Sulitnya Bersikap Toleran
Kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) sejak tahun 2017 menjadi persoalan besar bangsa Indonesia. Bahkan dikala pandemi saat ini, kasus KBB masih saja terus terjadi seperti pada bulan April 2020 terjadi peristiwa penggerebekan di rumah seorang penatua di Cikarang, Jawa Barat oleh dua orang pria salah satunya bernama Imam Mulyana. Meskipun kemudian kasus tersebut berakhir dengan damai. Lima bulan kemudian, tepatnya bulan September 2020 sekelompok warga Prima Jonggol menolak ibadah jemaat Gereja Pantekosta di Bogor. Hari berikutnya pada 21 September 2020 di tempat yang berbeda umat Kristen desa Ngastemi, Mojokerto dilarang beribadah oleh sekelompok orang.
Disebutkan oleh direktur Riset SETARA institute, Halili Hasan aksi KBB dan intoleransi di Indonesia sejak pemerintahan Jokowi semakin menjamur disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan jajarannya. Pada periode pertama, ditemukan 846 kasus KBB sedangkan di periode kedua ada 200 kasus. Meskipun, oleh komnas HAM pemerintah berperan besar dalam mengurangi kasus KBB dan intoleransi di Indonesia. Namun, gerakan masyarakat sipil tidak kalah penting seperti meningkatkan literasi keagamaan, membuka ruang jumpa lintas iman, menghadirkan narasi keagaman yang moderat, membangun ketahanan sosial lintas identitas. Â
Gerakan masyarakat sipil ini bukan suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Terlebih sikap intoleransi jika dilihat dari sudut pandang psikologis terbangun akibat adanya hasrat untuk menguasai dan mengendalikan orang lain. Pada dasarnya setiap manusia memiliki hasrat itu, namun jika hasrat ini tidak terkontrol maka akan ada banyak persoalan antar personal yang terjadi, seperti halnya dalam kasus KBB. Ketidakmampuan seseorang dalam mengontrol hasrat ini membuatnya memaksakan kehendak, pandangan atau pendapat kepada orang lain. Bahkan, ia cenderung mudah tersulut emosi dan menghalalkan segala cara agar kehendaknya terpenuhi. Sehingga wajar, jika terjadi banyak kekerasan verbal maupun non verbal dalam kasus KBB dan intoleransi.
Dari sudut pandang psikologis ini, maka menjadi penting bagi seseorang untuk memiliki pengetahuan tentang diri atau populer disebut dengan istilah Self Knowledge agar mampu mengontrol hasrat ingin menguasai dan mengendalikan orang lain sehingga gerakan masyarakat sipil dalam mengikis intoleransi dapat terwujud.
Bagaimana Self-knowledge dapat Mengikis Intoleransi?
Self-Knowledge aau pengetahuan diri memberikan seseorang kemampuan untuk menjelaskan dan memperkirakan perilaku juga perasaannya sehingga respon yang ditunjukkan dalam menanggapi suatu situasi atau persoalan akan lebih tepat. Self-Knowledge menjadi sangat penting mengingat banyak orang seringkali tidak mengetahui secara sadar dan pasti dalam melakukan atau merespon suatu situasi. Seperti contoh; semua masyarakat secara sadar menyepakati bahwa intoleransi adalah tindakan buruk bahkan dinilai mengancam keragaman masyarakat Indonesia. Namun, entah mengapa masih banyak oknum yang bertindak intoleran dengan mengatas namakan keyakinan atau pandangan yang dipegangnya.
Tidak banyak orang, bahkan orang dewasa sekalipun memiliki self-knowledge yang bagus. Entah sebab tidak ada waktu untuk berkenalan dengan diri sendiri atau hanya karena terlalu sibuk mengurusi urusan orang lain sampai lupa mengurusi dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti;
"siapa saya?"
"peran apa yang saya ambil di dunia?"
"apa yang membuat saya bahagia/sedih/kecewa/marah?"
"dunia seperti apa yang ingin saya ciptakan?"
memang kadangkala luput dari perhatian, dianggap remeh atau dihindari sebab terlalu sulit untuk mendapatkan jawaban. Padahal, pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan membawa seseorang di dunia penuh kesadaran. Segala perilaku, perasaan dan responnya mampu diperkirakan secara sadar.
Selain itu, dengan memiliki self-knowledge yang baik maka akan mempermudah seseorang untuk memahami kebutuhan orang lain. Sebab, meskipun manusia membawa keunikannya masing-masing, namun kebutuhan dasar tiap manusia relatif sama. Seperti lima kebutuhan dasar manusia menurut Abraham Maslow yaitu kebutuhan fisiologis (sandang, papan, pangan), kebutuhan keamanan (keamanan, keteraturan dan stabilitas), kebutuhan sosial (afeksi, relasi dan keluarga), kebutuhan pengharagaan (pencapaian status, tanggung jawab dan reputasi), kebutuhan aktualisasi diri (pengembangan diri dan pemenuhan ideologi). Sehingga, memiliki  self-knowledge sedikit banyak akan melatih mengontrol ego diri, sehingga apapun yang dilakukan secara otomatis diperhitungkan untuk mencapai kebutuhan diri dan orang lain, bukan hanya fokus pada kebutuhan diri saja.
Lebih dari pada itu, memiliki self-knowledge yang baik menyadarkan seseorang akan banyak hal tentang diri yang harus digali dan diperbaiki, sehingga memberikan ruang baginya untuk terus ingin belajar. Hasrat untuk terus belajar mempersempit peluang seseorang mengalami arogansi intelektual yang menganggap hanya dirinya yang paling benar dan sempurna. Adanya arogansi intelektual ini membuat seseorang mudah untuk menyalahkan dan menganggap rendah keyakinan, pandangan dan pendapat orang lain.
Kiat Mencapai Self-Knowledge yang Baik
Sejatinya, proses penggalian pengetahuan diri akan berlangsung seumur hidup. Namun, ada beberapa kiat yang dapat diterapkan untuk mempermudah dalam mencapai self-knowledge yang baik, diantaranya;
1. Rutin Melakukan Refleksi Diri
Refleksi diri adalah proses perenungan dan analisis terhadap perilaku, perasaan, pikiran dan keputuan yang sedang dan telah dijalani. Dengan rutin melakukan refleksi akan membuat seseorang belajar lebih kenal dan paham dengan diri sendiri. Alhasil, mempermudah seseorang untuk mengetahui hal-hal yang semestinya dilakukan dan diperbaiki di kemudian hari. Pada dasarnya, tiap orang memliki cara masing-masing untuk melakukan refleksi. Sebab, untuk mendapatkan hasil yang maksimal proses refleksi sebaiknya dilakukan dalam keadaan tenang dan fokus. Malam hari sebelum tidur dapat menjadi waktu yang tepat untuk melakukan refleksi sembari menutup kegiatan melelahkan selama satu hari. Beberapa ahli kesehatan mental menyarankan untuk menulis saat sedang melakukan refleksi ketimbang hanya dipikirkan secara abstrak. Sebab, tulisan memungkinkan untuk melihat secara konkrit pikiran dan emosi yang muncul saat sedang melakukan refleksi.
2. Mempraktikan Self-Love
Self-love menjadi topik yang sering dibicarakan beberapa tahun terakhir. Self-love bermakna menerima dan memperlakukan diri sendiri dengan rasa hormat bukan hanya tentang fisik namun juga pikiran dan perasaan terhadap diri sendiri. Self-love bukan berarti harus bertindak positif setiap waktu kepada diri sendiri, tetapi tetap akan mencintai diri saat sedang berada dalam situasi, keputusan atau emosi yang buruk. Mempraktikkan self-love sangat penting, sebab sejatinya seseorang tidak akan mampu menjaga dan mencintai orang lain jika ia tidak mampu menjaga dan mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu. Saat seseorang mencintai diri sendiri, ia cenderung mudah untuk mengasihi orang lain lebih dalam. Praktik self-love dapat dilakukan dengan memberikan waktu kepada diri sendiri melakukan aktivitas yang disenangi seperti membaca buku, berolah raga atau sekedar menghabiskan waktu untuk tidur berkualitas.
3. Melakukan Aktivitas Sosial
Aktivitas sosial disini dapat berupa kerja sukarela di lembaga masyarakat, organisasi gerakan sosial atau sekedar meringankan kesulitan yang dialami oleh tetangga sebelah rumah. Aktivitas sosial memberikan kesempatan seseorang untuk berinteraksi dengan banyak orang, mengenali dan menemani seseorang di masa sulitnya. Terbiasa melakukan aktivitas sosial membantu seseorang untuk melatih rasa simpati dan empati kepada orang lain. Dengan memiliki rasa simpati dan empati mempersempit peluang seseorang untuk bertindak semaunya sendiri tanpa mempertimbangkan kenyamanan, kebutuhan dan hak orang lain.
Jadi, sudahkah kamu mengenali dirimu sendiri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H