Sejak pandemi Covid pada tahun 2019 lalu, membuat pengguna aplikasi TikTok terus meningkat. Indonesia tercatat berada di urutan keempat dengan pengguna aplikasi TikTok terbanyak di dunia.Â
Dan rata-rata dari mereka adalah remaja berusia 18 sampai 24 tahun, atau mereka yang merupakan generasi Z. Penggunaan aplikasi TikTok tak hanya sebagai sarana hiburan saja, tapi juga untuk keperluan lain. TikTok menjadi media untuk berbelanja, menuangkan kreativitas, bahkan mengasah kemampuan memproduksi konten.Â
Lihat juga: Penggunaan New Media di Kalangan Orang Tua Milenial dalam Mengasuh Anak
Salah satu dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) Nur Maghfirah Aesthetika MMedKom, membuat penelitian di bidang new media berjudul Apakah Selebriti Tiktok Sebagai Panutan: Imitasi Atau Inovasi?.Â
Riset ini bertujuan untuk mengetahui apakah eksistensi TikTok yang memiliki banyak fungsi hingga mampu mempengaruhi penggunanya, entah sebagai motivasi atau sebuah imitasi. Kadang, pengguna TikTok tak hanya menggunakan aplikasi sebagai bahan tontonan saja. Namun seiring berjalannya waktu, para pengguna aplikasi audio visual ini juga bisa memproduksi konten mereka sendiri hingga merekalah yang akhirnya menjadi tontonan pengguna lain.
Remaja jadi pengguna terbanyak
Dari penelitian ini, didapatkan bahwa remaja menggunakan aplikasi ini untuk berbagai keperluan yang kebanyakan untuk mencari kebahagiaan pribadi di kalangan para remaja, seperti:
- Cara untuk mengekspresikan diriÂ
- Mencari identitas diri
- Menunjukkan berbagi kreativitas
- Menunjukkan keberadaan mereka di dunia luar
- Mencari pengakuan dari orang lain
- Memberikan peluang bagi penggunanya untuk mendapatkan popularitas
- Sumber penghasilan sebagai influencer.
Hal yang bisa dijiplak dari konten TikTok
Dari penelitian ini didapatkan bahwa terdapat tiga kemampuan atau aktivitas baru yang banyak remaja lakukan dari aplikasi yang menyajikan konten audio visual ini, mereka seolah-olah membuat konten dari konten yang sudah ada, terlebih dari konten yang sedang trending. Beberapa diantaranya seperti:
1. Editor video
Dari penelitian ini menyebutkan bahwa kebanyakan remaja telah berkembang menjadi seorang video editor di TikTok. Video yang diunggah sebelumnya perlu melalui proses editing menggunakan paket modifikasi video sebelum dipublikasikan.
Ini menunjukkan bahwa konten yang diunggah bukanlah hasil kreativitas murni dari pengguna, tetapi lebih merupakan adaptasi atau penyuntingan dari konten yang sudah ada. Hal ini tentu memudahkan pekerjaan karena kreator konten tidak perlu mengedit video terlalu lama.
Lihat juga: Studi Dosen Umsida: Anak Kecanduan Gadget Pengaruhi Semangat Belajar Al-Qur'an
2. Menjadi selebriti
Anak muda saat ini memperlihatkan perilaku yang mirip dengan selebriti di media sosial, terutama di TikTok, dengan berusaha menjaga reputasi mereka di mata netizen.Â
Tapi jika dilihat dari penelitian ini, pengguna aplikasi ini bisa menjadi selebriti hanya dengan menunjukkan kesehariannya dan mempertahankan gaya hidup mereka. Untuk mendapatkan dan mempertahankan penontonnya, seleb TikTok harus mengetahui cara agar kontennya muncul di fyp dan dikenal. Misalnya menggunakan hashtag atau tagar.Â
Menjadi seleb di aplikasi ini bisa dijadikan sebagai ladang keuntungan. Mereka bisa menerima iklan bernama endorsement. Dari situlah dengan menggunakan popularitasnya untuk meraup keuntungan.
3. Motivator
orang yang ingin menambahkan frasa puitis atau motivasi di media sosial dapat menciptakan kesan positif dan mendapat perhatian. Kata-kata yang mereka pakai tidak selalu karya sendiri, tapi terinspirasi dari pengguna lainnya.Â
Unggahan mereka tidak selalu mencerminkan identitas mereka di dunia nyata. Frase puitis yang sering dibagikan oleh mereka berkisar pada topik seperti motivasi, sindiran, dan pemikiran pribadi.Â
Tujuan dari unggahan tersebut adalah untuk memberikan pesan kepada orang lain, bukan hanya untuk diri mereka sendiri. Dengan harapan dapat memberikan dorongan kepada pembaca.
Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa konten TikTok ternyata bisa dijadikan sebagai panutan, sumber referensi, hingga motivasi untuk memproduksi konten baru maupun kemampuan baru. Mereka bisa membuat konten dari template yang sudah ada, mengekspresikan diri hingga mampu mempengaruhi orang lain dan menjadi selebriti, hingga membuat konten motivasi yang terinspirasi dari konten lain dan disebarkan kepada pengikutnya sendiri.
Lihat juga: Apa Masyarakat Masih Ketergantungan Media Sosial Walau Pandemi Usai?
Sumber: Nur Maghfirah Aesthetika MMedKom
Penulis: Romadhona S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H