Kurikulum dalam sistem pendidikan kita masih menjadikan sekolah sebagai objek pendidikan.
Sekolah belum sepenuhnya otonom dalam menjalankan pendidikan. Hal ini dapat kita lihat
dalam struktur kurikulum itu sendiri yang belum sepenuhnya menjadikan sekolah sebagai subjek
pendidikan.
Sebagai contoh, dalam struktur kurikulum, jabaran kompetensi dasar masih ditentukan oleh
lembaga pendidikan pusat. Sekolah dituntut untuk mengikuti ketentuan sebagaimana tercantum
dalam kurikulum.
Benar bahwa dalam arah kebijakan kurikulum saat ini, sekolah diminta untuk menjabarkan
kompetensi dasar dalam bentuk materi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan
lingkungan institusi pendidikan sekolah. Persoalannya, konsep ini belum terlaksana dengan baik
sampai ke proses pembelajaran di sekolah.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan hal ini terjadi. Pertama, tidak semua guru
berkompeten dalam mejabarkan kompetensi dasar dalam bentuk indikator sampai pada
pengembangan materi pembelajaran yang relevan dengan kondisi masyarakat lokal.
Kedua, justru ketika lembaga pendidikan atau guru diminta untuk mengembangkan materi yang
relevan, beban tugas guru dalam membuat administrasi terlalu menumpuk.
Ketiga, imbas dari terpusatnya penyusunan kompetensi dasar adalah masih berlakunya ujian
nasional yang (materinya) ditentukan oleh dinas pendidikan (pusat). Hal ini tidaklah heran karena
memang materi penjabaran kompetensi dasar itu berawal dari lembaga pusat. Untuk menjaga mutu
pendidikan, maka harus ada ujian nasional yang terpusat.
Keempat, sekolah-sekolah masih mengejar prestasi mencapai ilmu pengetahuan sebanyakbanyaknya.
Sekolah-sekolah yang mengejar prestasi tidak mungkin mengabaikan tuntutan dinas
pendidikan dan kementerian pendidikan.
Lantas, proses pembelajaran (membentuk pengetahuan) berubah total menjadi pengajaran
(memberi tahu pengetahuan). Padahal kita memahami bahwa sekolah adalah lembaga pendidikan
dengan kegiatan utamanya adalah pembelajaran yang sejatinya merupakan kegiatan menjadikan
peserta didik tahu bagaimana belajar (learning how to learn).
Otonomi Pendidikan
Pendidikan formal (sekolah) merupakan upaya pemajuan bangsa. Karena itu, pendidikan harus
berdaya memajukan insan-insan pendidikan. Kemajuan bangsa Indonesia sangat ditentukan oleh
kemajuan setiap masyarakat daerah. Karena itu pula, masyarakat yang cerdas harus tersebar merata
di setiap daerah, bukan terkonsentrasi di ibukota.
Untuk memajukan masyarakat daerah, seyogianya pendidikan terlaksana secara otonom. Peran
pusat lebih kepada ulur tangan, dan bukannya campur tangan.
Mengapa demikian? Masyarakat daerah lebih memahami persoalan daerahnya. Hanya masyarakat
di daerahlah yang bisa memahami secara betul kebutuhan konkret dalam rangka memajukan
masyarakat daerahnya. Setiap daerah diberi kewenangan untuk mengembangkan potensi-potensi
daerah di bawah kontrol ketat pemerintah pusat.
Konsep otonomi pendidikan sebenarnya sudah terkandung dalam konsep pengembangan
manajemen berbasis sekolah. Manajemen berbasis sekolah merupakan upaya menjadikan sekolah
sebagai institusi pendidikan yang otonom dalam meningkatkan mutu pendidikan dan mencapai
tujuan pendidikan nasional. Manajemen berbasis sekolah juga menjadikan sekolah sebagai subjek
pendidikan yang aktif mengembangkan potensi-potensi lokal yang menjadi kebutuhan masyarakat
setempat.
Suparlan Soehartono, dalam buku Pemberdayaan Pendidikan Sekolah (2011) mengartikan
manajemen berbasis sekolah sebagai "konsep pemberdayaan sistem pendidikian desentralistik
menuju otonomi pendidikan sekolah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan." Manajemen
berbasis sekolah mendorong para kepala sekolah, guru, dan tenaga pendidik, serta masyarakat lokal
untuk mengelola pendidikan dan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal dalam
kerangka nasional dan global.
Konsekuensi logis dari penerapan manajemen berbasis sekolah adalah kebutuhan akan
profesionalitas tenaga pendidik, team work yang kuat, desentralisasi pendidikan (dari daerah ke
nasional), dan perubahan sistem ujian sekolah dan nasional, serta peningkatan kualitas
pembelajaran melalui partisipasi masyarakat.
Beban dan tugas pendidik di satuan pendidikan dapat dikurangi dengan meningkatkan
profesionalitas tenaga pendidik dan penguatan team work dengan cara mengaktifkan forum kiat
guru pembelajar. Hal ini dimaksudkan agar kelompok-kelompok belajar para guru dapat menyusun
administrasi pendidikan secara bersama agar sama dan sistematis di zona tertentu.
Dengan demikian, sekolah tidak sibuk menjabarkan kompetensi dasar dalam bentuk materi-materi
pembelajaran. Konsep ini dikembangkan dengan pengawalan ketat oleh tim yang berintegritas dan
berjenjang mulai dari pengawas di tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional.
Kemudian, sekolah wajib menyiapkan materi ujian berstandar nasional. Peran dinas pendidikan dan
masyarakat adalah partner para guru sebagai penguji dalam memberikan ujian kepada peserta
didik. Materi ujian pun tidak hanya berupa kertas tetapi terutama berorientasi pada unjuk kerja, pelaporan hasil kerja, praktik, pengamatan atau eksperimen. Jika ada koordinasi yang baik antara
pengawas pendidikan dengan dinas pendidikan, maka mutu pendidikan secara nasional tetap
terjaga.
Melalui manajemen berbasis sekolah, sekolah diharapkan berjalan tanpa ada tekanan dan menyatu
dengan masyarakat lokal. Ketika sekolah berjalan tanpa ada tekanan, sekolah dapat memainkan
peran penting sebagai ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani.
Totalitas otonomi pendidikan sekolah mengedepankan pengembangan potensi lokal menuju
kemajuan bangsa. Spirit Ki Hadjar Dewantara adalah spirit keadilan dalam dunia pendidikan.
Dinamika Penerapan
Dalam penerapan manajemen berbasis sekolah, perlu memperhatikan tiga hal berikut.
Pertama, konsep manajemen berbasis sekolah tidak menjadikan sekolah seumpama "kuda liar"
tanpa kontrol. Sekolah adalah subsistem dari lembaga pemerintahan urusan pendidikan. Karena
sekolah berada dalam sistem pendidikan nasional, maka diperlukan aturan yang jelas dan batas
ruang gerak sekolah dalam pengembangan mutu pendidikan.
Sekolah tetap berjalan dalam rel sistem pendidikan nasional tanpa mengabaikan upaya dan
perannya sebagai lembaga yang otonom dalam peningkatan mutu pendidikan.
Kedua, sekolah harus terbuka menerima masukan dari berbagai pihak terkait terutama masyarakat
sebagai bahan pengembangan kompetensi dasar dan materi pembelajaran. Sekolah harus mampu
membuka diri dan berdialog dengan masyarakat untuk menemukan konsep riil dan kebutuhan
urgen yang ada dalam masyarakat.
Sekolah juga perlu hati-hati dalam menerima input dari masyarakat yang heterogen. Setiap
masukan yang ada harus disaring berdasarkan tujuan pendidikan nasional, keselarasan dengan
Pancasila, dan mengedepankan prinsip keadilan bagi semua.
Ketiga, manajemen berbasis sekolah membutuhkan team work. Sekolah tidak boleh berdiri sendiri.
Hubungan sekolah dengan berbagai pihak terkait merupakan hubungan yang setara, tanpa ada
komando yang melumpuhkan ruang gerak sekolah. Hubungan sekolah dan dinas pendidikan
beserta pengawas pendidikan merupakan kawan seperjuangan yang berjalan bersama menuju
pencapaian mutu pendidikan.
Dinas pendidikan dan pengawas pendidikan bukan semata-mata sebagai pengecek keberlangsungan
kinerja sekolah melainkan juga lebih sebagai fasilitator dan konsultan. Pada taraf selanjutnya, dinas
pendidikan harus memandang sekolah sebagai institusi yang harus dihormati dan subjek pemajuan
pendidikan. Sekolah mesti bertakhta sekaligus menjadi mahkota dari dinas pendidikan serta
kementerian pendidikan dan kebudayaan pada tataran nasional.
*Opini ini dimuat di Harian Umum Flores POS pada tanggal 22 September 2019