Mohon tunggu...
Nurhasanah Munir
Nurhasanah Munir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Taruna

I'm a dreamer and wisdom seeker// Ailurophile// write to contemplate

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Andai Toleransi Lebih Ringan dari Kapas

23 Agustus 2016   13:28 Diperbarui: 23 Juni 2017   22:21 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo: Dok. Pribadi II Saya bersama Ms. Gerardette Philip Dosen Pengampu Mata Kuliah

Beberapa fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia telah mengalami kemunduran dalam menyikapi keberagaman antar umat beragama, tidak lagi mempedulikan kerukunan hingga keamanan dalam menjalankan ibadah serta keyakinannya masing-masing. Baik di perkotaan atau pedesaan sama-sama memiliki nilai intoleransi yang tinggi, hal ini didukung pula oleh berkembangnya dunia maya dan media sosial sebagai “alat kampanye” gerakan intoleransi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi dimaknai dengan beberapa hal, seperti: 1) sifat atau sikap toleran, 2) batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan, 3) penyimpangan yang masih dapat diterima. Dan pada pembahasan kali ini, poin satu dan dua adalah definisi yang saya pakai untuk menjabarkan tentang pentingnya menjaga kerukunan umat beragama pada era media sosial.

Memandang sikap toleran yang sekarang tidak lagi menjadi asas utama untuk menciptakan rasa damai dalam diri sendiri dan orang lain, sehingga seseorang yang intoleran bisa menularkan sikap tersebut kepada lingkungan sekitar dengan sangat mudah. Dari masyarakat awam hingga tokoh nasional sekalipun telah menjadi juru kehancuran terhadap kerukunan umat beragama yang telah dibangun selama berabada-abad di tanah nusantara, hingga era dunia maya mengambil peran startegis untuk berbagai propaganda.

Didukung oleh media sosial yang memiliki akses cepat dan transparan, maka segala informasi atau seruan untuk bersikap intoleran akan semakin mudah sampai pada masyarakat, khususnya bagi mereka yang memiliki visi misi sejalan. Sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui, ungkapan tersebut kiranya dapat menggambarkan bagaimana kekuatan media sosial dapat mengubah dan mempengaruhi cara pandang seseorang.

Mereka yang terbilang intelek belum tentu bisa bijaksana untuk menggunakan intelektualitasnya dalam bersikap. Begitu pula mereka yang tidak mengenyam pendidikan tinggi, kita tidak dapat menghakiminya sebagai orang yang “sesat” dalam berperilaku untuk menghadapi perbedaan dan keberagaman dalam beragama dan berkeyakinan.

Siapapun bisa mengakses internet dengan begitu mudah, namun apakah mereka mampu menjaga dirinya dari berbagai macam pengaruh negatif yang disebarkan orang-orang tidak bertanggung jawab melalui media sosial adalah perkara lain. Yang paling menjadi sorotan masa kini adalah hilangnya kesadaran dalam diri manusia untuk bertenggang rasa dan menghargai orang lain dan keyakinannya. Seakan tidak siap menghadapi perbedaan di luar dirinya, sebagian kelompok mengagungkan ajaran agamanya dan bersikap menistakan ajaran agama lain.

Orang Pintar Belum Tentu Dapat Mengamalkan Ilmunya

Sikap menistakan ajaran agama lain dan menyebarkan kebencian adalah satu sifat seseorang belum dewasa secara intelektual dan spiritual. Apa guna merendahkan kepercayaan orang lain bagi dirinya kemudian menyebarluaskan sikap tersebut kepada masyarakat umum? Bukankah dengan demikian, ia telah menjatuhkan kewibawaan pribadi?

Saya merasa heran dengan orang-orang yang dengan mudah menghujat dan menjatuhkan seseorang atau golongan lain karena agama yang dianutnya, serta ajaran yang dipraktekkan berdasarkan keyakinan kepada Tuhan yang ia percaya. Hubungan manusia dengan Tuhan adalah hak Tuhan dengan hamba, bukan hak hamba untuk menilai hamba yang lain. Begitupun antara hubungan hamba dengan hamba yang lain, tentu masih dalam hak kuasa Tuhan sebagai Sang Pencipta. 

Beberapa golongan dalam masyarakat Indonesia sudah melampaui batas kemanusiaan. Mereka beribadah pada Tuhan, tapi menindas hamba-hamba Tuhan yang lain. Mereka seperti lupa bagaimana caranya menghargai sesama makhluk Tuhan. Dalam konteks ini, para pemeluk agama-agama di Indonesia kian hari semakin merasa curiga antara yang satu dengan yang lain karena kondisi yang tidak aman diciptakan dari dalam diri mereka.

Dahulu kala, tidak ada istilah “memanusiakan manusia” karena semua individu masih memegang norma-norma agama dan sosial di dalam kehidupannya. Namun masa kini, istilah tersebut seakan tamparan kerasa bagi setiap golongan yang menindas dan mengintimidasi golongan yang lain. Mereka yang mempunyai kekuasaan, menggunakannya untuk mencapai tujuan yang tidak terpuji. Mereka yang populer, menggunakan namanya untuk mencapai keinginan demi menjatuhkan yang tidak berdaya. Mereka yang memiliki harta berlimpah, menggunakannya untuk menjadi motor penggerak agar niat busuk terlaksana, meskipun melalui tangan orang lain.

Dimana manifestasi Ketuhanan Yang Maha Esa? - sedangkan hak untuk mempercayai Tuhan Yang Esa dengan cara yang berbeda masih saja dikoyak-koyak tanpa ada rasa welas asih. Dimana wujud Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab? – sedangkan golongan manusia satu memandang rendah manusia lainnya. Dimana letak persatuan Indonesia? - Jika kesadaran untuk menghargai perbedaan masih jauh dari harapan. Dimana pula wujud Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan? – apabila satu golongan tidak berkenan untuk bermusyawarah dengan golongan lain demi mewujudkan cita-cita bersama dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Lalu dimana letak Keadilan Sosial bagi Seluruh rakyat Indonesia? – sedangkan hak-hak dasar bagi setiap warga negara telah berubah menjadi harapan semu.

Untuk menjaga dan merawat kerukunan pada era media sosial diperlukan kesungguhan hati dan jiwa yang matang, sehingga mampu mengontrol hal-hal negatif yang datang dari arah tak terduga. Menggunakan media sosial sebaiknya tidak egois, maksudnya kita menggunakannya hanya untuk kepentingan dan kebutuhan pribadi, sedangkan disisi lain, saudara-saudara kita masih banyak mengalami ketidakadilan dan menjadi korban yang disebabkan oleh sekelompok orang yang tidak bijak menggunakan media sosial.

Penggunaan media sosial sebagai alat untuk menampilkan wajah toleransi yang kian memudar menjadi hal yang niscaya. Oleh karena itu, hal ini dapat menunjukkan bahwa harapan untuk menyatukan umat beragama di Indonesia masih ada. Tidak sedikit para pengguna media sosial yang memiliki visi dan misi yang sama berkolaborasi untuk menyelamatkan wajah toleransi di Indonesia yang terkenal di berbagai media asing, namun hampir hilang di negerinya sendiri.

Saya bersyukur masih bisa menemukan banyak pengguna media sosial yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai baik dan positif serta norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat. Dan tidak lupa mengkampanyekan pentingnya memiliki sikap toleransi terhadap perbedaan dan keberagaman dalam beragama, berbangsa, dan bernegara.

Tentang Iman sampai Wujud Toleransi

Berawal dari pengalaman pribadi bahwa saya ingin mengetahui hal lain diluar ajaran agama saya, maka saya membuka diri dan pikiran saya untuk berdiskusi dengan mereka yang tidak seagama dan sealiran. Saya merasakan kasih sayang Tuhan sangat luas jika hanya dibagikan untuk satu golongan saja. Saya memiliki seorang sahabat non-muslim, memiliki panutan juga non-muslim, dan dosen saya dulu juga seorang non-muslim, justru dari mereka kita dapat banyak pelajaran hidup tentang menghormati perbedaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.

Saat saya duduk di bangku kuliah, salah seorang dosen non-muslim menyampaikan satu hal yang membuat saya terkenang dan terkesan sampai sekarang, beliau berdiri di hadapan kami dan berkata: “Saya mengajar kalian agar bertambah keimanan saya, begitupun harapan saya kepada kalian, semata–mata agar bertambah keimanan kalian.” Dan saya dengar dari seorang kawan, beliau mengajar filsafat di salah satu universitas swasta di Bandung. Semoga Tuhan selalu memberkati jalannya, amin.

Photo: Dok. Pribadi II Saya bersama Ms. Gerardette Philip Dosen Pengampu Mata Kuliah
Photo: Dok. Pribadi II Saya bersama Ms. Gerardette Philip Dosen Pengampu Mata Kuliah
Jika kita mampu menjaga dan merawat kerukunan dalam dunia nyata, maka kita juga mampu melakukannya di media sosial. Tidak ada manfaat bila menghujat mereka yang berbeda keyakinan dengan diri kita, siapa kita sehingga merasa berhak untuk melakukan keburukan yang Tuhan tidak lakukan terhadap hamba-hamba-Nya? Sikap saling menghormati dan menghargai dalam perilaku lebih baik dilakukan meskipun tak berkata, daripada satu kata yang terucap dan melukai seorang atau golongan lain karena perbedaan yang diyakininya.

Terkadang kultur dan budaya seseorang mempengaruhi cara pandang, namun yang penting adalah dengan siapa ia bergaul akan menentukan sikap dan perilakunya dalam menghadapi sebuah isu, contohnya seperti toleransi. Tidak jarang saya berada pada posisi sebagai yang dikritik oleh teman-teman semasa sekolah dulu, karena mereka menganggap bahwa saya memiliki cara berpikir yang berbeda tentang nilai-nilai perbedaan.

Pernah suatu kali, teman saya mengkritik tentang pandangan saya mengenai mazhab lain dalam Islam yang saya tulis di satus facebook, (perlu dicatat!) masih mazhab dalam Islam. Teman saya mengingatkan saya tentang “bahaya” dari pemahaman mazhab tersebut. Namun kritiknya terbantahkan sendiri, karena saya katakan padanya bahwa saya sudah membaca satu kitab tentang ulumul qur’an dari mazhab tersebut dan tidak menemukan adanya penyimpangan. Hal itu baru contoh kecil saja, padahal kami mondok di pondok yang sama, tapi output-nya jadi berbeda.

Hingga kini, saya tak ingin hubungan pertemanan saya dengannya hancur hanya karena berbeda cara pandang. Belum lagi saat dia banyak memposting berita-berita yang menjatuhkan salah satu gubernur di Indonesia yang penuh dengan muatan SARA. Maka dari itu, saya cukup tersenyum saja saat postingannya melewati beranda. Bagi saya, karma tetap berlaku, asalkan saya tetap memposting sesuatu yang baik, benar, dan membawa manfaat.

Saya sebagai muslim (yang belum tentu taat) masih merasa gusar dan malu bilamana mendengar dan menyaksikan seseorang berkerudung dan berpeci meneriakkan kalimat “Allahu Akbar” untuk mencerca, bahkan menindas hamba-hamba Tuhan yang lain. Dengan cara yang lebih halus, misalnya menuliskan kalimat-kalimat yang menjelekkan ajaran penganut lain, dan menambahkan ayat-ayat suci sebagai dalil bahwa ajaran tersebut salah dan menyesatkan.

Secara pribadi, saya bertanya-tanya; apakah golongan tersebut tidak lelah diri dalam melampiaskan kebenciannya di media sosial? Berapa banyak beban berat yang ia tanggung sehingga kebencian dalam dirinya terhadap ajaran lain begitu tebal, hitam, dan pekat? Tak ada lagi keindahan yang terpancar dari dirinya, melainkan luapan emosi yang meledak-ledak dan jauh dari kata berilmu.

Kemanusiaan VS Kekuasaan

Luapan kebencian tidak hanya sebatas kata dan kalimat yang seringkali diekspos di media sosial. Kita tentu masih ingat peristiwa mengerikan yang menimpa saudara-saudara muslim di Rohingya Myanmar yang dibakar, dan juga pembantaian massal yang dilakukan oleh tentara zionis serta ISIS terhadap penduduk sipil di Palestina, Afganistan, Suriah, Yaman, Libia, Somalia, dan seterusnya. Berita tentang peristiwa yang terjadi negara-negara tersebut menyebar luas ke seantero dunia melalui media sosial. Tidak dapat dikontrol dan dikendalikan, karena tangan-tangan berkuasa memainkan peran untuk menentukan opini publik.

Begitupun yang terjadi di sekitar kita seperti pengusiran warga muslim syi'ah di Sampang, pengrusakan masjid jama'ah Ahmadiyah, pengrusakan gereja di beberapa daerah, pembakaran masjid di Tolikara, pembakaran Vihara di Tanjung Balai, dan seterusnya. Setiap kejadian dan peristiwa yang membakar dan mengoyak hati nurani manusia, akan berdampak pada perubahan cara pandang terhadap suatu realita. Publik akan marah dan melampiaskannya secara cepat di media sosial, atau di majlis-majlis pengajian kemudian diunggah juga ke media sosial. Toleransi akan menjadi sikap bila satu sama lain bisa saling menjaga.

Warga Indonesia hingga dunia mampu dikendalikan oleh media sosial secara sistematis. Dan media sosial tak ubahnya seperti kaca, sangat bening dan juga rapuh. Media sosial bening karena begitu transparan, siapapun bisa mengakses. Ia juga rapuh, karena dikendalikan pula oleh raja-raja media. Sehingga korban “gagal paham” media sosial berjatuhan, siapa lagi kalau bukan masyarakat kita.

Pengguna media sosial yang intelek saja tidak cukup tanpa memiliki kecakapan dan keluwesan untuk menyaring berbagai informasi yang datang dan pergi, karena untuk menciptakan ruang media sosial yang kondusif diperlukan orang-orang yang mau peduli dan berbagi untuk mewujudkan dunia maya yang edukatif. Jika setiap orang sudah merasa harus saling menjaga dan menghormati norma-norma di media sosial, dipastikan media sosial dapat menjadi media yang paling efektif untuk mendidik masyarakat.

Menjadi pengguna media sosial seyogyanya juga memiliki jiwa yang bertanggung jawab terhadap dampak dari penggunaan media sosial apapun bentuknya, dan jika perlu membuat gerakan sosialisasi tentang cara bijak menggunakan media sosial di keluarga, sekolah, kampus, komunitas, majlis pengajian, dan lain-lain. Hal-hal yang demikian sudah dilakukan oleh beberapa orang atau kelompok yang peduli tentang masalah yang terjadi di masyarakat, dan sekarang telah berubah menjadi seperti penyakit menular.

Damai di Hati, Damai di Bumi

Media sosial seperti alam raya yang sangat luas dan tidak terjangkau, oleh karena itu kita perlu memiliki strategi yang jitu agar media sosial dapat kita kendalikan. Jika terjadi kerusakan pada alam, maka manusia harus memulihkannya dengan cara alam pula. Begitupun sama halnya dengan kerusakan yang terjadi di media sosial, maka kita juga harus menyelesaikannya dengan memanfaatkan media sosial sebagai obatnya.

Demi keutuhan bangsa Indonesia dan demi kesatuan rakyatnya, maka seharusnya kita saling memperkokoh tali persaudaraan dengan meningkatkan wawasan, sehingga kita memiliki sikap yang arif dan bijaksana untuk menyikapi masalah dalam perbedaan dan seluruh cabangnya. Sejak pulau-pulau kecil terbentuk dan kemudian menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidakkah kita paham bahwa bangsa kita disatukan oleh perbedaan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.

Mau tidak mau, kita harus belajar dari nenek moyang kita pada era batu, dimana era modern dan era media sosial belum muncul, mereka menjaga dan merawat kerukunan antara yang satu dengan yang lain, antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, antara penganut kepercayaan yang satu dengan penganut kepercayaan yang lain. Mereka meyakini bahwa mereka diciptakan Tuhan untuk hidup berdampingan dalam damai dan penuh cinta kasih.

Zaman modern dapat menjadikan manusia itu makhluk yang paling bodoh atau sebaliknya, maka pilihlah jalan yang dipenuhi oleh orang-orang yang mencintai kedamaian dan mengharapka rahmat Tuhan. Zaman modern pula yang menjadikan manusia menjadi makhluk mulia dan juga hina dalam satu waktu, karena manusia tidak dapat menggunakan akal pikirannya secara sempurna, dan cenderung mengikuti ego.

Apa Batasan Toleransi itu?

Batasan toleransi yaitu saat lisan dan tingkah laku kita terjaga dari perkataan yang menghinakan dan perbuatan yang melecehkan kepercayaan dan keyakinan orang lain yang berbeda dengan kita. Pada dasarnya, segala tulisan, perkataan, dan perbuatan yang dapat menyinggung perasaan hingga keyakinan orang lain, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang melampaui batas toleransi. Toleransi adalah sikap mempersilahkan, toleransi dapat juga diartikan dukungan untuk mewujudkan harapan dan cita-cita umat secara gotong-royong dan kekeluargaan

Andai toleransi lebih ringan dari kapas, niscaya tidak ada lagi orang-orang yang menyimpan kebencian didalam hatinya. Kapas bersifat ringan tanpa beban, warnanya yang putih tak lagi indah jika ternoda. Kebaikan memang sangat berat dilakukan oleh orang-orang yang memilih untuk berada jauh dari kasih sayang Tuhan dan orang-orang baik tentunya. Toleransi baru dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki prinsip untuk menciptakan kedamaian, dan menjadi mata air bagi orang-orang yang kehausan dalam perjalanan bernama kebajikan.

Nabi Muhammad SAW bersabda: "Cintai saudaramu, sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri." Jika Nabi SAW saja menyerukan kepada manusia untuk mencintai dan mengasihi saudara seperti kita mencintai diri sendiri, lalu bagaimana dengan mereka yang membenci saudaranya yang lain? Tidakkah hal ini justru menunjukkan bahwa dia tidak mencintai dirinya sendiri? Tidak ada rugi untuk berbuat kebajikan dan menyebarkannya, karena Tuhan mencintai orang-orang yang berbuat baik. Bunda Theresa mengatakan “jika anda sibuk membenci, maka anda tak ada waktu untuk mencintai” – ungkapan tersebut setidaknya mengingatkan kita selalu untuk menanamkan rasa cinta yang penuh kedamaian, sehingga orang-orang di sekitar kita dapat merasakan getaran-getaran cinta tersebut dan ikut serta dalam menyebarkan benih-benih kedamaian.

Baca juga artikel terkait:

http://www.kompasiana.com/unamunir/pluralism-is-not-a-nightmare_57550803517a611505581629

Facebook: Una Munir

Twitter    : @Unamunir

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun