Ia memberikan contoh hal serupa pada sidang tahunan MPR dan prosesi pembacaan pidato kenegaraan oleh presiden di depan MPR yang mengalami perubahan pasca reformasi.Â
Begitu juga pada upacara bendera yang dipindahkan dari istana merdeka ke IKN. Itu merupakan sesuatu yang baru juga, yang bisa jadi akan menghadirkan tradisi ketatanegaraan baru.Â
Aturan paskibraka lepas jilbab harus diubah
Dr Rifqi melanjutkan, "Aturan paskibraka lepas jilbab harus dan dapat diubah, dan harus. Hal itu berkaitan dengan hak konstitusional warga negara, yaitu prinsip kebebasan beragama dan hak berpartisipasi dalam pemerintahan,".
Perubahan ini, katanya, adalah bagian dari proses bangsa menjamin partisipasi bernegara yang merdeka dan selaras dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Ia menjelaskan bahwa hak beragama yang termuat dalam Pasal 29 dan Pasal 28E UUD 1945 bersifat non derogable rights, artinya tidak dapat dikurangi apalagi dihilangkan.Â
Konsep hak beragama, tuturnya, adalah hak untuk memeluk agama dan kepercayaan dan menjalankan ajaran agama secara merdeka. Secara eksplisit hak itu melindungi eksistensi ajaran agama dan eksistensi pemeluk agama.
Lihat juga: RUU Penyiaran dan 5 Pasal Tentang Kebebasan Pers Menurut Pakar Umsida
Di dalam konteks keberagamaan, eksistensi pemeluk agama diletakkan pada ketaatannya dalam menjalankan ajaran agama dan implementasi ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari.Â
Ketaatan menjalankan agama dalam konteks bernegara melahirkan kewajiban negara untuk melindungi kemerdekaan seseorang dalam menjalankan ajaran agamanya. Dalam  hal ini, berjilbab bagi seorang muslim adalah identitas keberagamaan yang harus dilindungi oleh negara.Â
"Aturan anggota paskibraka lepas jilbab atau melarang praktek berjilbab seorang muslim berarti mencederai hak asasinya dan lebih jauh adalah bentuk pelanggaran konstitusional warga negara," jelasnya.