Prof Stella Christie, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Indonesia beberapa waktu lalu menjelaskan tentang dampak penggunaan Artificial Intelligence (AI) kepada para pelajar.
Lihat juga: Teknologi Jadi Nafas Gen Z, Tonggak Penentu Indonesia Maju
Memang, pelajar zaman sekarang sudah tak asing dengan teknologi AI. Bahkan hampir semua kegiatan pembelajaran bisa mereka akses atau mereka kerjakan menggunakan kecerdasan buatan.Â
Namun, Prof Stella ketika berkunjung ke SMA Unggul Del, kabupaten Toba, mengatakan bahwa penggunaan kecerdasan buatan jika tidak dibarengi dengan rasa bijak dan etika, maka bisa berdampak buruk bagi belajar.
Memangnya, se-dampak itukah penggunaan kecerdasan buatan bagi pelajar khususnya mahasiswa dalam aktivitas perkuliahannya?  Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Nur Maghfirah Aesthetika MMedKom, turut menanggapi masifnya penggunaan kecerdasan buatan di kalangan  mahasiswa.
AI Jadi Kunci Informasi Bagi Gen Z
"AI itu memang berdampak besar jika yang mengoperasikan adalah Gen Z. Mereka sangat brutal dalam mengoperasikannya. Hampir di semua aktivitas mereka mengandalkan kecerdasan buatan untuk kunci utama mengakses informasi," ujar Fira, sapaan akrabnya.
Dan bahayanya saat ini, kata Fira, mereka sudah menormalisasikan hal itu. Menurut generasi muda, menggunakan kecerdasan buatan tidak ada salahnya. Padahal mereka tidak tahu bahwa di dalamnya ada banyak hal yang menyebabkan dampak negatif.
Misalnya ChatGPT yang mencantumkan keterangan bahwa tak semua informasi yang diberikan itu benar, tapi tetap saja, itu dijadikan sumber utama bagi mereka. Banyak Gen Z yang berdalih bahwa adanya kecerdasan buatan memang ditujukan untuk membantu meringankan pekerjaan.
Karena mereka tumbuh beriringan dengan perkembangan teknologi, jadi mereka tidak merasa keberadaan AI adalah hal yang sah-sah saja. Mereka tidak paham jika penyalahgunaan AI bisa mengumpulkan otak.
Tetap Tak Bisa Beri Informasi yang Rinci
Bagi generasi seperti dosen, imbuhnya, penggunaan kecerdasan buatan hanya digunakan untuk pemantik saja karena informasi yang digali masih terbatas. Untuk selebihnya tetap harus mencari referensi secara mandiri, entah dari buku ataupun jurnal terdahulu.
"Misalnya ketika saya mengerjakan disertasi, AI tak cukup membantu dalam menggali informasi. Mereka hanya bisa memberikan informasi dasar seperti menyimpulkan, bukan hingga ke akar permasalahan," ujar kaprodi Ilmu Komunikasi itu.