Salah Kaprah Gender VS Jenis Kelamin
Perbincangan mengenai kesetaraan gender di Indonesia tidak ada habisnya. Meskipun sudah banyak dibicarakan, pemahaman mengenai gender dan jenis kelamin masih saja disalahpahami. Gender dan jenis kelamin merupakan dua hal yang berbeda, dimana jenis kelamin mengacu pada kondisi fisik secara lahiriah dalam diri seseorang. Sedangkan, gender mengacu pada peran, atribut, sifat, sikap, perilaku yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Maka, yang disebut dengan kesetaraan gender adalah menyetarakan, menyeimbangkan atau mengaburkan pembeda terhadap perempuan dan laki-laki dalam hal peran, atribut, sifat, sikap dan perilakunya.
Dalam konsep kesetaraan gender, antara perempuan dan laki-laki memiliki peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang sama kecuali dalam hal-hal yang bersifat kodrati seperti melahirkan dan menyusui yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan sebab mereka memiliki kondisi fisik yang memadai berupa rahim dan payudara, sedangkan laki-laki tidak memiliki dua kondisi tersebut.
Kesalahpahaman ini kemungkinan terjadi atas dua hal; yaitu Pertama, sebagian masyarakat Indonesia dibesarkan dengan gagasan sederhana mengenai gender dan jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Gagasan ini tidak dipaparkan secara kompleks menyangkut peran, perilaku, ekspresi dan identitas seseorang. Kedua, kentalnya budaya patriarki di Indonesia.
Patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepeminpinan, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Kentalnya budaya patriarki di Indonesia dikarenakan sistem ini sudah ada sejak masa berburu dan meramu yang kemudian dilanggengkan oleh aturan adat dan agama. Sedangkan, di Indonesia sendiri memandang aturan adat dan agama sebagai way of life. Adanya sistem sosial ini maka gagasan kompleks mengenai gender dan jenis kelamin tidak dipaparkan secara terbuka, sehingga wajar banyak terjadi kesalahpahaman.
Perempuan dan Dilemanya
Kentalnya budaya patriarki di Indonesia membentuk peran perempuan hanya berada di sektor domestik, sedangkan laki-laki berada di sektor publik. Situasi ini membuat perempuan dilabeli dengan "sumur, dapur, kasur". Label ini semakin melekat dengan adanya konstruksi sosial dimana perempuan dengan usia lebih dari 25 tahun dan belum menikah dianggap "perawan tua" atau bahkan perempuan dengan usia lebih dari 30 tahun yang belum memiliki anak dicap "mandul". Situasi ini memaksa perempuan setelah menjadi sarjana atau bahkan baru lulus SMA harus menikah dan memiliki anak. Paksaan untuk menikah bagi perempuan remaja atau dewasa awal juga disisipi oleh faktor ekonomi, bagi keluarga miskin menikahkan anak perempuannya sedini mungkin dijadikan sebagai jalan untuk melepaskan tanggung jawab orang tua untuk menafkahi anaknya.
Kebanyakan kesempatan bagi perempuan yang sudah menikah untuk mengembangkan diri dan melebarkan peran di sektor publik jauh lebih sulit. Entah sebab hukum perkawinan di Indonesia yang menganggap pria sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah atau hanya karena si suami tidak berkenan untuk berbagi peran. Situasi ini, membuat perempuan hanya berperan sebagai ibu rumah tangga dan mengubur mimpinya untuk mengambil peran di sektor pendidikan, karir maupun sospol.
Sebuah harapan besar jika kesetaraan gender ini diterima dan didukung oleh seluruh masyarakat, mengingat bahwa perempuan entah nantinya ia akan menjadi ibu rumah tangga ataupun bekerja memiliki hak untuk berpendidikan tinggi serta hak untuk mengembangkan potensi diri juga mengambil peran dalam membangun generasi manusia yang berkualitas. Jika perempuan tidak diberi ruang untuk berkontribusi dalam sektor publik, sejatinya tujuan dan mimpi besar untuk mewujudkan dunia yang lebih baik akan sulit dicapai. Sebab, ada karakter dan ciri khas dari perempuan yang butuhkan dalam berbagai sektor seperti halnya laki-laki.
Indonesia Masa Kini dan Kesetaraan Gender
Keseriusan pemerintah Indonesia mengenai kesetaraan gender adalah dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women). Melalui undang-undang ini, pelan tapi pasti Indonesia mulai mempersempit kesenjangan antara perempuan dan laki-laki. Terlebih kehadiran perempuan di ranah publik bukan hanya penting dari sisi moralitas, keadilan, tetapi juga sangat penting dan relevan dari sisi ekonomi. Menurut beberapa ekonom, peran perempuan dalam sektor publik berpotensi memperkuat perekonomian sebuah negara.
Selain pengesahan undang-undang, adanya globalisasi dan modernisasi semakin membuka kesempatan diterimanya gagasan kesetaran gender. Semakin banyak perempuan yang berpendidikan tinggi dan memilih aktif untuk menyuarakan kesetaraan gender membuat semakin terbuka gagasan ini dikenal oleh masyarakat sekalipun orang awam. Bukan hanya itu, globalisasi juga membuka adanya peluang besar bagi perempuan untuk berkarir layaknya seorang laki-laki, bahkan di posisi jabatan teknisi yang identik bersifat maskulin.
Banyaknya perempuan dan juga laki-laki masa kini yang melek dengan gagasan kesetaraan gender membangun asumsi paling tidak 10-15 tahun lagi kemungkinan besar perempuan dan laki-laki berada di posisi sama yang minim dengan tindakan diskriminasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H