"Secara keseluruhan, saya merasa aman dan diterima di sini," ungkapnya.
Dalam lanjutan wawancaranya, Qadri menjelaskan tantangan yang dihadapinya sebagai Muslim minoritas di samping untuk menunaikan salat.
"Kehidupan sebagai Muslim di sini kadang-kadang terasa sulit, terutama dalam hal makanan halal," ungkapnya.
Dia berusaha untuk memasak sendiri agar dapat menghemat pengeluaran.
"Makanan di luar cukup mahal, jadi saya berusaha masak di asrama sebelum berangkat kuliah," tuturnya.
Qadri menambahkan bahwa meskipun ada beberapa masjid di sana, ia tetap merasa terkejut karena bisa menemukan sekitar tiga hingga empat masjid yang berbeda untuk beribadah.
"Alhamdulillah, komunitas Muslim di sini cukup solid. Mereka lebih fasih berbahasa Arab dibandingkan bahasa Inggris, sehingga kadang kami menggunakan bahasa Arab saat berbicara," ujarnya.
Mahasiswa itu juga menyoroti tingginya biaya hidup, terutama untuk kebutuhan yang tidak biasa bagi penduduk negara tropis seperti Indonesia.
"Kami juga harus menyiapkan diri dan biaya untuk membeli pakaian musim dingin, memang cukup mahal karena menghadapai lingkungan dan cuaca baru. Tentunya, musim dingin nanti akan membuat hidup di sini jadi lebih menantang." tambahnya.
Pengalaman Qadri di Rusia menunjukkan bahwa meskipun ada tantangan dalam beribadah sebagai minoritas, sikap toleransi dan saling menghormati antara pemeluk agama yang berbeda tetap terjaga, menciptakan suasana yang kondusif untuk belajar dan berdialog antarbudaya. (Fika/Humas)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H