Dekan FBHIS melanjutkan, "Mencari informan saja saya kesulitan. Walaupun golongan mereka termasuk banyak, tapi mayoritas dari mereka enggan untuk speak up mengenai hal yang sensitif seperti itu,".
Kebanyakan, katanya, mereka tidak mengenalkan identitas itu secara gamblang. Melainkan melalui samaran, sepeti second account media sosial, atau cara lain agar mereka bisa menutup diri dari lingkungan sekitarnya.
Poppy mendekati mereka secara perlahan untuk mendapatkan data informan. Awalnya ia hanya sebagai pengikut saja, atau dengan menyukai postingan, turut berkomentar, hingga mengikuti kegiatan mereka saat beauty class.
"Setelah itu mereka mau untuk mengobrol dan bertemu secara berkala hingga mereka bersedia membuka diri secara perlahan," ucap dosen lulusan S2 Unair itu.
Menurutnya, momen itulah yang cukup menguras karena ia harus menggali data yang sensitif. Terlebih dengan penampilan Poppy yang berhijab, membuat mereka menganggap bahwa Poppy merupakan orang yang anti dengan fenomena itu.
Sumbangsih akan topik yang dilipih
Terkait topik yang ia ambil, nantinya akan bermanfaat secara teori dalam dua hal. Yang pertama yaitu estetika cyborg dari teori Donna Haraway.Â
"Teori itu berkata bahwa kita ini tidak hanya murni manusia, tapi juga ada unsur lain seperti teknologi. Teori ini hanya terjadi di dunia nyata," ujar Dekan FBHIS tersebut.
Sedangkan di informan Poppy, teori ini hanya muncul di ranah virtual yang menekankan pada keindahannya. Donna Haraway tak pernah mengaitkan cyborg dengan estetika.Â
Dekan FBHIS itu mengatakan, "Tapi jika dilihat, saat ini semua diukur melalui media sosial sehingga estetika menjadi hal yang utama. Itulah mengapa saya memakai istilah estetika di teori cyborg ini,".
Kedua, yakni tentang manufacturing inclusivity. Jika dilihat, industri kecantikan dan fashion di Indonesia, banyak yang menggunakan tema inklusivitas. Teori ini mengatakan bahwa semua orang bisa mendapatkan uang.