Memang, tutur Emy, UU tentang perlindungan perempuan dan anak sudah cukup banyak dan lengkap, tapi masih ada banyak celah bagi orang yang berbuat buruk untuk memanfaatkan kelemahan korban.
"Sebenarnya undang-undang yang mengatur tentang kekerasan seksual terhadap perempuan, sudah diatur di beberapa undang-undang. Misalnya UU tentang HAM, UU PKDRT, dan UU penghapusan kekerasan seksual," ujar dosen yang juga seorang advokat sejak tahun 2000 tersebut.
Namun, mengapa walau dengan adanya berbagai UU tersebut, masih saja memakan korban perempuan dalam kasus pelecehan dan kekerasan seksual?
Emy mengatakan bahwa jika dikaji dari isinya, UU tersebut memang bertujuan untuk melindungi perempuan. Tapi dalam prakteknya, UU berbenturan dengan acara pidana ketika pemeriksaan di kepolisian maupun di persidangan.
"Jadi UU ini saya pikir efektif hanya untuk langkah pencegahan saja. Jadi dibutuhkan tim khusus untuk melakukan sosialisasi tanggal tersebut. Misalnya adanya Tim Perlindungan Perundungan dan Kekerasan (TPPK)," ujar Emy.
UU tersebut dinilai belum efektif karena dari perspektif perlindungan perempuan dan anak, UU ini memang berfungsi hanya untuk melindungi korban pelecehan dan kekerasan seksual.
Saat acara pidana dilakukan, maka minimal harus ada dua alat bukti, yaitu saksi dan bukti.Â
Jika ada kekerasan seksual, maka hasil visum bisa menjadi bukti adanya kejadian tersebut. Namun berbeda dengan kejadian pelecehan seksual yang susah untuk dibuktikan.
Emy menjelaskan, "Misalkan ada pelecehan seksual berupa kontak fisik yang "tidak separah" pemerkosaan (misalnya meraba). Biasanya dilakukan di tempat yang sepi sehingga sulit untuk menemukan saksi. Di kejadian itu juga sulit untuk menemukan bukti karena kejadian cepat sehingga tidak ada bekas bukti dan sulit menjerat pelaku,".
Upaya Perlindungan Perempuan
Kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan marak terjadi baik di kota besar maupun di daerah terpencil. Namun sebab ketidakmerataan pendidikan membuat perempuan yang ada di daerah terpencil lebih rawan untuk mengalami hal tersebut.
"Jadi mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika menjadi korban perbuatan tersebut. Karena ketika lapor pun sama dengan membuka aib diri sendiri," ucap perempuan yang sudah 11 tahun menjadi dosen tersebut.