Kita jangan percaya pada anggapan umum, yang menyatakan bahwa hanya orang merdeka yang perlu dididik, tapi kita semestinya percaya pada para cerdik-pandai yang bilang bahwa hanya yang terdidiklah yang merdeka.
[Epictetus, cendekiawan Romawi dan mantan budak dalam buku Discourses]
Frederick Bailey ialah bocah kulit hitam yatim-piatu. Pada dasawarsa 1820-an ia termasuk seorang di antara jutaan budak-anak yang tak punya masa depan. Saban hari ia menyaksikan tantenya bekerja sejak subuh hingga malam sampai pundaknya mandi darah secara harafiah. Bailey sendiri sejak subuh sampai malam mencangkul, menyiangi, memotong, dan menebang bersama budak-budak lain di ladang.
Para budak itu dipaksa bekerja, dari perkebunan sampai ke pekarangan rumah ibadah, dari pengadilan sampai gedung pemerintah, lantaran status keturunan mereka yang rendah. Tak terbilang kutipan Kitab Suci keluar yang pada intinya menyatakan bahwa Tuhan-lah yang menghendaki mereka menderita.
Ada aturan sangat jelas masa itu bahwa budak-budak harus tetap buta-huruf. Di kawasan Amerika bagian selatan, warga kulit putih yang mengajari budak membaca akan dihukum. Potensi berpikir mereka harus dimusnahkan. Itulah sebabnya para pemilik budak harus mengendalikan para budak dengan mencegah mereka membaca dan berpikir kritis. Dua hal tersebut sangat berbahaya dan tergolong subversif dalam masyarakat yang tidak adil masa itu.
Pada 1828, ketika memasuki usia ke-10, Bailey menjadi budak rumahtangga Kapten Hugh Auld dan istrinya Sophia di kota Baltimore. Bailey dihadapkan pada suasana yang kontras antara rural dan urban. Sehari-hari ia menghadapi surat, buku, dan orang-orang melek-huruf. Ia menemukan “misteri” membaca setelah melihat kaitan huruf dan gerak bibir. Diam-diam ia belajar sendiri membaca melalui buku Webster Spelling Book karya Tommy Auld. Ia ingat-ingat bentuk huruf dan berjuang memahami makna suaranya.
Suatu hari ia mohon pada Sophia Auld, majikan perempuannya, untuk membantunya belajar membaca. Karena kagum pada kecerdasan dan bakti sang bocah, dan barangkali karena tidak tahu adanya larangan, Sophia membantu Bailey belajar membaca.
Ketika sudah bisa membaca kata yang tersusun atas tiga dan empat huruf, Kapten Hugh Auld memergoki usaha melek-huruf ini. Ia langsung memerintahkan istrinya berhenti. Sementara Bailey ada di depan mereka, tanpa tedeng aling-aling Hugh Auld membentak istrinya:
Seorang negro harus tetap bodoh dan hanya patuh pada majikannya—melakukan apa yang diperintahkan. Belajar akan menumbuhkan orang negro terbaik di dunia. Sekarang kalau kamu mengajari orang negro membaca, tidak ada lagi yang bisa menahannya. Sekarang dan seterusnya ia tak cocok lagi menjadi budak.
Perkataan Hugh mendusinkan Bailey pada sumber kekuatan orang kulit putih dalam memperbudak kulit hitam. Ia kini tahu jalan selamat dari perbudakan.Sejak kejadian itu Sophie tak lagi mengajari Bailey membaca. Tapi Bailey tetap belajar membaca termasuk dengan cara menguntit murid kulit-putih di jalan. Setelah mahir membaca ia pun mengajari budak lain.
Berkat kemampuan membaca, Bailey bisa kabur ke New England, kawasan yang melarang perbudakan dan tempat kulit hitam merdeka. Bailey kemudian tukar nama menjadi Frederick Douglas (diambil dari tokoh cerita The Lady of the Lake karya Walter Scott), menghindari pemburu-hadiah yang mengejar budak-budak yang kabur, dan akhirnya menjadi salah seorang orator, penulis, dan politikus terbesar dalam sejarah Amerika. Satu hal penting dalam hidup yang ia sadari adalah: melek-huruf adalah jalan untuk merdeka.
[Disadur dari buku Carl Sagan, The Demon Haunted-World, Bab XXI “The Path To Freedom”, halaman 355-357]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H