Misalnya, pada tahun 2020, banyak orang membahas tentang drama Korea the World of the Married. Ditayangkan pada masa pandemi membuat orang yang masif menggunakan media sosial, membuat drama ini mudah tersebar dengan potongan-potongan scene yang beredar atau ulasannya di berbagai media sosial. Hal tersebut membuat orang lain merasa penasaran akan drama tersebut sehingga daripada ketinggalan informasi di suatu kelompok atau informasi di media sosial, orang tersebut jadi ikut menonton dramanya, terlepas dia menyukai drama Korea atau penggemar drama Korea atau bukan. Mengapa? Ya karena agar mereka tidak ketinggalan tentang suatu tren, makanya mereka suka tak suka, turut menonton drama tersebut. Saking boooming-nya kdrama ini, akhirnya Indonesia me-remake series tersebut dengan judul "Mendua" pada tahun 2022.Â
Namun sisi positifnya, dari drama tersebut netizen memiliki banyak pandangan tentang suatu hubungan yang memunculkan diskusi-diskusi di media sosial. Remake dari series ini juga merupakan bukti diterimanya drama tersebut di kalangan masyarakat.
Lalu, tren fashion juga merupakan salah satu hal yang cukup banyak menyebabkan FoMO. Sebut saja munculnya pakaian berwarna pastel dibandingkan warna mencolok pada tahun 2020. Banyak orang berbondong-bondong mengoleksi model tersebut bahan hingga sekarang. Lebaran tahun 2024 pun sama, model baju berbahan shimmer mulai dikenalkan dan membuat orang juga buru-buru mengoleksi hal tersebut. Bahkan tren ini sangat viral di media sosial.Â
Lihat juga: Metaverse: Salin Menyalin Realitas, Telah Terjadi Sejak 2.500 SM
Ada satu momen lagi yang memunculkan rasa FoMO, yaitu tempat wisata. Misalnya, saat ini gunung menjadi salah satu destinasi primadona untuk mengisi liburan. Aktivitas mendaki gunung mulai ramai sekitar tahun 2016-an yang dikenalkan para influencer di media sosial. Tak ayal, hingga sekarang banyak anak muda yang FoMO akan tren mendaki gunung.Â
Beberapa peristiwa yang mengundang rasa FoMO pada seseorang merupakan dampak dari kecepatan perkembangan teknologi khususnya media sosial. Sebagai contoh, model hijab semakin tahun juga berubah, saat ini model yang sederhana atau hijab instan banyak digunakan oleh kawula muda.Â
Namun jika dilihat-lihat, model yang sederhana itu juga beresiko. Misalnya, model hijab yang mudah digunakan, juga mudah terbawa angin (biasanya pashmina instan) karena cara memakainya yang hanya disampirkan ke bahu saja. Hal tersebut membuat hijab mudah terlepas, terlebih lagi saat pengguna tidak memakai ciput atau dalaman jilbab yang digunakan untuk membantu menjaga rambut agar tidak keluar dari jilbab.
Lalu kembali ke tren mendaki gunung. Akibat FoMO, banyak dampak yang dialami oleh orang-orang. Pertama, masalah sampah. Kurang teredukasinya atau kurangnya pengetahuan tentang cara bertahan hidup di alam bebas, membuat para pendaki saat ini rentan mengalami bahaya. Misalnya, semakin banyaknya sampah yang berserakan di jalur gunung. Dengan sampah tersebut, membuat lingkungan hutan yang seharusnya dijaga kebersihannya menjadi kotor dan tercemar.
Selain itu, akibat takut ketinggalan tren, pendaki saat ini juga rentan mengalami kecelakaan atau bahaya lain di hutan akibat kurangnya persiapan dan pengetahuan.Â
Dapat disimpulkan bahwa orang yang FoMO, mereka yang kecanduan "berkiblat" di media sosial, maka mereka selalu terupgrade  dengan  informasi  terbaru. Secara  tidak  langsung, hal tersebut memotivasi mereka untuk melakukan sesuatu. Tapi, dampak negatifnya, mereka tidak bisa menemukan jati dirinya dan tidak mempunyai  pendirian  terhadap  diri  mereka  sendiri.Â
Terlalu menggantungkan diri kepada media sosial, membuat anak muda seolah-olah menjadikan media sosial sebagai "kiblat". Generasi Z menganggap media sosial merupakan hal yang sangat  penting. Mungkin saja mereka menjadikannya sebagai suatu kebutuhan hidup, sehingga menimbulkan  efek  kecanduan  yang  membuat  mereka takut jika ketertinggalan  informasi.Â