Sebagai pajak yang diterapkan secara umum pada hampir semua barang dan jasa, kenaikan PPN berpotensi langsung mempengaruhi daya beli masyarakat.
Dalam konteks ini, kenaikan tarif PPN bisa menjadi beban tambahan bagi mereka yang sudah merasakan kesulitan akibat inflasi yang terus meningkat, sementara pendapatan mereka tidak bertambah secara signifikan.Â
Keputusan ini menambah tekanan pada mereka yang tergantung pada daya beli untuk kebutuhan sehari-hari.
Lebih jauh lagi, banyak yang melihat langkah ini sebagai upaya pemerintah untuk menutupi defisit fiskal yang semakin membengkak.Â
Total utang Indonesia pada akhir Agustus 2024 tercatat sekitar Rp8.461,93 triliun, yang berimbas pada kebutuhan negara untuk mencari sumber pendapatan baru.
Meskipun rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih dalam batas aman, utang yang terus meningkat memberi tekanan terhadap kebijakan fiskal pemerintah.
Tidak dapat dipungkiri, pengelolaan keuangan negara yang kurang efisien dan adanya tumpang tindih dalam alokasi anggaran, salah satunya disebabkan oleh masalah tata kelola di sektor BUMN, juga turut mendorong pemerintah untuk mencari solusi melalui kebijakan perpajakan yang lebih agresif.
Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa kenaikan PPN ini akan semakin memperburuk ketidaksetaraan ekonomi.Â
Kelompok masyarakat yang lebih mampu, seperti kalangan kelas menengah atas, mungkin tidak terlalu merasakan dampak signifikan dari kebijakan ini, sementara kelompok ekonomi menengah dan bawah harus menanggung beban yang lebih berat.
Hal tersebut bisa memperlebar jurang ketimpangan yang sudah ada di Indonesia.