Berkaca dari pengalaman debat kedua, dosen prodi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) itu semakin mempelajari data-data yang akan ia ajukan sebagai pertanyaan kepada paslon walikota Mojokerto.
Mulai dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) hingga Rencana Pembangunan Daerah (RPD) kota Mojokerto.
Dr Dian menjelaskan, "Menjadi panelis kita tidak boleh mengkritisi agar tidak dianggap memihak. Jadi pertanyaan yang diajukan harus senetral mungkin. Bahkan kami sebagai panelis saling menganalisis pertanyaan satu sama lain agar tidak ada kata-kata yang cenderung mengkritisi,".
Karena sebagai akademisi, Dr Dian merasa bahwa ia dan rekan-rekannya terbiasa untuk mengkritisi tugas mahasiswa yang tidak diperbolehkan dilakukan di momen ini.Â
Selain itu, ia bersama para panelis lainnya juga melakukan kroscek pendataan agar tidak salah data ketika disampaikan kepada paslon saat debat. Karena jika ada kesalahan data, menurutnya, maka akan dianggap menyudutkan salah satu paslon.
Panelis Menilai dari Sudut Pandang Akademisi
Yang dibahas pada debat kali ini adalah bagaimana ia sebagai akademisi melihat dari perspektif lain.Â
"Kami diminta untuk merumuskan permasalahan terkait masyarakat yang relevan dengan tugas kami sebagai akademisi yang mengabdi kepada masyarakat dan juga visi Umsida untuk mensejahterakan masyarakat," ujar dosen lulusan S3 Universitas Negeri Malang itu.
Menjadi panelis, Dr Dian bertugas untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan untuk kedua paslon, baik untuk calon walikota maupun wakil walikota.Â
Masing-masing panelis menyiapkan dua pertanyaan yang membahas tentang kesejahteraan masyarakat dan juga tentang pelayanan masyarakat.
Dan ternyata, merumuskan pertanyaan itu bukanlah hal yang mudah menurut Dr Dian. Karena dalam merumuskan satu pertanyaan saja, sudah berbeda dengan mengkritisi mahasiswa.