Dok. pri || Saat menyampaikan makalah dalam Second International Conference of Human Thoughts and Islamic Studies, diselenggarakan oleh IC-Thusi, Sadra International Institute, Jakarta, 2015.
Salah satu impian saya sudah terpenuhi, yaitu menjadi guru atau pengajar, saya telah menjalankan profesi tersebut bahkan sebelum saya lulus sekolah dasar, saya teringat kembali masa itu dimana saya sangat senang mengumpulkan anak-anak kecil selepas shalat maghrib. Saya mengajarkan kepada mereka tentang pelajaran yang diajarkan di sekolah madrasah, khususnya mengaji dan bahasa Arab dasar. Selebihnya, saya merasa ada panggilan hati yang kemudian menjadikan diri saya sebagai pengajar dadakan. Orangtua saya tahu dan membiarkan saya berkembang seperti itu, mungkin karena diri saya yang terobsesi untuk menjadi seorang guru. Berbekal papan tulis kayu berwarna hitam dan beberapa kapur tulis, kami menjalani waktu petang kami dengan belajar bersama. Para orang tua yang anak-anaknya saya kumpulkan sangat mendukung kegiatan ini, saya bersyukur bahwa mereka memberi saya kepercayaan meskipun usia saya masih sangat kecil untuk mengajar anak-anaknya.
Mungkin karena saya juga suka sekali menulis dan corat-coret di papan tulis, saya merasa memiliki bakat menulis sejak saat itu, dan saya mencari media yang dapat menunjang hobi saya itu, tidak lama saya terpikat pada kertas warna-warni dan bergambar kartun serta buku diary, jadilah keduanya menjadi teman saya yang setiap hari selalu menjadi tempat curahan hati. Melalui coretan-coretan di buku diary tersebut, saya menceritakan kejadian yang saya alami baik yang menyenangkan, menyedihkan, atau menyebalkan.
Disamping itu, saya juga acapkali mengisi mading, yang ketepatan mading tersebut adalah milik remaja masjid yang beranggotakan abang saya dan para sahabatnya, tapi karena mading yang dipasang di halaman depan rumah kami tersebut selalu kosong, saya selalu menghiasnya dengan berbagai kreatifitas, dalam sekejap mading telah berisi dengan gambar-gambar yang telah diwarnai crayon atau pensil warna, kartu ucapan, puisi, cerita bergambar, dan lain sebagainya.
Beranjak remaja kebiasaan menulis belum juga sirna, saya selalu mencurahkan perasaan dalam buku diary, makanya saya selalu suka membeli buku diary dengan berbagai macam jenis, dari yang berukuran kecil, sedang, hingga besar seperti buku untuk belajar di sekolah. Pernah suatu kali saya ditanya oleh seorang kawan,”mengapa suka menulis?” – saya hanya menjawab, “karena saya suka melakukannya.” Hingga suatu masa, saya dikirim Abah saya untuk melanjutkan pendidikan setingkat SMA di sebuah pondok pesantren di Jawa Timur, saya masih menulis disela-sela waktu padat untuk belajar, padahal waktu yang saya punya tidak seperti masa-masa sebelum saya belajar di pesantren. Saya selalu rajin mengisi diary kesayangan saya, karena bagi saya, setiap pengalaman selalu bernilai pelajaran untuk ditulis dan sayang untuk dilewatkan. Biasanya saya menulis menjelang waktu tidur, saat lonceng pesantren berbunyi sepuluh kali.
Saya lakukan itu tahun demi tahun, sampai saya terpilih menjadi guru dan mengabdi di pondok pesantren tersebut. Sahabat karib saya pernah mengatakan bahwa dirinya senang melihat saya gemar menulis, lantaran dirinya belum bisa menulis serajin saya, kami tertawa saat itu, ya.. saya mengagumi sahabat saya itu juga, tentunya karena kelebihan yang dia punya. Kami saling menyanjung, karena kami bersyukur dengan apa yang diberikan Tuhan kepada kami. Mulai dari kangen rumah, olahraga, camping, pramuka, pidato, sampai saat saya memiliki teman baru pun, saya tidak lupa untuk menceritakannya kembali di buku diary yang mungkin tidak sama dari tahun ke tahun karena sudah penuh dengan curahan hati saya.
Terus terang saya merasa iri dengan mereka yang sangat produktif dalam menulis, menuangkan gagasan, pikiran, hingga motivasi. Saya juga selalu memburu aneka buku, demi mendapatkan referensi tulisan-tulisan yang indah, penuh semangat, bersahabat, dan membuat diri saya terpacu untuk terus menulis. Beberapa teman saya di pondok pesantren juga aktif menulis, menulis untuk buletin kampus, dari yang ilmiah sampai fiksi, hati dan pikiran saya dipenuhi dengan tanda tanya, kapan saya bisa produktif juga seperti mereka? Saya pengagum tulisan-tulisan mereka, sambil membaca tulisan mereka saya masih bergumam dalam hati, alangkah nikmatnya jika tulisan kita dapat dibaca orang banyak dan didiskusikan ataupun diperbincangkan.
Jika ditelusuri, ternyata saya senang dengan buku bergaya motivasi, dan saya pun juga tertarik dengan buku-buku bidang humaniora, yang didalamnya terdapat pendidikan, sosial, politik, tasawuf, filsafat, psikologi, sastra, dan seterusnya. Kesulitan yang saya alami adalah, saya tidak bisa ekspresif dalam menulis cerita, hal ini berbeda saat saya menulis tentang pengalaman pribadi yang saya rasa lebih mengalir, dan lebih mudah untuk dituliskan. Saya juga senang menulis puisi, beberapa puisi yang saya tulis hanya saya unggah di akun media sosial saya.
Namun ada kalanya, kepercayaan diri saya luntur seketika saat semangat menulis itu hampir padam, saya merasa seperti tak ada ide lagi untuk menulis, perlu pencerahan, refreshing dan lain-lain. Fakta berbicara lain, untuk menulis itu tidak membutuhkan alasan apapun, menulis ya menulis saja, menulis karena jari jemarimu ingin terus bergerak, pikiranmu ingin mencurahkan ide, membuat setiap huruf menjadi kata, dan setiap kata menjadi kalimat, dari kalimat menjadi satu rangkaian indah dan penuh makna, minimal untuk diri sendiri, dan lebih baik lagi jika bermanfaat untuk orang lain. Saat kepercayaan diri saya berangsur memudar, beberapa hal dapat menjadi faktor untuk mengembalikannya lagi, seperti saya akan mengingat kembali teman-teman saya yang sudah memiliki karya dan prestasi dalam dunia tulis-menulis, tapi lebih jauh, saya kembali percaya diri bukan untuk melahirkan karya ataupun mengukir prestasi, saya hanya ingin membuktikan pada diri saya sendiri bahwa saya mampu menulis sesuatu yang berguna, saya tidak ingin menyia-nyiakan pemberian Tuhan berupa akal dan pikiran untuk digunakan sebaik-baiknya.
Ada beberapa hobi saya yang masih berkaitan dengan dunia tulis-menulis, saya juga memiliki hobi jalan-jalan dan fotografi, dan saya ingin hobi saya tersebut dapat membawa manfaat bagi orang lain. Dalam benak saya, menjadi penulis kreatif memiliki akses tanpa batas, pun menceritakan pengalaman jalan-jalan akan sangat berguna sebagai referensi para pembaca. Memberikan informasi baru dari sudut pandang kita adalah hal yang menyenangkan, tak perlu mengharap balas apapun, karena yang sejati adalah yang memberi tanpa pamrih. Anda tentu akan sangat bahagia bila melihat hasil karya anda banyak dinikmati dan diminati oleh orang-orang yang bahkan belum mengenal anda. Namun, dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kesamaan dan kecondongan jiwa ataupun hati dapat menyatukan manusia.
Selain itu pula, dunia saya sangat dekat dengan kata-kata, menurut hasil test finger print yang saya peroleh, diri saya adalah seorang yang intuiting extrovert, tipe ini menganalisa bahwa saya adalah seorang yang memiliki otak kreatif, saya memiliki kecenderungan dalam “permainan kata.” Saya sangat senang menerjemahkan kata-kata bijak yang berasal dari dua bahasa asing seperti bahasa Arab dan Inggris, bagi saya kesenangan semacam ini dapat memuaskan batin, apalagi jika pesan yang ada didalamnya tersampaikan dengan baik kepada para pembaca.
"Barangsiapa yang memiliki akhlak dan budi pekerti, maka ia akan selalu hidup di hati selamanya"
Sepertinya apabila kita hidup tanpa membaca dan menulis tentu akan terasa kurang lengkap, karena dengan dua hal ini menjadikan dunia kita penuh makna. Meskipun begitu, keuntungan yang lain adalah sebuah tulisan akan bisa sangat efektif bilamana tulisan tersebut dapat mengubah cara pandang si pembaca pada hal yang lebih baik. Tulisan bisa berubah menjadi setajam pedang karena kekuatan di setiap kata. Tulisan dapat menginspirasi sehingga mampu menyebarkan nilai-nilai kebaikan pada sesama, disamping tulisan juga mampu mempengaruhi tingkah laku manusia juga. Tradisi keilmuan di atas bumi yang kita pijak ini, telah mengisyaratkan bahwa tulisan dapat melahirkan kekuatan, seperti seorang panglima yang memiliki ribuan prajurit. Tulisan memiliki daya, baik secara lahir maupun batin. Kita tentu mengetahui bahwa orang-orang hebat pendahulu kita dan orang-orang hebat yang masih hidup sampai sekarang, diantara mereka adalah pemilik kekuatan kata, mereka memiliki karya tulis yang luar biasa, sehingga banyak orang dipengaruhi oleh hasil pemikiran-pemikiran mereka.
Oleh karena itu, sebagai usaha saya untuk menunjang impian menjadi penulis kreatif, saya kembali aktif menulis di media sosial pribadi saya, dan paling khusus adalah kompasiana. Kompasiana mampu menjadikan saya lebih produktif dan merasa dihargai oleh para kompasianer lainnya. Meskipun saya masih amatir, para kompasianer yang membaca tulisan saya pun tidak sungkan untuk memberi saran dan kritik terhadap tulisan-tulisan saya yang masih jauh dari kesempurnaan. Saya merasa kompasiana sebagai tempat yang paling bernilai untuk menampung ide-ide tulisan saya jika dibandingkan sosial media lainnya. Maka dengan kompasiana yang selalu memberi ruang dan gerak yang sedemikian luas agar saya bisa lebih kreatif dan inovatif dalam menulis, sehingga saya merasa semakin percaya diri. Saya masih perlu banyak belajar dari para penulis yang lebih berpengalaman, khususnya mereka yang benar-benar mengabdikan dirinya untuk menulis dan berbagi ide.
Saya ingin impian ini dapat membantu saya untuk melahirkan tulisan-tulisan yang memiliki spirit sehingga dapat menyentuh jiwa pembacanya, berkarakter segar dan juga mendidik. Saya berpendapat bahwa menjadi seorang penulis tidak terbatas ruang dan waktu, karena tulisan-tulisan yang muncul dari pemikiran yang jernih dari seorang penulis akan dikenal dan dikenang sepanjang masa. Menulis sama seperti mengabdi, menulis sebagai tanda rasa syukur kepada Tuhan bahwa tidak ada lagi makhluk yang menulis selain manusia yang memaksimalkan potensi dalam dirinya. Menulis berarti mengaktualisasikan pengetahuan dari dalam benaknya ke dunia di luar dirinya, kemudian lingkungannya. Menulis berarti membuktikan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna bentuknya, kemudian manusia dapat memperhitungkan dirinya agar benar-benar terlihat memiliki nilai dan kualitas yang layak. Menulis juga dapat menjadi sarana untuk mengenal diri kita sendiri. Oleh karena itu, terkadang dari satu waktu, ide tulisan kita dapat berubah dengan cepat. Menulis juga dapat memancing kita untuk menggali potensi-potensi yang lain.
Sejatinya menjadi penulis itu akan jauh dari nilai-nilai matrialistis, karena bukan itu tujuan seorang penulis yang idealis, ia hanya menuliskan apa yang terbersit dalam benaknya, ia hanya menuliskan apa yang dibisikkan Tuhan kepadanya. Saya pernah mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan, sekitar lima - enam tahun yang lalu, saya memiliki sebuah naskah buku yang saya tulis dalam bahasa Inggris, buku tersebut saya peruntukkan untuk anak-anak yang memasuki usia sekolah formal, namun disayangkan ide tersebut diikuti oleh teman saya, sehingga ia lebih dulu menerbitkan buku dengan konsep yang sama dengan ide saya. Waktu berlalu, saya mendapat pelajaran yang berharga dari pengalaman tersebut. Jangan takut melangkah dan mengambil resiko, jika ingin meraih kesuksesan dan tau batas diri.
Sebuah tulisan ditulis bukanlah murni dari hasil pikiran manusia, setiap ide dalam tulisan merupakan bentuk kerahiman Tuhan kepada umat manusia, karena manusia memiliki akal yang menjadi pembeda dengan ciptaan Tuhan yang lainnya, khususnya kaum penulis yang selalu mengasah daya pikir dan olah rasa untuk menulis sesuatu yang benar-benar berharga. Saya mungkin tidak memiliki impian secantik dan seindah yang lain, saya hanya ingin mewujudkan impian menjadi penulis ini agar tidak tergerus oleh zaman. Sehingga anak-cucu saya bisa mewarisi bakat ini, dan berupaya untuk melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan sekarang.
Menjadi penulis bukan ingin terlihat keren dan populer, karena menjadi penulis adalah sebuah pengabdian yang mulia. Jika kita menyadari bahwa ada hubungan yang erat antara Tuhan, manusia dan alam, maka salah satu manusia itu adalah penulis. Penulis sejati memiliki integritas dan loyalitas terhadap Tuhan dan makhluk-Nya, ia bertanggungjawab untuk menyampaikan suatu kebenaran dan mendatangkan kebaikan. Menyadari bahwa dirinya menulis bukan untuk siapapun atau apapun, tapi ia menulis sebagai wujud dari pengabdiannya kepada Tuhan yang telah memberi nikmat dalam kehidupan.
Harapan saya kepada diri saya sendiri adalah saya ingin menyebarkan semangat menulis pada teman-teman saya, keluarga, dan murid-murid saya, dan harapan kepada para pembaca yaitu, mereka dapat memahami dan mengambil pengalaman dari setiap pesan yang saya tuliskan, dan menyebarkannya kembali sebagai manfaat bagi sesama, dan menjadi bukti bahwa kita saling terhubung satu sama lain. Saya juga ingin suatu hari nanti tulisan-tulisan saya yang berserakan dapat berkumpul menjadi buku yang penuh manfaat dan dapat dinikmati orang banyak. Jadi tak salah jika saya ingin menjadi penulis kreatif sebagai impian tanpa batas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H