Sehari setelah kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan hukum tertulis (konstiutusi) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.Â
Indonesia sah sebagai negara yang berdaulat. UUD 1945 adalah konstitusi yang berlandaskan Pancasila. Pancasila sendiri tertera dalam Pembukaan UUD 1945.Â
Mari sejenak kita flashback.Â
Enam Agustus 2019, KOMPAS.com menurunkan berita "BPIP Temui Wiranto Bahas Pengarusutamaan Pancasila". Dalam Pemberitaan itu, Hariyono (pelaksana tugas (plt) sekaligus petinggi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) mengatakan bahwa  salah satu poin pembahasan bersama Menkopolhukam adalah Pancasila harus dipegang teguh oleh kaum muda/kaum milenial. Pancasila perlu disebar secara masif terutama kepada generasi muda.
Ada juga berita "Soal Penanaman Pancasila, Wiranto Minta Kementerian Terapkan 'Total Football' " Diberitakan bahwa Menkopolhukam menginginkan agar penanaman ideologi Pancasila harus bersifat total dengan menirukan gaya permainan bola ala Belanda: total football. Wiranto menginginkan semua lini bersama-sama melakukan sosialisasi penanaman ideologi Pancasila.
Salah satu pemberitaan di KOMPAS.com pada tanggal 9 Agustus 2019 yang perlu dikutip adalah keinginan salah satu partai pemenang pemilu legislatif agar Pancasila diajarkan sejak usia dini pada pendidikan paud atau taman kanak-kanak (PDI-P Usul pendidikan Pancasila Diajarkan Sejak TK).Â
Pancasila dirasakan perlu diajarkan sejak usia dini agar anak-anak tidak mudah terpapar paham-paham yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Kita mesti bertanya "ada apa dengan Pancasila saat ini? Apakah Pancasila sudah tidak sakti lagi? Lalu, Pancasila seperti apa yang mesti dibelajarkan?
Melihat situasi bangsa saat ini (intoleransi, percobaan makar, penyebaran berita hoaks, korupsi, terorisme, kekarasan terhadap anak, dan tindakan lainnya yang bertentangan dengan Pancasila) menunjukan nilai-nilai Pancasila mulai memudar.Â
Untuk membelajarkan kembali nilai-nilai Pancasila agar menjadi lebih kuat maka kita perlu memahami kembali kedudukan Pancasila sebagai dasar dan pandangan hidup bangsa.
Pertama, sebagai dasar negara Pancasila adalah panglima hukum yang menjadi patokan, arah, sekaligus muara dari segala peraturan hukum yang berlaku di tanah air.Â
Segala peraturan jika berpatok, sejalan, dan tertuju pada Pancasila berarti peraturan itu harus menjunjung tinggi nilai-nilai yang bermoral tinggi atau nilai yang tidak bertentangan dengan ajaran religiositas yang diakui di Indonesia.Â
Dalam hal ini, aturan yang berlaku di Indonesia bukan didasarkan pada aturan agama tertentu. Peraturan yang ada jangan sampai tergiring oleh hal-hal yang didasarkan pada aturan agama.Â
Sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa tanpa ada persyaratan menjalankan satu agama. Ini sangat urgen untuk diterima dan dipahami oleh tiap individu/masyarakat Indonesia. Sebab, urusan religiositas sangat sensitif, sedikit gesekan antar umat beragama hanya akan menjadi benih konflik yang berkepanjangan.
Negara kita bukan negara teokratis. Oleh kerana itu, kita juga perlu memfilter diri dengan apa yang terjadi di negara-negara yang berdasarkan keagamaan. Negara kita tidak berdasar pada salah satu agama.Â
Negara kita merupakan negara Pancasilais yang mengharuskan setiap warga negara beragama dan mejalankan ajaran agama sesuai agama yang dianutnya.Â
Negara tidak memaksa warga negara untuk menganut salah satu agama. Urusan agama adalah urusan kebatinan tiap warga negara dan dilindungi undang-undang.
Kedua, peraturan yang ada jangan sampai menentang dan melanggar hak-hak asasi manusia. Peraturan kita adalah peraturan yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Peraturan yang tidak semena-mena.Â
Di hadapan hukum kita adalah manusia yang sama yang taat dan tunduk kepada aturan yang berlaku. Cara-cara kekerasan dalam penyelesaian persoalan bukan merupakan tindakan Pancasilais.
Ketiga, bangsa kita memiliki semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang merupakan manifestasi daripada keesaan. Bangsa ini didirikan atas dasar persatuan, tekad bersama yang kuat. Berbeda-beda tetap satu jua tidak sama dengan "E Pluribus Unum".Â
Kita tidak dipaksakan untuk menjadi satu, tetapi persatuan adalah mimpi/tekad/keinginan/cita-cita bangsa Indonesia. Paraturan mesti  berujung pada persatuan Indonesia. Peraturan yang menghapus keinginan dan tindakan tribalisasi.Â
Peraturan kita juga mesti mampu merangkul yang kalah dan menang. Bukan peraturan yang memecah belah dan menimbulkan konflik pertentangan yang berkepanjangan.Â
Bangsa yang kaya akan berbagai suku, agama, bahasa daerah, kesenian daerah, kekayaan alam flora dan fauna, perlu disyukuri sebagai anugerah terbesar yang kita miliki.Â
Segala perbedaan yang ada menjadi khazanah bangsa Indonesia. Mengabaikan dan meninggalkan Pancasila berarti menjadikan negara seperti "bukit jadi paya".
Peraturan juga mesti lahir atas dasar musyawarah mufakat. Arah dan tujuan dari sistem demokrasi kita adalah demokrasi yang berkeTuhanan, berperikemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan dan berkeadilan. Demokrasi kita adalah demokrasi yang dibangun atas dasar Pancasila.  Pemimpin yang terlahir merupakan pemimpin yang penuh kebijaksanaan menuju  adiwangsa.
Kelima peraturan harus berujung pada keadilan sosial. Peraturan tidak boleh menguntungkan sebelah pihak. Tidak memandang bulu. Tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Muatan dan putusan harus benar-benar adil. Untuk mencapai keadilan memang sangat sulit.Â
Adil yang sederhana adalah ketika tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas sebuah aturan. Peraturan dibuat untuk mencapai kebaikan bersama. Penyelesaian pelanggaran aturan adalah penyelesaian yang berdasarkan pada aturan itu sendiri, bukan atas dasar opisi sesorang atau kekuatan kelompok tertentu.
Demikian halnya sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila menjadi arah jalan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia yang beragam suku, agama, ras, bahasa daerah, akan menjadi satu dan menjadi bangsa yang besar jika setiap individu bangsa ini memakai "kacamata" Pancasila.Â
Pancasila adalah pribadi bangsa. Pribadi yang berkeTuhanan; pribadi yang mencitai dan tahu menghormati sesama yang berbeda; pribadi yang tidak menginginkan dan menimbulkan perpecahan di antara sesama anak bangsa, suku, budaya, dan agama; pribadi yang demokratis Pancasilais; dan pribadi yang berkeadilan.Â
Dengan "kacamata" Pancasila kita meninggalkan segala bentuk keegoisan primordial dan mencapai tujuan negara Indonesia (merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur). Tanpa "kacamata" Pancasila kita akan menjadi "buta kehilangan".
Sebagai bangsa Indonesia kita mesti berbanga. Pancasila adalah dasar Negara yang hanya menjadi milik bangsa Indonesia. Tiada duanya di dunia. Pancasila lahir dari jati diri dan kebudayan Indonesia.Â
Pancasila adalah pangkal sekaligus ujung dari budaya bangsa Indonesia yang multikultural. Pancasila sebagai dasar dan pandangan hidup bangsa dipandang perlu dibelajarkan di setiap lini kehidupan di persada Nusantara. Pancasila perlu diperkuat agar tidak kehilangan kesaktiannya.
Kebebasan tidaklah bebas. Kita hidup dalam satu peraturan bersama. Di negara hukum, kehidupan kita diatur dalam peraturan yang sah dan wajib diikuti. Dalam sebuah lembaga kita memiliki perarturan yang wajib diikuti.Â
Peraturan kita adalah peraturan yang selaras dengan Pancasila. Arah dan tujuan hidup kita adalah Pancasila itu sendiri. Kita mesti berjalan di atas relnya.
Menjadikan Pancasila sebagai bahan yang wajib dipelajari menuntut aktualisasi diri yang Pancasilais. Pembelajaran Pancasila saat ini adalah tindakan nyata. Pembelajaran Pancasila bukan lagi sekedar berbentuk teks pembelajaran atau narasi pidato pimpinan lembaga.Â
Pancasila harus dibelajarakan/disosialisasi dalam bentuk tindakan nyata yang Pancasilais. Pancasila tanpa aktualisasi sikap Pancasilais adalah nihil. Pancasila harus diamalkan bukan diketahui. Semoga kita sukses membelajarkan/mensosialisasikan dan mengamalkan Pancasila. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H