Saya sebagai muslim (yang belum tentu taat) masih merasa gusar dan malu bilamana mendengar dan menyaksikan seseorang berkerudung dan berpeci meneriakkan kalimat “Allahu Akbar” untuk mencerca, bahkan menindas hamba-hamba Tuhan yang lain. Dengan cara yang lebih halus, misalnya menuliskan kalimat-kalimat yang menjelekkan ajaran penganut lain, dan menambahkan ayat-ayat suci sebagai dalil bahwa ajaran tersebut salah dan menyesatkan.
Secara pribadi, saya bertanya-tanya; apakah golongan tersebut tidak lelah diri dalam melampiaskan kebenciannya di media sosial? Berapa banyak beban berat yang ia tanggung sehingga kebencian dalam dirinya terhadap ajaran lain begitu tebal, hitam, dan pekat? Tak ada lagi keindahan yang terpancar dari dirinya, melainkan luapan emosi yang meledak-ledak dan jauh dari kata berilmu.
Kemanusiaan VS Kekuasaan
Luapan kebencian tidak hanya sebatas kata dan kalimat yang seringkali diekspos di media sosial. Kita tentu masih ingat peristiwa mengerikan yang menimpa saudara-saudara muslim di Rohingya Myanmar yang dibakar, dan juga pembantaian massal yang dilakukan oleh tentara zionis serta ISIS terhadap penduduk sipil di Palestina, Afganistan, Suriah, Yaman, Libia, Somalia, dan seterusnya. Berita tentang peristiwa yang terjadi negara-negara tersebut menyebar luas ke seantero dunia melalui media sosial. Tidak dapat dikontrol dan dikendalikan, karena tangan-tangan berkuasa memainkan peran untuk menentukan opini publik.
Begitupun yang terjadi di sekitar kita seperti pengusiran warga muslim syi'ah di Sampang, pengrusakan masjid jama'ah Ahmadiyah, pengrusakan gereja di beberapa daerah, pembakaran masjid di Tolikara, pembakaran Vihara di Tanjung Balai, dan seterusnya. Setiap kejadian dan peristiwa yang membakar dan mengoyak hati nurani manusia, akan berdampak pada perubahan cara pandang terhadap suatu realita. Publik akan marah dan melampiaskannya secara cepat di media sosial, atau di majlis-majlis pengajian kemudian diunggah juga ke media sosial. Toleransi akan menjadi sikap bila satu sama lain bisa saling menjaga.
Warga Indonesia hingga dunia mampu dikendalikan oleh media sosial secara sistematis. Dan media sosial tak ubahnya seperti kaca, sangat bening dan juga rapuh. Media sosial bening karena begitu transparan, siapapun bisa mengakses. Ia juga rapuh, karena dikendalikan pula oleh raja-raja media. Sehingga korban “gagal paham” media sosial berjatuhan, siapa lagi kalau bukan masyarakat kita.
Pengguna media sosial yang intelek saja tidak cukup tanpa memiliki kecakapan dan keluwesan untuk menyaring berbagai informasi yang datang dan pergi, karena untuk menciptakan ruang media sosial yang kondusif diperlukan orang-orang yang mau peduli dan berbagi untuk mewujudkan dunia maya yang edukatif. Jika setiap orang sudah merasa harus saling menjaga dan menghormati norma-norma di media sosial, dipastikan media sosial dapat menjadi media yang paling efektif untuk mendidik masyarakat.
Menjadi pengguna media sosial seyogyanya juga memiliki jiwa yang bertanggung jawab terhadap dampak dari penggunaan media sosial apapun bentuknya, dan jika perlu membuat gerakan sosialisasi tentang cara bijak menggunakan media sosial di keluarga, sekolah, kampus, komunitas, majlis pengajian, dan lain-lain. Hal-hal yang demikian sudah dilakukan oleh beberapa orang atau kelompok yang peduli tentang masalah yang terjadi di masyarakat, dan sekarang telah berubah menjadi seperti penyakit menular.
Damai di Hati, Damai di Bumi
Media sosial seperti alam raya yang sangat luas dan tidak terjangkau, oleh karena itu kita perlu memiliki strategi yang jitu agar media sosial dapat kita kendalikan. Jika terjadi kerusakan pada alam, maka manusia harus memulihkannya dengan cara alam pula. Begitupun sama halnya dengan kerusakan yang terjadi di media sosial, maka kita juga harus menyelesaikannya dengan memanfaatkan media sosial sebagai obatnya.
Demi keutuhan bangsa Indonesia dan demi kesatuan rakyatnya, maka seharusnya kita saling memperkokoh tali persaudaraan dengan meningkatkan wawasan, sehingga kita memiliki sikap yang arif dan bijaksana untuk menyikapi masalah dalam perbedaan dan seluruh cabangnya. Sejak pulau-pulau kecil terbentuk dan kemudian menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidakkah kita paham bahwa bangsa kita disatukan oleh perbedaan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.