Universitas Muhammadiyah Sidoarjo tepatnya Prodi ilmu komunikasi Ikom umsida memiliki program  pertukaran mahasiswa antar negara perdana pada akhir 2023 lalu. Program bernama International credit transfer (ICT) ini bekerjasama dengan salah satu universitas ternama di Malaysia yakni Universitas Tunku Abdul Rahman (UTAR).
Setelah melalui proses seleksi yang cukup panjang akhirnya Ikom  mengirimkan 4 mahasiswa semester akhir dalam program ICT UTAR mereka adalah Anisa Sahara, Delia Putri Rusnanti, Zara Aprilia Sani, dan Fernanda Aurelio Yahya. Mereka mengikuti kegiatan pertukaran mahasiswa internasional ini pada sekitar akhir Januari 2024.
Baca juga: Umsida Hadirkan Pebisnis Muda, Memotivasi Mahasiswa untuk Berwirausaha Online
"Jadi pada program ICT UTAR ini mereka mengikuti kegiatan perkuliahan di sana selama satu semester. Dengan catatan, pada awal perkuliahan mereka mengikuti secara daring, kemudian saat mendekati UAS mereka datang langsung ke Malaysia. Jadi  nanti mereka akan berada di Malaysia selama sekitar 1 bulan," tutur Poppy Febriana selaku dosen Ikom.
Selama satu bulan mengikuti ICT UTAR secara offline, lanjutnya, mereka tak hanya mengikuti perkuliahan saja, tapi juga akan berpartisipasi di kegiatan lain. Seperti  membuat kegiatan kolaborasi dengan mahasiswa UTAR, dan juga melakukan pengabdian masyarakat yang bekerjasama dengan Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia.
Kesan mahasiswa ICT UTAR
Lalu, bagaimana kata mereka yang mengikuti program ini?
Menurut Anisa Sahara, program ICT UTAR dapat memberikan pengalaman baru untuk berkuliah di luar negeri. Ditambah lagi, UTAR merupakan salah satu kampus yang didominasi oleh etnis Tionghoa. Hal tersebut membuatnya semakin merasakan indahnya toleransi.
"Dalam program ini kami tak hanya kuliah saja, tapi juga turut aktif di organisasinya, seperti membuat kegiatan workshop dan kegiatan kampus lainnya," ucap Anisa.
Selain itu, lanjutnya, para mahasiswa ICT UTAR akan berkontribusi untuk mengajar anak-anak para imigran yang dinaungi oleh PCIM Malaysia. Kegiatan ini merupakan bentuk pengabdian masyarakat di ranah internasional.
"Kita nanti mengajar anak-anak di sana dan mengurus warga- warga lokal juga. Misal, kita ngenalin tentang foto, belajar tentang, menulis, dan kegiatan dasar lainnya," kata Anisa.
Melalui program ICT UTAR ini, Anisa ingin mendapatkan pengalaman baru, dan ini juga kali pertamanya untuk berkontribusi sampai ke luar negeri. Walau keberangkatannya ke  Malaysia merupakan hal yang menyenangkan, bukan berarti Anisa tidak memiliki kendala ketika berkuliah di sana, terutama saat daring di awal perkuliahan.Â
Perbedaan kondisi wilayah dengan di Indonesia
Lalu, ia harus beradaptasi dengan perbedaan waktu dan makanan yang ada di Malaysia. Â Dalam menjalin interaksi dengan orang sekitar, Anisa cukup sulit untuk berinteraksi karena kondisi wilayah yang didominasi oleh chinese dan beberapa keturunan Bangladesh. Hal itu membuat mereka sempat kesulitan menemukan makanan halal.
Ia melanjutkan, "Kondisi daerah yang menurut saya jarang ditemukan umat Muslim ini membuat saya harus teliti menghafal jadwal adzan. Di sini tidak ada peringatan sholat seperti adzan, jadi saya harus melihat sendiri jadwal sholatnya,".
Ketertiban masyarakat
Ada satu culture shock yang Anisa temui ketika di kampus. Ia melihat tertibnya warga kampus dalam menjalankan aktivitasnya. Misalnya saat antri lift, walau di Indonesia terdengar sepele, tapi ia melihat mahasiswa UTAR antri dengan tertib satu atau dua baris memanjang bahkan hingga ke area jalan keluar.
Hal ini juga terjadi ketika ia berkunjung ke perpustakaan kampus. Biasanya, loker barang ditutup secara rapat bahkan dikunci, Anisa merasakan hal berbeda di UTAR. Di sana kesadaran dan ketertiban masyarakat sangat tinggi.
"Di sana hanya kabinet biasa saja, kita hanya meletakkan barang di ditu sudah aman. Lalu, terdapat juga space untuk mengerjakan tugas, bahkan untuk tidur. Jadi di sisi samping terdapat tempat duduk bersekat agar mahasiswa bisa beristirahat," ucap Anisa.
Baca juga: FAI Umsida Undang Penasehat Al-Alzhar di Seminar Internasional
Hal yang sama juga dirasakan oleh Fernanda, ia mengikuti ICT UTAR karena ingin mengamati kondisi pendidikan antar negara, baik itu dari kurikulum maupun regulasi terhadap mahasiswanya.
"Dosen di sini sangat membebaskan mahasiswa untuk berpendapat, yang banyak menjelaskan itu mahasiswanya. Jadi saya juga harus aktif berbicara, dengan ini saya juga bisa mengasah kemampuan bahasa Inggris saya," ucap mahasiswa yang juga seorang jurnalis ini.
Selain itu, lanjutnya, fasilitas umum yang ia temui di sana cukup mudah dimengerti. HAl ini tentu memudahkan turis yang ada di sana. Apalagi di UTAR, mahasiswa difasilitasi bus kampus yang bisa mereka gunakan untuk ke kampus.
Selama mengikuti program ICT, ia melakukannya dengan santai dan menikmati prosesnya, terlebih saat daring. Fernanda dan ketiga temannya yang tergabung dalam program ini merupakan mahasiswa kelas malam.
Fernanda melanjutkan, "Ya kendalanya saat daring itu. Jam kuliahnya kan pagi sampai siang. Sedang kita anak kelas malam yang siangnya digunakan untuk bekerja. Jadi kami harus pandai mengatur waktu. Alhamdulillah semua berjalan lancar,".
Saat menjalin interaksi dengan warga lokal pun Fernanda harus berhati-hati. Ia mengatakan, "Kita menemukan banyak karakter orang di ini, jadi kita harus menyesuaikan. Tidak seperti di Indonesia yang didominasi Jawa, kalau ketemu chinese pun kemungkinan dia sudah terkena budaya Jawa. Tapi over all kami nayamn tinggal di sini,".
Penulis: Romadhona S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H