Abu Nawas tertawa sendiri sambil bergumam, "Beginilah akibatnya kalau ketakutan sudah menenggelamkan kejujuran. Kebohongan pun akan merajalela".
"Dari kisah tersebut dapat diambil beberapa pesan. Ketika keberanian lenyap dan ketakutan telah menenggelamkan kejujuran, maka kebohongan akan melenggang kangkung sebagai sesuatu yang "benar". Lalu, ketakutan untuk berbicara jujur, juga karena faktor gengsi. Gengsi dianggap belum beriman atau dengan alibi/alasan lainnya. Padahal, label gengsi itu hanyalah rekayasa opini publik yang dipenuhi dengan kebohongan," tuturnya.
Menurutnya, kepercayaan diri sebagai pribadi yang mandiri untuk berkomitmen pada kebenaran berdasarkan prinsip kejujuran telah dirontokkan oleh kekhawatiran label status yang sesungguhnya sangat subyektif dan semu. Kecerdikan konspirasi (kebohongan) opini publik Abu Nawas, telah menumbangkan kebenaran dan kejujuran. Akhirnya, kecerdasan tanpa kejujuran dan keberanian, takluk di bawah kecerdikan yang dijalankan dengan penuh keberanian dan kepercayaan diri meski pun itu adalah kebohongan yang besar dan nyata.
"Kasus legitimasi kebohongan versi Abu Nawas ini, mungkin telah terjadi disekitar kita. Tentu dengan aneka versinya. Bagaimana dengan kondisi kita saat ini dan kemarin, hari ini dan esok...? Mari jujur dan berani!," tegas Dr Hidayatulloh di hadapan jamaah.
Baca juga: 5 Prinsip Pendidik oleh Wakil Ketua PWM Jatim
Cara menjaga kejujuran dan dusta yang dibolehkan
Kejujuran bisa dijaga dengan menerapkan beberapa hal, seperti:
1. Niat dalam hati untuk jujur dan menjaganya
2. Pahami konsekuensi jika tidak jujur
3. Saling mengingatkan akan kejujuran
4. Menjalankan amanah dengan sepenuh hati
5. Membangun sistem untuk tegaknya kejujuran
6. Biasakan bersama-sama dengan orang yang jujur
Namun diriwayatkan dari beberapa hadis bahwa terdapat dusta yang diperbolehkan.
Seperti pada hadis riwayat Abu Dawud yang menatakan, "Saya tidak menganggap berdusta seorang yang mendamaikan di antara manusia, dia mengatakan perkataan yang dia tidaklah menginginkan kecuali perdamaian, seorang yang berkata di dalam peperangan dan seorang lelaki yang berbicara kepada istrinya (tentang istrinya) dan seorang wanita yang berbicara kepada suaminya (tentang suaminya)".
Baca juga:Â Atasi Stress Mahasiswa Dengan Tadabbur Surat Al-Insyirah
"Ada pula dari hadis riwayat Ahmad yang berkata bahwa Rasulullah memberikan keringanan untuk berdusta di tiga tempat, yaitu ketika berperang, ketika mendamaikan di antara manusia dan perkataan seorang lelaki kepada istrinya," pungkas Dr Hidayatulloh menutup kajiannya.