Mohon tunggu...
Faryanti
Faryanti Mohon Tunggu... Guru - Guru

Pendidik di sebuah sekolah menengah atas yang memiliki ketertarikan dengan permasalahan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berpikir Kritis, Kompetensi Wajib Bagi Peserta DIdik di Era Global Abad 21

30 Juni 2023   19:00 Diperbarui: 30 Juni 2023   19:03 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di era digital abad 21 saat ini telah merubah pola kehidupan masyarakat dunia tak terkecuali Indonesia. Perubahan tersebut terjadi pada semua aspek kehidupan masyarakat, baik dalam menjalankan aktivitas sehari-hari seperti bersosialisasi, bekerja dan belajar maupun dalam bermain dan mencari hiburan. Kemajuan teknologi juga merubah sendi-sendi kehidupan termasuk di bidang pendidikan.

Penggunaan teknologi di dunia pendidikan pastinya memberikan banyak manfaat yang tidak hanya dirasakan oleh pendidik dan peserta didik saja. Pendidik, peserta didik, dan semua pihak terkait harus mampu beradaptasi dengan kemajuan tersebut guna mewujudkan pendidikan yang berkualitas. 

Pendidik harus mampu mempersiapkan peserta didik untuk bekerja dan memanfaatkan teknologi sebagai penyelesaian masalah yang dihadapi dalam proses pembelajaran maupun dalam lingkungan masyarakat. Untuk itu, seorang pendidik diharapkan memahami karakteristik pembelajaran abad 21 dengan baik. 

Demikian pula halnya dengan peserta didik yang harus mempersiapkan dirinya dengan baik untuk menguasai kecakapan abad 21. Dalam pembelajaran, peserta didik diarahkan untuk mencapai keterampilan atau kecakapan abad 21 tersebut agar mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi dan komunikasi serta persaingan global yang semakin pesat di masa mendatang.

Tiga kecakapan abad 21 yang harus dimiliki oleh peserta didik yaitu kualitas karakter, kemampuan literasi, dan kompetensi abad 21. Kompetensi abad 21 tersebut merupakan kemampuan dalam menghadapi tantangan hidup yang kompleks, yang mencakup 4 kompetensi yang biasa disingkat 4K atau 4C. Kemampuan tersebut meliputi: (1) Kecakapan berpikir kritis dan pemecahan masalah (critical thinking and problem solving skill); (2) Kecakapan berkreativitas atau berkreasi dan inovasi (creative thinking); (3) Kecakapan berkomunikasi (communication); dan (4) Kecakapan kolaborasi (collaboration). 

Critical thinking di Indonesia sering dipadankan berpikir kritis. Berpikir kritis dapat diartikan sebagai suatu proses berpikir reflektif yang berfokus pada memutuskan apa yang diyakini atau dilakukan. 

Hal ini senada dengan pendapat yang menyatakan bahwa critical thingking skill adalah kemampuan untuk berpikir secara logis, reflektif, sistematis dan produktif yang diaplikasikan dalam membuat pertimbangan dan mengambil keputusan yang baik (Linda & Lestari, 2019). 

Sementara Berpikir kritis menurut Dewis adalah sebuah proses aktif dimana seseorang dapat memikirkan berbagai hal untuk kepentingan dirinya sendiri dan tidak mudah dalam menerima berbagai hal dari orang lain (Roudlo, 2020). Selain itu berpikir kritis merupakan suatu proses kognitif  yang membantu pengaturan diri dan juga terkait untuk faktor motivasi seperti self-efficacy, hasil harapan, nilai tugas, dan orientasi tujuan.

Kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan dasar untuk memecahkan masalah dan pengambilan keputusan yang tepat. Secara rinci kemampuan tersebut meliputi: (1) Kemampuan untuk mengidentifikasi, merumuskan dan menyelesaikan permasalahan; Kemampuan untuk mengenali kekeliruan dan menggunakan penalaran induktif; (2) Kemampuan untuk menarik kesimpulan yang logis dari keterangan yang diperoleh berdasarkan sumber tertulis, lisan, diagram, atau grafik dan mempertanggungjawabkan kesimpulan yang telah diambil; (3) Kemampuan untuk menginterpretasi, mengembangkan, dan menggunakan ide; dan (4) Kemampuan untuk membedakan antara fakta dengan pendapat (Benyamin et al., 2021). Kemampuan berpikir kritis biasanya diawali dengan kemampuan seseorang untuk menganalisis berbagai fenomena yang ada disekitarnya dan mencari solusi dari permasalahan yang ada serta tidak mudah terpengaruh terhadap pendapat orang lain tanpa mengetahui kebenaran yang sebenarnya.

Aspek kemampuan berpikir kritis meliputi interpretasi, analisis, evaluasi, inferensi dan eksplanasi. Berdasarkan lima aspek tersebut,  Cahyono mengemukakan bahwa indikator dari kemampuan berpikir kritis adalah sebagai berikut: (1) Mengidentifikasikan fakta-fakta yang diberikan dengan jelas dan logis; (2) Merumuskan pokok-pokok permasalahan dengan cermat; (3) Menerapkan metode yang pernah dipelajari dengan akurat; (4) Mengungkapkan data atau teorema atau definisi dalam menyelesaikan suatu masalah dengan tepat; (5) Memutuskan dan melaksanakan keputusan dengan baik dan benar; (6) Mengevaluasi argumen yang relevan dalam penyelesaian suatu masalah dengan teliti, dan  (7) Membedakan antara kesimpulan yang didasarkan pada logika yang valid dan tidak valid (Roudlo, 2020).

Terkait dengan hal tersebut, salah satu permasalahan pendidikan yang terjadi di Indonesia adalah rendahnya kemampuan berpikir kritis peserta didik. Hasil PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2018 menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis anak Indonesia tergolong sangat rendah. Indonesia menduduki peringkat ke-74 dari 79 negara peserta. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dirilis pada tanggal 4 Desember 2019 menyebutkan bahwa hasil studi PISA 2018 yang dirilis oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) selaku penyelenggara PISA menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, meraih skor rata-rata yakni 371, dengan rata-rata skor OECD yakni 487. Kemudian untuk skor rata-rata matematika mencapai 379 dengan skor rata-rata OECD 487. Selanjutnya untuk sains, skor rata-rata siswa Indonesia mencapai 389 dengan skor rata-rata OECD yakni 489 (OECD, 2019). Soal Pisa dapat dijadikan acuan dalam menentukan kemampuan berpikir kritis peserta didik karena soal-soal yang diujikan membutuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi atau higher order thinking skills (hots) yang meliputi kemampuan menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi suatu permasalahan serta mengkreasi. Melalui kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik mampu berpikir kreatif, berpikir kritis, berargumen, memecahkan masalah dan mengambil keputusan.

Kemampuan berpikir kritis yang rendah pada peserta didik di Indonesia menjadi masalah yang penting dan harus segera diatasi. Hal ini karena kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat penting dimiliki peserta didik dalam menghadapi pesatnya perubahan  di era global, baik saat ini maupun kelak saat mereka dewasa. Kemampuan berpikir kritis dapat membantu peserta didik untuk beradaptasi pada perkembangan jaman di era digital yang sangat pesat ini. Dengan banyaknya inovasi dan informasi baru, peserta didik dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir kritis yang tinggi. Kemampuan berpikir kritis juga akan berdampak pada perkembangan kognitif dan kemampuan adaptasi peserta didik dalam menyelesaikan suatu masalah. Potter (2010) menyatakan beberapa alasan pentingnya kemampuan berpikir kritis dimiliki oleh peserta didik adalah:

1. Adanya ledakan informasi.

Saat ini terjadi ledakan informasi yang datangnya dari puluhan ribu web mesin pencari di intrnet. Informasi dari berbagai sumber tersebut bisa jadi banyak yang ketinggalan zaman, tidak lengkap, atau tidak kredibel. Untuk dapat menggunakan informasi ini dengan baik, perlu dilakukan evaluasi terhadap data dan sumber informasi tersebut. Kemampuan untuk mengevalusi dan kemudian memutuskan untuk menggunakan informasi yang benar memerlukan keterampilan berpikir kritis. Oleh karena itu, maka keterampilan berpikir kritis sangat perlu dikembangkan pada setiap peserta didik.

2.  Adanya tantangan global.

Saat ini terjadi krisis global yang serius, terjadi kemiskinan dan kelaparan di mana-mana. Untuk mengatasi kondisi yang krisis ini diperlukan penelitian dan pengembangan keterampilan-keterampilan berpikir kritis.

3.  Adanya perbedaan pengetahan.

Sejauh ini mayoritas orang di bawah 25 tahun sudah bisa meng- online-kan berita mereka. Beberapa informasi yang tidak dapat diandalkan dan bahkan mungkin sengaja menyesatkan, termuat di internet. Supaya peserta didik tidak tersesat dalam mengambil informasi yang tersedia begitu banyak, maka perlu dilakukan antisipasi. Peserta didik perlu dilatih untuk mengevaluasi keandalan sumber web sehingga tidak akan menjadi korban informasi yang salah atau bias (Linda & Lestari, 2019).  

Selain itu, alasan lain pentingnya kemampuan berpikir kritis bagi peserta didik adalah terkait dengan tuntunan dunia kerja saat ini yang sangat menghargai individu yang memiliki kemampuan berpikir kritis. Banyak pekerjaan membutuhkan kemempuan berpikir kritis untuk memecahkan masalah-masalah kompleks, beradaptasi dengan perubahan yang sangat cepat dan mengambil keputusan yang cepat. Dalam konteks ini peserta didik yang mampu berpikir kritis memiliki keunggulan kompetitif dalam menghadapi tantangan yang dihadapi di tempat kerja.

Mengingat pentingnya kemampuan berpikir kritis bagi peserta didik,dalam era digital abad 21 maka perlu adanya upaya pendidik untuk dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Salah satunya adalah dengan model  pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik (student centered learning). Menurut Arif Mu'amar Wahid dalam artikel LP3M UAP pada tanggal 5 Januari 2022 disebutkan bahwa student centered learning yang dapat dignakan pendidik untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik antara lain  Small Group Discussion ,   Simulation and Demontration,   Case Study,   Discovery learning (DL),   Self Directed Learning (SDL),   Cooperative Learning (CL),   Collaborative Learning (CbL),   Contextual Instruction (CI),   Project Based Learning (PjBL),   Problem Based Learning dan  Inquiry. Selain itu ada juga model Flipped Classroom, Blanded Learning, Games Based Learning dan SOLE (Self Organized Learning Environments) yang menggabungkan pembelajaran langsung (syncronus) dengan pembelajaran tidak langsung (asyncronus).

Adapun aktivitas pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan perkikir kritis peserta didik antara lain: (1) Mengajukan pertanyaan dan menyampaikan argument, (2) Menjawab soal tes yang berbentuk uraian analisis; (3) Mengungkapkan permasalahan pokok dari fenomena yang dipelajari atau sedang terjadi; (4)  Mengungkapkan fakta dari masalah atau fenomena yang terjadi; (5) Membuat kesimpulan dari materi yang dipelajari atau fenomena yang terjadi; serta (6) Membuat sebuah keputusan dari permasalahan yang dihadapi. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan diskusi kelompok, debat, analisis kasus, penelitian mandiri maupun kelompok, analisis teks media, simulasi dan permainan peran, proyek berbasis masalah, menulis argument serta pemberian kritik dan umpan balik.

 Referensi:

Benyamin, B., Qohar, A., & Sulandra, I. M. (2021). Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA Kelas X Dalam Memecahkan Masalah SPLTV. Jurnal Cendekia: Jurnal Pendidikan Matematika, 5(2), 909--922. https://doi.org/10.31004/cendekia.v5i2.574

Linda, Z., & Lestari, I. (2019). Berpikir Kritis Dalam Konteks Pembelajaran. In Erzatama Karya Abadi (Issue August).

OECD. (2019). Pendidikan di Indonesia belajar dari hasil PISA 2018. Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang KEMENDIKBUD, 021, 1--206. http://repositori.kemdikbud.go.id/id/eprint/16742

Roudlo, M. (2020). Kemampuan Berpikir Kritis dan Kemdirian Belajar Melalui Model Pembelajaran Flipped Classroom dengan Pendekatan STEM. Seminar Nasional Pascasarjana UNNES, 20, 292--297.

https://lpm.amikompurwokerto.ac.id/macam-macam-metode-pembelajaran-scl/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun