Aneka macam “tabib” desa pun ia telah jumpai, dengan hasil yang sama bahwa putranya hanya kurang nafsu makan dan berolahraga.
Ketangguhan Amalia diuji coba pada keadaan ini, dimana dia harus bersabar diri menghadapi orang-orang diluar dugaan. Meskipun demikian, Amalia tetap menghargai mereka dengan mendengarkan saran-saran dan ramuan yang harus diberikan kepada putranya.
Fokus Amalia pada penyembuhan putra semata wayang, menjadikan dirinya harus memantau kantor dari jarak jauh, meskipun ada gadget tetap saja sinyal menjadi dewa penyelamat yang sangat dibutuhkan saat itu.
Amalia tidak menginginkan sesuatu dipegang oleh orang lain, meskipun partner kerja sendiri. Bukan masalah kepercayaan atau yang lain, tapi integritasnya pada suatu pekerjaan memaksa dia harus bisa memutuskan dengan cermat.
Selama perjalanan “petualangan” berlangsung, pada sosok Amalia ditampilkan sebagai sosok ibu yang mulai membuka hati untuk lebih bisa memahami dan mengenal putranya sendiri. Hilang sudah sifat keras kepala dan obsesif.
Sampai sebuah kejadian membuat Amalia mengubah cara pandang hidup, terlebih terhadap buah hatinya. Kisahnya adalah saat Amalia berada di sebuah hotel tempat ia menginap.
Sebelum check out ia menanyakan alamat yang akan ia tuju kepada resepsionis hotel. Sayangnya, alamat yang dituju dikabarkan tidak lagi praktek, karena tabib yang dimaksud adalah seorang penipu.
Si resepsionis memberikan alternatif lain, karena si tabib terbilang sakti. Maka Amalia memutuskan untuk mendatangi alamat yang baru saja diberikan.
Perjalanan masih sama seperti sebelumnya, perkampungan yang sepi tapi juga indah karena dikelilingi oleh pepohonan dan area persawahan.
Mobil yang dikendarai Amalia mendadak mogok, terpaksa ia harus turun dan membetulkannya sendiri. Apa mau dikata, usahanya tidak berhasil, hingga sebuah mobil bak terbuka lewat, sang putra membehentikan mobil bak tersebut.
Singkat cerita, Amalia dan putranya menumpang mobil dan duduk di belakang bersama aneka sayur mayor dan beberapa ekor kambing.