Sebagai pondasi dasar negara kesatuan Republik Indonesia, Pancasila menjadi sebuah hal yang suci, sakral, dan sakti. Vibrasinya mampu merasuki seluruh komponen kehidupan berbangsa dan bernegara, hingga menyentuh kehidupan bersosial dan bermasyarakat.Â
Nilai-nilai Pancasila telah lama lahir bahkan sejak negara Indonesia berdiri dan bangsa ini bersatu untuk merebut kemerdekaannya di tanah air sendiri. Namun, apakah nilai-nilai tersebut terus tumbuh dan berkembang, atau malah berhenti di tengah musim, dan tak lagi ingin tumbuh di antara hegemoni rakyat yang sekarang menjadi terkotak-kotak?
Adalah Prof. Mohammad Mahfud MD yang pernah ditanya saat ia memberi kuliah di American University of Beirut tentang rahasia kebersatuan Indonesia yang memiliki 17.504 pulau, 1360 suku, 762 bahasa daerah, beragam agama dan keyakinan, budaya, serta penduduknya lebih dari 250 juta jiwa. Dengan tegas beliau menjawab karena Indonesia memiliki azimat yang bernama Pancasila!
Tengoklah negara-negara yang luluh lantak karena peperangan akibat korban keganasan dan haus kekuasaan penjajah di era sekarang, dimana bangsa Indonesia telah mengalaminya sendiri dalam waktu yang cukup lama, namun dipersatukan kembali dalam ikatan suci bernama Pancasila, sehingga membuat mereka harus berpikir berulang kali untuk menggempur Indonesia dari berbagai macam arah dan kesempatan.
Bangsa Indonesia patut bersyukur karena lebih beruntung meskipun masalah yang ada juga tak bisa dihindari. Pengalaman yang dialami oleh negara ataupun bangsa yang runtuh akibat perang saudara dan yang lainnya menjadi kaca yang harus selalu dilihat bila bangsa kita tak ingin mengalami hal serupa atau yang lebih naas lagi.
Persatuan Indonesia sudah menjadi salah satu tiang penguat bangsa ini, jika ada rakyat, kelompok, atau pun golongan yang mencoba untuk meragukan, mengoyak, dan menggaungkan tanda-tanda untuk meninggalkan Pancasila, sudah jelaslah bahwa mereka merupakan pengkhianat perjuangan para pahlawan yang telah gugur di medan perang.
Bagi saya, pahlawan bukan hanya yang makamnya ditandai oleh bambu dengan gambar bendera merah-putih, atau mereka yang memiliki bintang di pundaknya, pejuang dan syahid adalah mereka yang turun ke medan perang, baik laki-laki atau perempuan, tua, muda, ataupun anak-anak yang memiliki sejumlah pengalaman mencekam pada masa peperangan berlangsung.
Apa kita perlu alasan lagi untuk tidak berbangga hidup di bumi pertiwi ini? Apa Pancasila merugikan para pendahulu atau bahkan anak-cucu kita kelak? Kelima sila dalam Pancasila memiliki kekuatan lahir dan batin bagi mereka yang benar-benar memahami dan menghargai setiap keringat dan darah yang tumpah demi tegaknya kemerdekaan negara ini sejak tahun 1945 hingga akhir masa.
Kemajuan dan kemunduran suatu bangsa sangat tergantung pada pola pikir atau cara pandang rakyatnya dalam menghormati, menghargai, serta bersyukur atas apa yang dia miliki saat ini, dimana ia dilahirkan, dibesarkan, bahkan sampai dimana ia berkarya dan kemudian mati.
Ada banyak hal yang bisa kita lakukan agar dapat menjaga serta merawat bangsa ini dari tangan-tangan jahil, cara pandang intoleran, atau gerakan ekstrem yang bisa mengakibatkan persatuan Indonesia hanya tinggal kenangan.
Jangan pernah bosan untuk menyuarakan, menuliskan, dan menyebarkan ajaran Pancasila karena nilai-nilai yang terdapat didalamnya tak satupun yang bertentantangan dengan ajaran agama-agama dan berbagai keyakinan yang ada di Indonesia.
Banggalah menjadi manusia Pancasila, didalam darah dan nafas terpancar energi yang dapat menggetarkan dunia. Memiliki Pancasila adalah seperti kita hidup dengan ayat-ayat suci yang Tuhan firmankan.
Bapak Proklamator Indonesia, Ir. Soekarno sang penggali nilai-nilai tersebut pun mengakui bahwa yang ia lakukan hanya menggali apa yang sudah ada di dalam tubuh bangsa ini, bukan menciptkan sesuatu yang baru.
Secara pribadi, saya menganggap Pancasila merupakan pedoman hidup selain kitab suci Al-Qur'an dan sunnah. Pancasila menjadi asas rakyat Indonesia untuk kembali memahami arti mengimani keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, esensi dari manusia adalah kemanusiaannya yang merasa sama dan sejajar terhadap yang lainnya, menjadi pemersatu umat, melakukan musyawarah untuk mencapai mufakat, dan berlaku adil.
Hal-hal yang penulis sebutkan adalah yang selalu diusahakan setiap hari, sehingga mnejadi budaya dan gaya hidup yang berkualitas baik secara lahir maupun batin. Sedikit kebaikan jika dilakukan terus-menerus akan menghasilkan suatu kebiasaan yang baik dan membawa manfaat bagi banyak orang. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H