni di area tertentu. Bahkan, untuk memenuhi tenaga lokal, dilatih kemampuan masyarakat agar dapat bekerja di NNT. Secara bertahap, peningkatan perekonomian terjadi. Problemnya, ada kesenjangan ekonomi antara karyawan NNT dengan non-karyawan NNT. Ini berbuah ketergantungan dan harapan yang tinggi untuk semua orang yang sukses di Sumbawa itu adalah karyawan Newmont. Padahal, banyak kegiatan dan pekerjaan termasuk wirausaha yang lebih baik. Seringkali peluang itu malah ditangkap para pendatang. Masyrakat lokal merasa sukses kalau sudah jadi karyawan Newmont. Pola berpikir ini jelas salah. Jika kita ingin Newmont hengkang dari Indonesia, mengapa masyarakat malah bercita-cita kerja disana? Ada yang salah tentu. Bagi Newmont, ini Serba salah bukan? Jika Batu bisa ngomong, menyalin istilah penyanyi Doel Sumbang --yang "bulan bisa ngomong", dia akan bicara, buat aku menjadi berharga. Menjadi batuan berharga yang bisa diekspor, ditukar uang untuk kesejahteraan. Jika memang lebih banyak untuk “Amerika” maka pemerintah perlu dan seharusnya sudah, membuat pola bagi hasil yang saling menguntungkan. Perusahaan bisnis tetaplah bisnis. Dan siapa sangka, saham Newmont juga di miliki oleh lokal yaitu grup Bakrie. Wallahu’lam. Inilah bisnis-politik. Suara-suara “Sumbang” bukan milik Doel Sumbang tapi milik orang-orang yang tersisihkan. Saya ingat bahwa menurut Manajer CSR, Pak Djarot yang asli Sumbawa, sudah biasa terjadi demo dan penutupan jalan oleh beberapa pihak yang ternyata “barisan sakit hati” yang menuntut/berhasrat untuk bekerja di NNT setelah lulus kuliah. Sedangkan tetangga mereka bekerja di NNT hanya berbekal ijazah SD, SMP, SMA namun dibekali keterampilan karena SDM lokal memang lack of skill pada saat itu. Saat ini, tak mudah untuk bekerja di NNT karena memang terkait dengan kebutuhan. Selain itu, kontrak NNT juga masih belum jelas jadi bukan kebijakan yang baik untuk menambah karyawan. Yang ada saja dapat sewaktu-waktu dirumahkan. Hmm.. menarik info ini. Dan masyarakat yang memang sudah bisa ngomong, juga berulang kali berbicara, buat aku menjadi berharga. Buat kami sejahtera. Sebuah permintaan yang kadang terlihat absurd. Sebab tidak pula tepat sasaran. Kesejahteraan akan ada jika ada kerjasama yang baik dari setiap pemangku kepentingan. Quadruple Helix kalau diistilahkan. Kerjasama antara kalangan Akademik, Bisnis, Pemerintah dan Masyarakat Sipil. NNT, dengan segala kemampuannya, tetaplah perusahaan swasta. Kewajibannya, sudah standard dunia, bahkan standard-ny World Bank karena dana ada dari sana. Bahkan, standard pengelolaan tambang NNT adalah yang terbaik diantara tambang Newmont lain di dunia. Lalu seperti apa. Kewajiban pembangunan smelter untuk mengolah konsentrat sebelum diekspor menurut saya hal yang baik. Saya tidak punya akses ke hitung-hitungan akuntansi NNT tapi dengan membuat smelter (saya tidak peduli dari mana dan bagaimana) berarti NNT sudah mengikuti aturan pemerintah Indonesia.  Saya rasa aturan itu bukan hanya sekedarnya tapi sudah melalui kajian yang mendalam. Ikutin aja-lah flow nya. Sementara itu, kegiatan harus tetap berjalan, karena ini terkait perekonomian. Tak hanya bagi 7000 karyawan, tapi trickle-down effect dan spread effect nya bagi perekonomian masyarakat sekitar tambang maupun provinsi. Dengan beberapa hari menginap di rumah masyarakat, saya juga mendapat gambaran bagaimana Newmont berkontribusi untuk kesejahteraan. Loh, ini perusahaan swasta, bukan Pemda yang seharusnya lebih punya kewajiban. Saya  mencoba membayangkan, bagi masyarakat Sumbawa Barat, berhenti beroperasinya NNT pada waktu lalu, sama halnya dengan berhentinya PLN menerangi listrik di rumah. Anda bisa bayangkan bukan? Dana pengembangan masyarakat (community development) seperti pengelolaan Bank Sampah, Coco-Net (Jaring untuk reklamasi yang dibuat dari sabut kelapa sehingga ramah lingkungan), kebun buah naga (dragon fruit) serta beasiswa merupakan hal yang patut di apresiasi. Saya juga sependapat, Newmont ada karena ada yang tidak ada. Kita sendiri yang salah, tidak punya roadmap BUMN yang bisa mengelola. Jika kita pernah melihat lingkar tambang di Indonesia dikuasai perusahaan asing mulai dari AS hingga Malaysia, harusnya kita berkaca, bisakah kita membuat perusahaan multinasional seperti ini?

Bank Sampah Lakmus yang difasilitasi NNT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun