Mohon tunggu...
unangatmaja
unangatmaja Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar di Universitas Siliwangi

Saya suka membaca apa saja terutama yang berkaitan dengan teknologi, dan ekonomi lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menata Masa Depan dari Laut, Filosofi dan Inovasi Ekonomi Biru

17 Desember 2024   05:30 Diperbarui: 17 Desember 2024   14:12 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

           Bayangkanlah suatu masa di mana lautan, dengan segala keindahannya, tak lagi dipandang sebagai sumber daya tak terbatas yang dapat dieksploitasikan, melainkan menjadi mitra sejati dalam pembangunan berkelanjutan. Filosofi yang tidak semata-mata menekankan harmoni antara manusia dan alam, namun juga memberi inspirasi akan solusi-solusi praktis bagi tantangan global seperti perubahan iklim, polusi, dan ketimpangan ekonomi. Itulah inti dari ekonomi biru---gagasan yang sederhana namun revolusioner.

            Apakah sebenarnya ekonomi biru? Mengapa konsep ini berbeda dari pendekatan ekonomi hijau yang lebih dikenal? Filosofi ekonomi biru melangkah lebih jauh dengan mengajak kita untuk "meniru alam." Dipopulerkan oleh Gunter Pauli, seorang inovator dan penulis buku The Blue Economy: 10 Years, 100 Innovations, 100 Million Jobs, konsep ini menantang cara lama kita memandang ekonomi. Di alam, tak ada yang terbuang sia-sia; segala sesuatu memiliki peran, nilai, dan fungsi dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Pauli menunjukkan bahwa prinsip ini bukan hanya inspirasi ekologis, tetapi juga peluang bisnis yang menguntungkan.

            Di balik konsep filosofisnya, ekonomi biru menyimpan kisah-kisah manusia yang luar biasa. Bayangkanlah sebuah desa nelayan kecil di Maluku yang dahulu bergantung pada penangkapan ikan secara berlebihan hingga ekosistem lautnya rusak. Berkat penerapan ekonomi biru, mereka kini tidak hanya memulihkan terumbu karang melainkan juga menciptakan lapangan kerja baru dari wisata alam dan pengolahan hasil laut yang berkelanjutan. Atau kisah para inovator muda di Indonesia yang mengolah limbah plastik dari laut menjadi bahan bakar alternatif, memberi harapan baru bagi masa depan lingkungan dan energi.

            Tulisan ini berupaya membawa kita menjelajahi harmoni filosofis dan inovasi praktis dari ekonomi biru. Kita akan menyelami bagaimana konsep ini berkembang di pentas global, mengapa Indonesia harus memiliki posisi strategis menjadi pemimpin dalam gerakan ini, serta apa yang dapat dilakukan oleh individu, masyarakat, hingga pemerintah untuk mewujudkan masa depan yang lebih biru---lebih sehat, lebih inklusif, dan lebih berkelanjutan.

Filosofi Ekonomi Biru: Belajar dari Siklus alam

            Alam mengajarkan kita bagaimana daya dukung bumi dapat lestari tanpa pamanfaatan yang berlebihan. Di hutan hujan, daun-daun yang gugur dapat menjadi pupuk tanah yang subur. Buah-buahan yang jatuh menjadi santapan bagi hewan-hewan liar, sedangkan kotoran hewan akan diolah kembali oleh ekosistem. Tak ada yang dibuang sia-sia, semua saling terkait dalam rantai makanan yang seimbang. Filosofi inilah inti dari ekonomi biru: mempelajari cara alam menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa menimbulkan sampah.

            Menurut Gunter Pauli, penggagas konsep ini, ekonomi tradisional cenderung hanya fokus pada keuntungan jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Berbeda dengan alam, efisiensi tidak sekadar soal untung melainkan juga tentang keberlangsungan. Alam justru mengajari kita bagaimana memanfaatkan limbah menjadi sumberdaya berharga. Setiap tantangan adalah peluang, setiap limbah berpotensi menjadi sumber baru. Terinspirasi dari alam, ekonomi biru mewujudkan inovasi tidak hanya untuk keuntungan finansial tetapi juga pelestarian lingkungan.

            Contoh nyata terlihat pada usaha mikroorganisme yang memproses kulit jeruk menjadi minyak esensial atau teknologi pengolahan ampas kopi jadi bahan bakar nabati. Kedua inovasi tersebut mewujudkan konsep zero waste secara praktis dan menguntungkan. Di tanah air, nelayan Pangandaran kini tidak hanya menjual ikan segar melainkan juga mengolah hasil tangkapannya menjadi produk bernilai tambah untuk meningkatkan pendapatan dan daya dukung sumberdaya perikanan. Dan di daratan untuk menghemat air, budidaya ikan nila menggunakan teknologi bioflok yang sekarang banyak bermunculan di Tasikmalaya.

            Ekonomi biru bukan sekadar konsep besar tetapi juga cara pandang baru tentang optimasi sumber daya sekitar. Bukan sekadar "apa yang dapat diambil" tetapi juga "apa yang dapat dikembalikan" demi kelestarian bumi untuk generasi mendatang. Dengan belajar dari alam, harmoni antara manusia dan ekosistem, ekonomi dan lingkungan, masa kini dan masa depan dapat terwujud.

Tantangan dan Peluang Berkelanjutan di Samudra

            Laut bukan hanya luasnya perairan, tetapi sumber kehidupan bagi miliaran makhluk di muka bumi, termasuk manusia. Dari oksigen yang kami hirup hingga makanan di meja makan, laut memegang peran tak tergantikan. Akan tetapi, sejalan bertambahnya populasi dan eksploitasi sumber daya, laut menghadapi ancaman semakin nyata. Sampah plastik yang menumpuk, pemanasan air laut merusak terumbu karang, serta penangkapan berlebihan menggoyahkan keseimbangan ekosistem laut menjadi tantangan utama yang harus kita hadapi bersama.

            Bayangkan seorang nelayan di Pantai Jawa. Dahulu, hasil tangkapannya melimpah, cukup untuk keluarga bahkan menabung. Namun kini, ia harus jauh ke laut, menghabiskan banyak bahan bakar, hanya untuk hasil tak sebanding jerih payahnya. Kisah ini bukan hanya cerita individu, tetapi cerminan krisis global yang dihadapi komunitas pesisir di seluruh dunia.

            Akan tetapi, di tengah berbagai tantangan, laut juga menyimpan peluang tak terbatas. Ia sumber energi baru lewat gelombang dan angin, serta gudang keanekaragaman hayati yang bisa menjadi kunci untuk inovasi teknologi dan kesehatan. Indonesia, dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, berada di posisi strategis memanfaatkan potensi ini.

            Sebagai contoh, perusahaan teknologi di Bali mengembangkan bahan plastik dari rumput laut, yang tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga membuka peluang pasar global. Inisiatif seperti ini menunjukkan bahwa laut tidak hanya harus dilihat sebagai korban eksploitasi, tetapi juga mitra yang dapat membawa solusi. Namun, momen ini hanya dapat diraih jika kita berkomitmen untuk menjaga laut sebagai pusat kehidupan. Komunitas internasional telah sepakat dalam berbagai forum, termasuk dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), bahwa perlindungan laut adalah kunci masa depan yang berkelanjutan. Untuk Indonesia, ini bukan hanya mengenai tanggung jawab moral, tetapi juga kesempatan untuk memimpin dunia dalam menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan bisa berjalan beriringan.

            Pada akhirnya, laut adalah cermin dari bagaimana kita memperlakukan planet ini. Jika kita melihatnya sebagai beban, maka kita akan kehilangan peluang besar. Namun jika kita memandangnya sebagai pusat kehidupan, kita dapat membuka babak baru dalam hubungan kita dengan alam---babak yang dipenuhi dengan harmoni, inovasi, dan harapan.

            Pendekatan ekonomi biru semakin relevan menghadapi tantangan seperti perubahan iklim dan eksploitasi laut yang berlebihan. Seperti dicatat oleh laporan IPCC (International Panel on Climate Change), peningkatan suhu air laut telah secara signifikan memengaruhi ekosistem laut, termasuk menurunkan tingkat produktivitas ikan dan menyebabkan kerusakan terumbu karang.

            Yakinlah, di balik banyak tantangan, terdapat peluang besar yang dapat dioptimalkan dengan inovasi berbasis filosofi ekonomi biru. Dalam pandangan Pauli, solusi ada di depan mata kita, namun seringkali kita gagal melihatnya. Menurutnya laut  yang meliputi lebih dari 70% permukaan bumi, menawarkan potensi yang tak terbatas jika dikelola dengan bijak. Kisah inspiratif dari Kabupaten Wakatobi merefleksikan filosofi yang dikemukakan Pauli. Dengan memanfaatkan potensi ekowisata, masyarakat lokal tidak hanya mampu merehabilitasi terumbu karang tetapi juga meningkatkan pendapatan mereka. Pendekatan ini menunjukkan bahwa keberlanjutan bisa menjadi sumber kesejahteraan, tidak hanya untuk generasi saat ini tetapi juga untuk masa depan.

Menuju Masa Depan Ekonomi Biru

            Bayangkan  bumi tempat setiap langkah maju tak hanya menguntungkan manusia, namun memuulihkan alam. Di mana limbah bukan lagi beban melainkan sumberdaya berharga. Disanalah visi masa depan ekonomi biru memanggil kita---masa depan tak saja berkelanjutan tetapi serasi dan berinovasi. Menuju masa depan biru bukan perjalanan mudah. Dihadapkan tantangan besar dari kebiasaan lama susah diubah hingga perlu mencipta teknologi baru yang mendukung harmoni antara alam dan ekonomi. Namun tiap langkah kecil kita sapa menjadi pijakan penting menuju perubahan besar. Contohnya di desa pantai Nusa Tenggara, wanita kini aktif mengolah limbah ikan jadi pupuk organik dan cemilan bergizi tinggi. Inisiatif ini tak cuma tingkatkan pendapatan mereka tapi juga kurangi polusi laut di sekitar desa. Kisah mereka bukti nyata perubahan dapat dimula darii komunitas-komunitas kecil yang berani bermimpi.

            Gunter Pauli percaya ekonomi biru berbicara tentang melihat peluang di tempat tak terduga. Mengganti pola pikir eksploitatif dengan kreatif dan berkelanjutan, tak cuma dapat melindungi alam tapi juga mengkreasi model bisnis inovatif. Ekonomi biru mengajarkan setiap tantangan lingkungan adalah peluang menciptakan solusi baru.

            Lebih jauh, masa depan biru juga ajarkan pentingnya kerjasama lintas sektor. Pemerintah, swasta, dan masyarakat butuh bersinergi membuat kebijakan yang mendukung inovasi dan investasi ramah lingkungan. Langkah bagus Indonesia telah memulai dengan membangun zona ekonomi eksklusif berbasis blue economy yang tidak hanya mendorong investasi, tetapi juga menjaga biodiversitas laut kita.

           Bagaimanapun, masa depan biru bukan saja teknologi atau kebijakan. Tapi soal pandang---bahwa kita bukan penguasa alam melainkan bagian  dari ekosistem yanglebih besar. Melalui pemahaman bahwa keberlanjutan bumi adalah keberlanjutan hidup kita sendiri, kita bisa menciptakan hubungan yang lebih mendalam dengan planet ini. Setiap orang memiliki peran dalam perjalanan ini. Apakah kita seorang nelayan, pelaku usaha, akademisi, atau bahkan seorang anak muda yang peduli, langkah kita hari ini akan menjadi bagian penting dari cerita besar ini. Menuju masa depan ekonomi biru berarti mempercayai bahwa dunia yang lebih baik bukan hanya mungkin, tetapi juga layak untuk diperjuangkan bersama.

           Sebagai bangsa maritim, Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk memimpin penerapan ekonomi biru di tingkat global. Dengan kebijakan yang mendukung inovasi, pengelolaan berbasis komunitas, dan investasi dalam teknologi ramah lingkungan, ekonomi biru dapat menjadi pilar utama pembangunan berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun