Mohon tunggu...
UmsidaMenyapa1912
UmsidaMenyapa1912 Mohon Tunggu... Freelancer - Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Kami Instansi yang bergerak di bidang pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dari Kasus Anak Bunuh Ayah dan Nenek, Pakar Psikologi Umsida Beri Komentar

8 Desember 2024   20:47 Diperbarui: 9 Desember 2024   09:52 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok TVOnenews dan Tempo

Kasus anak bunuh ayah dan nenek yang terjadi di Perumahan taman Bona Indah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini.

Lihat juga: Banyak Anak Muda yang Memilih Childfree, Pakar Psikologi Umsida Beri Penjelasan

Remaja berusia 14 tahun itu dengan keji membunuh ayah dan neneknya dengan cara menusuk di beberapa bagian tubuh. Baik ayah maupun nenek tersangka ditemukan tewas di lantai dasar rumah dua lantai tersebut.

Tak hanya itu, remaja juga berusaha untuk membunuh ibunya. Sang anak telah menusuk ibunya di beberapa bagian tubuh, namun tidak ada yang mengenai bagian vital.

Akhirnya, ibu tersebut berhasil melarikan diri dengan cara memanjat pagar dengan penuh darah. Ia dikejar sang anak sambil membawa pisau berlumur darah hingga akhirnya berhasil diamankan pihak perumahan dan sang ibu tengah dirawat intensif di rumah sakit.

Namun, apa sebenarnya motif anak bunuh ayah dan nenek, bahkan hampir juga membunuh ibunya? Dari kejadian ini, pakar psikologi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Eko Hardi Ansyah Psi MPsi Psikolog menjelaskan pentingnya kasih sayang dalam keluarga.

Dari Anak Bunuh Ayah dan Nenek, Hingga Kasih Sayang Keluarga

Dari kasus anak bunuh ayah dan nenek ini, Dr Eko, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa pada dasarnya di dalam Al Quran, terdapat banyak ayat yang menjelaskan untuk tidak menyekutukan Tuhan dan disandingkan dengan perintah untuk berbakti kepada orang tua.

"Artinya, posisi orang tua sebenarnya posisi yang sangat penting bagi anak-anak untuk memahami tentang substansi ketuhanan sesungguhnya, yaitu Ar-Rahman dan Ar-Rahim," ujarnya.

Substansi itu, lanjut Dr Eko, seharusnya bisa diterapkan kepada anak-anak agar mereka memiliki sifat kasih sayang. Jadi, jika sampai anak bunuh ayah dan nenek ini, maka yang bisa jadi orang tuanya belum mempraktekkan prinsip kasih sayang kepadanya.

Wakil Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Pendidikan itu menjelaskan,"Ciri orang yang memiliki kasih sayang adalah orang yang tidak boros, juga tidak kikir. Boros ini dalam artian terlalu memanjakan anak, sedangkan kikir artinya pola asuh yang otoriter".

Ia menjelaskan beberapa cara untuk menerapkan pola asuh tersebut. Yang pertama dengan tidak bersikap sombong dan tinggi hati kepada anak-anak. Orang tua yang cenderung selalu mengatur, adalah hal yang tidak mencerminkan kasih sayang.

"Jika sudah terjadi, maka anak akan mudah menyimpulkan bahwa ia tidak disayang ortunya karena tidak memiliki ruang," tutur Dr Eko.

Kedua, imbuhnya, cara orang tua berbicara juga mempengaruhi. Menginjeksi pikiran anak harus melalui komunikasi yang mencerminkan kasih sayang, salah satunya berbicara dengan santun, tidak merendahkan, mengejek, atau lainnya. Tapi memberikan komunikasi yang bisa melindungi mereka.

Apa Dorongan Anak Bunuh Ayah dan Nenek?

Dok TVOnenews dan Tempo
Dok TVOnenews dan Tempo

Selain menyoroti tentang kasih sayang, Dr Eko juga menjelaskan tentang beberapa hal yang menjadi penyebab anak bunuh ayah dan nenek tersebut.

Menurutnya, semua perilaku pada dasarnya sudah dipelajari oleh seseorang, baik itu secara langsung maupun tidak langsung. 

"Jadi dari kasus anak bunuh ayah dan nenek itu sudah pernah ia pelajari sebelumnya. Tinggal apa yang mendorong anak tersebut untuk mengeksekusi apa yang dipelajari itu," katanya.

Pola Pikir

Tentunya, dorongan atau sikap-sikap yang negatif itu terjadi karena adanya sebuah pola pikir yang keliru. Pola pikir tersebut  tidak mencerminkan adanya kasih sayang di keluarganya. 

Ia menjelaskan, "Dari kurangnya kasih sayang tersebut, akan membuat tersangka menyalahkan kondisi eksternal, termasuk menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian yang telah diperbuat,". 

Dr Eko berkata bahwa pada dasarnya manusia itu tidak ingin situasi tidak menyenangkan itu bertahan lama, jadi ia memiliki mekanisme untuk keluar dari ketidaknyamanan itu.

Distorsi Berpikir

Anak bunuh ayah dan nenek tersebut mungkin saja mengalami distorsi berpikir karena mengalami peristiwa buruk yang berulang. Ia akan meyakini bahwa Allah dan orang tuanya tidak memiliki kasih sayang sehingga muncul rasa benci di dalam dirinya.

Dosen lulusan S3 Unair itu mengatakan, "Kebencian ini yang mendorong untuk bertindak agresif sehingga jika ia sampai mendengar bisikan-bisikan, yang berarti halusinasi dalam ilmu psikologi,".

Lalu, halusinasi itu muncul karena suatu keyakinan yang dimiliki, tidak diketahui kebenarannya, entah itu nyata atau tidak. Hal itu terjadi karena tekanan batin yang kuat dan terjadi secara berulang.

Dari Mana Ia Tahu Cara Membunuh Orang?

Saat ini, anak-anak tak lagi menonton televisi atau media konvensional lainnya, melainkan dari media baru seperti gadget yang memberikan informasi tentang hal tersebut. 

Dalam teori psikologi, jika ada orang yang tiba-tiba ingin membunuh itu disebut dengan reflek. 

Dr Eko berkata, "Misalnya jika kita ingin menangkis sesuatu tetapi tangkisan itu membunuh seseorang, maka itu sesuatu hal yang tidak disengaja,"

Namun, katanya, jika anak itu memiliki niat, memegang pisau, dan ada langkah kaki untuk menusuk orang tuanya, sepeti anak bunuh ayah dan nenek tersebut, pasti itu sudah ada niat. 

Tapi dorongannya begitu kuat muncul saat itu, dan keinginannya bisa jadi sudah lama ada di dalam dirinya. Bisa saja anak tersebut sudah belajar tentang perilakunya ini. 

3 Hal yang Dipelajari Manusia

Menurut dosen yang juga Sekretaris Majelis Dikdasmen dan PNF PWM Jatim itu mengatakan bahwa seseorang mempelajari tiga hal tentang hal yang dihadapi.

Yang pertama, anak harus harus belajar tentang Tuhan, sehingga akan muncul keyakinan bahwa jika suatu saat ia mengalami downgrade mental, maka ia memiliki Tuhan untuk bersandar dan bisa mengumpulkan energi kembali untuk survive dari kesulitan. 

Yang kedua, anak harus belajar tentang dirinya sendiri. Ia harus bisa mengendalikan dan memahami diri. Alasannya, manusia diciptakan oleh nafsu atau dorongan yang membuat manusia tumbuh dan berkembang dengan optimal. 

Yang ketiga yaitu tentang lingkungannya. Anak harus memiliki perspektif positif bahwa ia tinggal di lingkungan yang baik sehingga bisa beradaptasi dengan baik.

"Tiga ranah ini akan membangun konstruksi kognitif manusia. Ketika ia berbicara tentang Tuhan, maka ia belajar bagaimana mengendalikan diri dan memiliki motivasi," kata doktor Psikologi itu.

Ketika belajar tentang diri, tambahnya, ia belajar tentang cara mengoptimalkan diri dan bisa mendorong diri untuk mencapai tujuan. 

Lihat juga: Hari Anak Sedunia 2024, Dosen Umsida Tanggapi 4 Pilar Utama Hak Anak

Ketika ia belajar tentang lingkungannya, maka akan belajar tentang cara beradaptasi dan survive menghadapi situasi yang berbeda-beda. Dengan begitulah manusia bisa berdampak bagi diri sendiri dan orang lain.

Penulis: Romadhona S.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun