Pada misi kenabian, tambahnya, membawa dua pelajaran paling penting dan menginsipasi dunia, ajaran nabi dan rasul yang pertama yaitu menjawab apa dan siap yang disembah. Ke dua, Allah tidak ada diantara kita yang bertemu atau beraudiensi dengan tuhan, yang pasti semua agama meyakini, diantara umat manusia ini ada yang punya kesucian diri. Diantara kualifikasi mereka yang disebut ulul azmi. Untuk melakukan trasformasi besar.
"Dalam Al-Qur'an, betul-betul melakukan satu apa yang disebutkan tauhid itu sendiri. Memurnikan konsep tauhid itu sendiri. Bagi Muhammadiyah narasi ini, sering dilantunkan dalam mars Muhamamdiyah. Dengan konsekuensi, harus bersedia menghadapi narasi dan wacana dan ajakan kehidupan yang bertentangan," tambah Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.
Ia menyampaikan dalam kehidupan, tanpa batas kadang-kadang dengan berbagai tampilan yang ada di sosial media. Apakah budaya semacam itu patut kita tiru atau tidak. Kecenderungan yang terjadi adalah masyarakat terkalahkan secara kebudayaan luar yang tidak sesuai dengan agama Islam. Dengan demikian terjadilah satu istilah, penjajahan kebudayaan.
"Ketika Islam datang pada masa jahiliyah, di mana tradisi jahiliyah sendiri berarti kebodohan. Maka tradisi yang dibangun oleh Islam adalah tradisi yang ilmiah, tradisi yang berbasis pada keilmuan," ujarnya.
Kata kuncinya adalah Ramadhan yang kita alami, kita mampu mengalami transformasi. Di mana selama bulan Ramadhan, kita dilatih secara karakter maupun moral.
Terakhir, apa yang disebut 'ibadah' kita harus meninggalkan jejak perubahan, transformasi diri moral maupun akhlaq. Kalau kita ingin menjadi pribadi yang unggul harus mencontoh baginda Rasul. Mari kita trasnformasikan nilai profetik dalam kehidupan kita. (Fika/Humas)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H