Bagi kaum liberal, homoseksualitas tidak dianggap sebagai masalah dalam masyarakat, dan mereka percaya bahwa orang dapat melakukan apa pun yang membuatnya merasa baik selama ia tidak merugikan orang lain. Ide ini datang dari John Stuart Mill, yang memainkan peran penting dalam penerimaannya. Mill menulis sebuah buku berjudul Utilitarianisme, di mana ia mencoba membuktikan utilitarianisme---sebuah filosofi yang berpusat pada pencapaian kebaikan terbesar untuk jumlah terbesar.
Baca juga: Pencerahan, Awal Mula Sebuah Peradaban Menghadapi Masyarakat Korup
Namun, salah satu bagian karyanya yang paling dikritik adalah upayanya untuk membuktikan utilitarianisme. Kritikus berpendapat bahwa alasannya bersifat melingkar dan tidak meyakinkan. Hal ini menyebabkan banyak pemikir liberal yang serius menyimpulkan bahwa hedonisme dan utilitarianisme tidak dapat dibuktikan secara pasti. Konsekuensinya, prinsip-prinsip dasar liberalisme tidak bersifat tetap, obyektif, absolut, atau benar. Jika fondasi suatu benda goyah, maka benda itu sendiri pun akan goyah.
John Stuart Mill, yang memperluas konsep kebebasan berekspresi dalam tulisannya tentang liberalisme, dan filsuf lain seperti Voltaire, mempromosikan gagasan seperti kebebasan berbicara. Namun, argumen mereka didasarkan pada landasan yang dapat diperbaiki dan tidak berdasar. Umat Islam di Barat sering diminta untuk membenarkan keyakinan mereka berdasarkan landasan moral dan filosofis. Ketika ditanya mengapa umat Islam menentang menggambar kartun Nabi mereka, atau isu kemurtadan, jawabannya seharusnya: "Buktikan kepada saya bahwa liberalisme itu benar."
Penulis: Dr Kumara Adji K.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI