Mohon tunggu...
Umsida Menyapa
Umsida Menyapa Mohon Tunggu... Jurnalis - Humas
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Humas Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tasawuf Muhammadiyah: Sufi Berkemajuan

5 Januari 2024   08:53 Diperbarui: 5 Januari 2024   08:58 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara itu, sunnah Rasulullah menyebutkan bahwa di dalam Islam ada tiga komponen penting yang satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Iman yang merupakan aqidah adalah keyakinan akan Allah, rasul-Nya dan lain-lain sebagaimana terinci dalam rukun iman, menjadi pegangan hidup dan tempat bertumpu, hingga seseorang merasa sanggup dan tangguh menghadapi segenap problem dan guncangan kehidupan. Dengan iman seseorang jadi merasa yakin bahwa hidupnya memang berarti dan tidak sia-sia serta memang layak untuk ia jalani dengan seksama dan sebaik-baiknya. Dari komponen Iman yang merupakan aqidah inilah muncul ilmu yang disebut ilmu tauhid atau ilmu kalam.

Dengan iman saja yang merupakan aqidah, keyakinan dan pegangan hidup yang kuat ternyata belum cukup untuk menghadapi berbagai masalah kehidupan. Manusia harus terus menerus menghadapi segenap problema dari realitas sehari-hari yang serba kompleks. Untuk itu diperlukan kecakapan, ilmu dan aturan-aturan dalam mengatasi dan menyelenggarakan hubungan-hubungan kehidupan, baik hubungan antar manusia, maupun hubungan dengan sang Pencipta dan alam semesta. Ilmu dan aturan ini yang merupakan syariah tidak lain adalah Islam, yang terinci dalam rukunnya yang lima itu. Dari sinilah nantinya muncul apa yang disebut ilmu fiqh.

Namun manusia ternyata tidak cukup hanya punya keyakinan yang kuat dan tangguh yang merupakan aqidah, sebagaimana juga tidak cukup hanya punya kecakapan, ilmu dan aturan yang ampuh dalam bergulat menghadapi realitas yang merupakan syariah. Itu saja akhirnya akan hanya membuat seorang manusia menjadi semacam mesin. Pada waktu yang sama seseorang juga memerlukan kesanggupan untuk bisa melihat hidup ini lebih dalam. Kesanggupan itu diperoleh dari komponen yang disebut ihsan yang merupakan budi pekerti yang tinggi atau akhlak. Dari sinilah nantinya lahir apa yang kita sebut sebagai ilmu tasawuf.

Jadi, tasawuf (dari akar kata shouf, yang berarti bulu domba atau wool) tidak lain adalah realisasi dari komponen ihsan yang merupakan akhlaq atau budi pekerti yang tinggi. Kalau iman dikatakan oleh Rasulullah SAW sebagai keyakinan kepada Allah SWT, dll, dan Islam sebagai penyaksian dan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya, maka ihsan adalah pengabdian kepada Allah seoalah-olah kita melihatNya, dan apabila kita tidak bisa melihatNya, ketahuilah bahwa Ia selalu melihat kita. 

Dari sini bisa kita ambil dua hal: pertama, menyiratkan bahwa dalam ihsan kita beribdah dan mengabdi kepada Allah SWT dengan penuh cinta kasih atau hubb, hingga kita seolah-olah bisa melihatNya. Kedua, menyiratkan bahwa Allah SWT selalu melihat dan mengetahui segala sesuatu yang kita perbuat, hingga kita selalu berada dalam muraqabah atau pemantauan Allah. Kedua-duanya yaitu hubb dan muraqabah merupakan dasar-dasar ilmu tasawuf. Dengan demikian, tasawuf merupakan akhlaq kita dalam berhadapan dengan Khaliq atau sang Pencipta, yang ini sekaligus tarpantul dalam akhlaq kita dengan makhluq-makhluqNya.

Pentingnya akhlaq ini akan nampak dalam ta'rif atau definisi yang diberikan oleh para sufi tentang tasawuf itu sendiri. Bahkan Definisi itu selalu berada di seputar akhlak, baik langsung maupun tidak. Definisi ini tersebar luas di lingkungan kaum sufi sendiri, peneliti, dan sejarawan tasawuf.  Salah satu contoh misalnya Syeikh Abu Bakar Al-Kattani (w 322 H) berargumen bahwa tasawuf adalah akhlak maka barang siapa yang bertambah baik akhlaknya, tentulah akan bertambah mantap tasawufnya (semakin bersih hatinya). Dalam risalah Al-Qusyairiyah, dikatakan bahwa ketika Abu Muhammad Al-Jariri (w 311 H) ditanya tentang tasawuf ia menjawab: "Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela"

Di dalam al Quran Allah menggambarkan pribadi Rasulullah saw sebagai "mempunyai akhlaq yang mulia," dan bukan dengan gambaran-gambaran yang lain. Sementara dalam sebuah hadits dinyatakan, bahwa "akhlaknya adalah al-Quran itu sendiri." Dan Rasulullah saw bersabda, bahwa "saya diutus untuk menyempurnakan akhlaq." Mengapa semuanya berujung dan berakhir pada akhlaq? Karena di dalam Islam, akhlak yang tinggi dan mulai tidak bisa dicapai kecuali oleh orang yang mempunyai aqidah yang kuat dan mengetahui serta menjalankan syariah dengan seksama. Tampak jelas bahwa akhlak menempati kedudukan puncak dalam islam. Dan Ilmu yang berurusan dengan itu adalah tasawuf. 

Tasawuf Berkemajuan: Pembentukan Pribadi yang Muhsinin

Kembali kepada Ihsan yang mempunyai dua aspek penting: pengabdian yang didasarkan atas cinta kepada Allah, dan perilaku yang senantiasa berhati-hati dalam hidup karena semua berada dalam pemantauan Allah. Kata Ihsan itu sendiri dalam bahsa Arab berasal dari kata kerja ahsana, yang berarti memperbagus atau memperindah suatu perbuatan. 

Sebagai ilustrasi berlaku ihsan ini adalah sebagai berikut. Sebuah kursi berfungsi untuk bisa diduduki dengan enak dan nyaman. Kalau sebuah kursi dibuat tidak hanya untuk keperluan tersebut, namun juga ditambah misalnya dengan hiasan warna dan ukiran-ukiran yang sangat bagus dan menawan, maka sang tukang telah melakukan perbuatan ihsan dalam hal ini. 

Dalam hal ini diketahui bahwa hiasan warna dan ukiran-ukiran itu tidak punya kegunaan langsung atas fungsi kursi, namun diperlukan untuk memenuhi rasa keindahan yang juga merupakan kebutuhan manusia. "Bisa diduduki dengan enak dan nyaman" adalah batas minimal bagi sebuah kursi, dan hiasan warna dan ukiran-ukiran itu merupakan nilai tambah yang melampaui batas minimal tadi. Nilai tambah itu dilakukan tidak lain karena ada rasa cinta akan keindahan. Dan sumber keindahan itu tak lain adalah Yang Maha Indah, yaitu Allah SWT.

Contoh lain: Shalat yang diwajibkan dalam Syariah kepada kita adalah lima kali sehari semalam. Ini batas minimal shalat yang harus dipenuhi. Namun, seseorang yang karena cintanya kepada Allah dan rasulNya serta cintanya kepada agamanya tidak hanya shalat yang lima kali itu, melainkan juga shalat-shalat yang lain yang bersifat sunnah, seperti shalat rawatib, salat dhuha, juga shalat tahajud di sepertiga akhir malam. Ia telah melakukan perbuatan ihsan dalam hal ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun