Sehari setelah sadar, Umi tidak mengenali kami walau tetap menerima suapan yang kami berikan. Ada tangan tak kasat mata yang membuat hati perih. Detik itu, aku berjanji tidak akan meninggalkannya.Â
Bagaimana mungkin aku tega, mengingat apa yang telah dilakukannya bagi kami anak anaknya sejak kecil hingga sekarang.
Waktu berlalu, berbagai pengobatan sudah dicoba, dari dokter ke herbal ataupun alternatif. Apa pun yang disarankan orang kami datang. Akan tetapi Umi tidak kunjung sembuh, masih belum bisa berjalan dan berbicara yang jelas. Memang, kesembuhan setiap orang berbeda, mutlak dari sang maha Kuasa.
Mari beralih dari cerita tentang Ibuku.
Jiwa yang Memberontak
Setahun setelah tidak kemana-mana dan menutup segala akses ke luar, aku mulai merasa tidak betah. Tapi meninggalkan Umi untuk kembali ke Jakarta tidak tega.
Kehidupanku sejak kuliah sudah ada di gemerlap ibukota, tinggal kembali di kampung halaman dengan rutinitas rumah-rumah sakit - tempat terapi nyatanya sangat menjemukan.
Apalagi para tetangga mulai nyinyir dengan mengatakan "Sekarang Nggak kerja?" "Una ngapain di Medan?" yang kalau aku sedang dalam mood sabar, maka kujelaskan kalau menjaga orangtua sakit lebih mulia dibanding aku bekerja dengan membiarkan Umi ku dirawat oleh orang lain.Â
Akhir 2017 aku minta izin untuk pergi ke Ibukota barang beberapa hari, menemui mentorku, seorang writerpreuner pendiri sebuah komunitas menulis bernama women script community berbasis online di sosial media facebook.
Olehnya, aku diajak untuk mengikuti kelas menulis artikel dan kisah inspiratif yang akan diterbitkan dalam bentuk antologi.
Ketika pulang kembali ke Medan, aku merasa jiwa ku telah kembali.Â