Mari kita berikan bagi diri kita ruang untuk berkontemplasi barang sebentar tapi khusyu’, meredam emosi, paksaan, dogma, dan yang lebih penting adalah menghormati hak-hak mereka yang ingin memberikan aspirasinya pada Pilkada esok hari.
Saya pribadi sangat membatasi diri untuk berbicara atau menulis tentang sesuatu yang berada diluar wilayah pengetahuan saya. Termasuk mengomentari kota dan kepemimpinan sang pemimpin, dimana saya tidak tinggal didalamnya, karena buat saya itu kurang etis dan saya meskipun tiada melarang, tapi hati saya yang enggan.
Yang lebih esensial adalah bagaimana caranya saya membuat diri saya berguna bagi keluarga, lingkungan dan juga kota saya, sejauh mana saya sudah berkontribusi bagi kota saya. Hal yang seperti ini saja membuat saya tak bisa tidur nyenyak, karena saya betul-betul belum bisa berbuat apa-apa untuk kota saya sendiri.
Dalam dunia blog seperti Kompasiana, umumnya kita “berbicara” dengan rangkaian kata, namun meskipun begitu realita tersebut juga mampu menyulut emosi para pembaca; emosi yang berenergi positif maupun negatif.
Selain perbincangan politik (pilkada) masih dalam level aman, tapi saya pastikan kita semua tahu dan paham betul saat isu-isu politik terlebih pilkada yang bagaikan isu abadi ini menjadi bola api. Seorang kompasianer yang mengunggah tulisan terkait hal itu tentu akan kedatangan banyak “tamu”, dari yang sependapat sampai yang tidak bertemu ujung dan pangkalnya.
Saya pun termasuk didalamnya, saya berusaha menyampaikan objektifitas dan subjektifitas secara berimbang, penilaian saya serahkan kepada para pembaca. Mau setuju atau tidak bukan urusan saya lagi. Mau menghujat atau meledek, juga bukan hak mereka yang membaca.
Untuk mengomentari kota lain itu membutuhkan data dan pengalaman yang dialami secara langsung, begitupun dengan kepemimpinan sang pemimpin. Saya amat jarang berbicara tentang kota selain kota yang saya tinggali kecuali saya pernah mengunjunginya dan sebatas pada apa yang saya lihat di televisi, itu pun hanya berkaitan dengan pariwisatanya saja, tidak lebih.
Adil itu harus dimulai dari diri sendiri. Untuk memahami segala hal yang terjangkau atau sama sekali tidak terjangkau pengetahuan dan pengalaman kita, maka kita harus belajar menjadi bijaksana. Menyampaikan pesan-pesan penuh damai, dan menyebarkan cinta kepada sesama tanpa mengganggu ketenteraman yang sedang mereka ciptakan.
Semua lapisan masyarakat di kota-kota yang melaksanakan Pilkada esok hari tentu mengharapkan kebaikan dan ketertiban agar tercapai tujuan bersama. Hindari menulis atau berpendapat yang berlebihan hanya karena tidak bisa menundukkan ego pribadi atau demi meraih simpati.
Saya pun akhirnya memilih jadi ummatan wasatha alias umat penengah, non blok. Dengan begitu saya sedang berusaha membantu pemerintah dan aktivis perdamaian untuk menciptakan keadaan pilkada yang kondusif, aman, dan tenang.
Setidaknya, semua masyarakat yang melaksanakan pilkada serentak ini dapat menerima hasil di akhir nanti. Tidak ada kecurangan atau penipuan yang terjadi hanya untuk memperoleh kekuasaan.