Dan perlu diketahui pula, bahwa usia baligh yang diatur oleh ajaran agama Islam juga tidak bersifat kaku, artinya Islam dengan mudah memberikan jalan bagi siapa saja yang ingin menikah untuk menjadikan usia baligh sebagai patokan. Pernikahan sejatinya diperuntukkan untuk para mukallaf atau orang yang layak diberi beban, sehingga ia mampu menanggung segala konsekuensi dan tanggung jawab yang harus dipikulnya.
Tentang data batasan usia untuk menikah, di negara-negara Islam khususnya memiliki pasti memiliki perbedaan karena diatur oleh kebijakan dan peraturan tertentu yang dibuat berdasarkan lingkungan, letak geografis, dan lain-lain khususnya perkara yang berbeda dari satu bangsa dengan bangsa yang lain. Negara-negara tersebut adalah Aljazair, Bangladesh, Mesir, Indonesia, Iraq, Yordania, Lebanon, Libya, Malaysia, Maroko, Yaman Utara, Pakistan, Somalia, Yaman Selatan, Syiria, Tunisia, dan Turki.
Seperti yang saya kutip dibawah ini dari Muhammad Amin Suma: Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta : Rajawali Press, 2004, hlm. 184 sebagaimana dikutip dari Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries : History, Text And Comparative Analysis, New Delhi : Academy of Law and Religion, 1987.
Dari data tersebut, penulis menyimpulkan bahwa tidak ada keterangan usia ideal untuk menikah, yang ada hanya usia minimal untuk bisa melangsungkan pernikahan. Artinya, usia yang tertera diatas dianggap sebagai batasan usia yang telah secara resmi diperbolehkan untuk menikah, yaitu usia minimal perempuan untuk menikah 15 - 18 tahun, dan 16 - 21 tahun untuk laki-laki.
Apabila pendekatan ilmiah dan agama dijadikan sebagai suatu hal yang dapat membantu untuk meminimalisir resiko atau mudharat(keburukan), maka metode yang demikian adalah metode dan solusi yang lebih baik. Perbedaan pendapat adalah wajar dan manusiawi, tidak ada yang salah dalam hal mengutamakan kebaikan untuk orang banyak, tetapi yang lebih buruk adalah jika pendapat tersebut disalahgunakan seperti untuk memaksakan kehendak pada orang lain untuk mengikuti dan mematuhi pendapat yang ia yakini sebagai pendapat yang paling benar dan valid.
Dari uraian diatas, kita bisa mengambil intisari bahwa kesiapan mental dan spiritual adalah dua hal yang paling penting untuk menjalani kehidupan berumah tangga. Selanjutnya, mempersiapkan segala sesuatu yang perlu untuk mendukung pernikahan tersebut agar berjalan dengan penuh berkah, langgeng, dan sejahtera.
Siapapun pasti menginginkan pernikahan yang bahagia sepanjang hidupnya, namun untuk meraih cita-cita tersebut diperlukan kesungguhan hati dan aksi untuk membuktikannya. Miliki teladan yang baik dan inspiratif untuk memotivasi diri menciptakan pernikahan yang penuh dengan ketentraman dan kenyamanan bagi kedua belah pihak. Dengan begitu, hal-hal buruk yang berpotensi terjadi dapat terhalang dan terbentengi dari dalam diri yang sudah terisi oleh berbagai nilai-nilai yang positif.
Membicarakan pernikahan memang tidak mudah, tetapi tidak ada salahnya untuk selalu berusaha menjaga keseimbangan. Kebahagiaan tidak terukur itu diciptakan sendiri, bukan dari luar diri kita. Maka ciptakanlah bahagia itu dengan usaha dan doamu. Jadi untuk para single, apakah anda sudah siap untuk menikah?
Facebook: Una Munir
Twitter   : @Unamunir
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H